Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ambon Tak Kunjung Padam

Megawati tak tampak melakukan apa pun. Jakarta kehilangan akal bagaimana mengatasi Ambon?

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Idul Fitri dan Natal tinggal menunggu bilangan hari. Tapi badai kerusuhan berbau agama di Maluku, yang berpusar sejak Januari lalu—satu tahun sudah—belum juga reda. Bentrok antara kelompok Islam dan Kristen di Maluku, terutama di Ibu Kota Ambon, belakangan semakin lepas kendali. Dalam kerusuhan terakhir, Jumat lalu, 31 orang tewas ketika terjadi bentrok antarwarga desa di Kecamatan Piru, Maluku Tengah. Kontak senjata rakitan, busur, dan bom molotov berlangsung sekitar dua jam sebelum 60 anggota pasukan TNI AD 731/Kabaresi datang dan berhasil melerainya. Sebelumnya, pada 26 dan 27 November lalu, perang yang lebih besar meledak di Ambon sendiri. Tak kurang dari 34 warga sipil tewas dan 137 selebihnya terluka. Konflik ini—yang juga melibatkan asrama polisi dan mess perwira militer—menandai babak baru yang lebih menegangkan: bahwa perseteruan yang benar-benar bersenjata telah menjalar di lingkungan mereka. Tak kurang dari 15 tentara dan polisi tewas dalam baku tembak dengan sesama aparat sendiri. Dua di antaranya adalah ajudan istri Pangdam XVI Pattimura. Padahal dulu konflik ini bermula dari perselisihan pribadi antara sopir angkutan kota dan seorang pemuda di Kota Ambon, 19 Januari 1999, bertepatan dengan Idul Fitri. Dua jam kemudian, perselisihan itu menyebar dan menjelma menjadi kerusuhan besar antara pemeluk Islam dan Kristen. Setelah itu, bentrokan antarwarga, yang kemudian mengelompok menjadi kelompok Merah (Kristen) dan Putih (Islam), terjadi secara sporadis, temporer, dan berkelanjutan. Jumlah korban jiwa, menurut laporan Gubernur M. Saleh Latuconsina kepada Menteri Dalam Negeri, dua pekan silam, mencapai 2.000 lebih. Kerusakan fasilitas fisik? Tak terhitung. Bila dulu faktor sosial, ekonomi, dan politik lokal antara lain menjadi penyebab kerusuhan, kini menurut Des Alwi, bekas anggota tim khusus untuk Ambon yang dibentuk pemerintahan B.J. Habibie, faktor balas dendam semakin membuat runyam Ambon. Lebih parah lagi, sebagian aparat terlibat dalam pusaran konflik dan dendam itu. Berbagai upaya telah dilakukan semasa pemerintahan B.J. Habibie, antara lain dengan mendatangkan tim khusus ABRI yang dipimpin Letjen Suaidi Marasabessi, tapi tetap tak terpecahkan. Dan kini konflik Ambon menjadi batu ujian penting, selain Aceh dan Irianjaya, bagi pemerintahan Abdurrahman Wahid—yang telah telanjur mengibarkan jargon politik rekonsiliasi nasional. Kian putus asa, Gubernur Maluku dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku pekan lalu meminta pemerintah memberlakukan keadaan darurat militer di Ambon. Usulan itu disambut positif oleh Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Sudrajat. "Pernyataan darurat militer itu tergantung pada keputusan presiden. Kalau presiden menyatakan begitu, mengapa tidak? Gubernur kan sudah minta," kata Sudrajat. Des Alwi mengusulkan pemindahan ibu kota Maluku dari Kota Ambon ke Masohi, Pulau Seram, Maluku Tengah. Alasannya, Kota Ambon sudah hancur secara ekonomi dan sosial karena menjadi ajang perebutan wilayah antara dua kubu tadi. "Pemerintah daerah hancur. Jadi, untuk apa ibu kota masih dipertahankan di Ambon?" kata Des. Cara itu diperkirakan pula bisa menghentikan pertikaian, setidaknya pemindahan tadi akan mengaburkan fokus Ambon sebagai ajang perebutan (lihat: Meredakan Konflik dengan Kota Baru?). Sejauh ini, belum ada jawaban pemerintah pusat terhadap dua usulan tadi. Ambon memang benar-benar malang. Keputusasaan di daerah tampaknya harus berhadapan dengan kebingungan—atau sikap kurang peduli—di pusat. Sejak awal, Presiden Abdurrahman Wahid telah meminta wakilnya, Megawati Sukarnoputri, untuk mencari jalan keluar konflik di Indonesia timur itu. Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu, karena kepeduliannya yang besar pada persatuan dan kesatuan nasional, diperkirakan banyak kalangan mampu meredam konflik yang berbau agama dan etnis di Ambon. Namun, hingga kini, Megawati tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda akan berkunjung ke Ambon. Juga tak terdengar pernyataannya tentang perkembangan situasi yang kian berdarah itu. Dan lebih dari segalanya, tak pula tampak dia mengusulkan solusi yang konkret. Tak cuma Megawati. Secara umum, pemerintahan Abdurrahman Wahid memang seperti telah kehilangan akal bagaimana menyelesaikan masalah Ambon. Bahkan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Jenderal Wiranto pun mengaku bingung ketika para seniman Maluku menemuinya pekan lalu dan memintanya untuk segera mencari solusi. "Saya tidak tahu kapan masalah Maluku bisa berakhir," katanya. "Hanya mereka yang bertikai yang bisa menyelesaikan masalah." Ambon Islam dan Ambon Kristen tak kan bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka memerlukan penengah yang independen, berwibawa, dan adil—kualifikasi yang tampaknya memang tidak dimiliki oleh Megawati, Wiranto, dan bahkan mungkin Abdurrahman Wahid sendiri. Bahkan angkatan bersenjata pun tampaknya sudah tidak bisa netral lagi, di samping telah kehilangan pamor. Melihat itu semua, rakyat Ambon tampaknya harus menelan penderitaan lebih lama. Namun, dalam perspektif yang lebih optimistis, mereka kini benar-benar diuji untuk bisa memecahkan masalahnya sendiri seraya bangga mengucapkan "Lupakan Jakarta!" Dan jika tidak, mereka mungkin hanya bisa berharap pada pasukan multinasional yang dikirim Kofi Anan. KMN., Friets Kerleli, Yusnita (Ambon), Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus