GAYA baru polisi menangkap korban. Ketika Ferdinan Tarigan dan ketiga temannya baru duduk-duduk di warung kopi, datang dua polisi berpakaian preman. Mereka, berenam, lalu pergi minum-minum. Meski keempat pemuda itu sudah mabuk, dua polisi terus saja menuang minuman. Setelah mereka tak berdaya, keempatnya digiring ke Polsek Dolok Silau, Sarang Padang, ditahan. Buntut perkara ternyata sebuah kematian. Ferdinan, 23, itulah korban, yang oleh pihak Polsek dikatakan bunuh diri, 5 November lalu, setelah ditahan sekitar 47 hari. Tapi kini lima polisi, termasuk Kapolsek Dolok Silau, ditahan dan diusut oleh Provost Polres Simalungun dan Pom ABRI. Pada mulanya adalah Selamat Sembiring Camat Dolok Silau (kecamatan 215 km barat daya Medan), yang melapor ke Polsek kehilangan uang Rp 175.000, sebuah kalkulator, dan sebuah vulpen. Entah mengapa lantas polisi mencurigai Ferdinan dan kawan-kawannya. Entah ini sudah jadi kebiasaan, keempat tersangka disiksa. Seorang teman Ferdinan patah sebuah gigi, entah dihantam apa. Ferdinan sendiri kuku satu empu jari tangannya copot. Karena siksaan itulah mereka mengakui saja tuduhan mencuri. Dan Rasiana boru Tarigan, pemilik warung kopi tempat keempat pemuda duduk-duduk ketika didatangi dua polisi, disebut mereka sebagai tukang tadahnya. Dan perempuan itu tak lain adalah bibi Ferdinan. Di Polsek, mula-mula Rasiana kaget, dengan pengakuan keponakannya dan kawan-kawannya. Tapi, kata si bibi kepada Mukhsin Lubis dari TEMPO. Ferdinan dan seorang temannya meminta ia mengaku saja. "Akui saja. Kalau tidak, Bibi dipukuli nanti," tutur Rasiana kemudian. Rasiana lalu asal saja menyebut kuburan sebagai tempat menyembunyikan barang tadahan. Tentu, polisi tak mendapatkan apa pun di kuburan yang disebutkan Rasiana. Buntutnya gertakan Letnan Dua Cyrus Siahaan, Kapolsek. Pemilik warung itu tak perlu ditahan, asal ada tanggungan Rp 300.000. "Kalau Bapak minta sebanyak itu, biar saja saya ditahan. Tak ada uang itu," jawab Rasiana. Kompromi disepakati, tanggungan hanya menjadi Rp 100.000, tetapi setelah Rasiana, 33, mendekam 11 hari di sel Polsek . "Soal uang sudah saya laporkan ke Pom ABRI," tutur yang kehilangan uang. Dan inilah yang diceritakan Raskita, 20 yang selalu mengantarkan makanan ke sel kakaknya. Tiga hari sebelum hari kematian, kakaknya menyerahkan kuku empu jarinya yang copot. "Bawa kuku ini kepada orangtua kita. Biar bagaimanapun, aku bakal mati. Aku sudah tak tahan dipukuli polisi," tutur si adik kembali. Dan Raskita pula yang pertama kali kaget melihat sel kakaknya kosong, dan mendapat tahu dari polisi bahwa semalam kakaknya gantung diri. Pihak keluarga Tarigan, yang lalu menuju RSU Pematangsiantar, curiga karena tubuh jenazah penuh bekas siksaan, bahkan tulang lehernya patah. Sementara itu, tuduhan polisi ihwal pencurian di rumah Camat tak kunjung terbukti. Bahkan, 16 November lalu, ketiga teman Ferdinan dibebaskan. Keluarga korban kemudian mengadukan perkara ini ke Pom ABRI. Pihak yang dilapori bertindak cepat. Bersama Provost Polres Simalungun, Pom ABRI mengusut lima polisi di Polsek Dolok Silau. "Hasil pemeriksaan polisi dan jaksa, Ferdinan dan kawan-kawannya tak terbukti mencuri," kata Mayor CPM Wagiman, komandan Pom ABRI. Dan kata Letkol Sofyan Kadri, Kapolres Simalungun, "Akan saya usut sampai tuntas." Ferdinan, anak kedua dari lima bersaudara, cuma berpendidikan kelas III SD, menurut bapaknya, sebenarnya anak baik. "Ia ditangkap sehat-sehat, tahu-tahu mati," kata si bapak. "Saya menyesalkan polisi-polisi itu. Si Ferdi itu suka membantu saya mencangkul di ladang. Dia tak bersalah." Kabar yang beredar di Kecamatan Dolok Silau, konon, peran Camat tidak kecil. Dia, kata sebuah sumber, ingin Ferdinan mengakui bahwa seorang yang dekat dengan keluarga Tariganlah yang melakukan pencurian. Camat itu sendiri tak bisa ditemui beberapa hari belakangan ini rumahnya kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini