Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa Hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin membantah tuduhan tim Prabowo bahwa kliennya membatasi pers dan media massa arus utama selama pemilihan presiden. Salah satu anggota kuasa hukum Jokowi, I Wayan Sudirta, juga menampik kliennya menekan media massa agar tidak memberitakan Reuni 212.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudirta mengatakan pihak Jokowi-Ma'ruf meyakini kebebasan pers merupakan salah satu pilar demokrasi yang dilindungi konstitusi sesuai pasal 28F Undang-undang Dasar 1945.
"Dalam konteks ini Pihak Terkait tidak pernah mengeluarkan larangan atau kebijakan yang membatasi kebebasan pers untuk kepentingan Pihak Terkait dalam konteks Pemilu 2019," kata I Wayan Sudirta membacakan keterangan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 18 Juni 2019.
Sudirta mengatakan, lantaran pers bersifat bebas maka upaya apa pun yang melawan sifat kebebasan tanpa dasar hukum itu tak bisa dibenarkan. Termasuk di antaranya, kata dia, sikap memaksa pers mainstream untuk meliput sebuah peristiwa.
"Keinginan Pemohon agar media utama meliput reuni 212 secara a contrario justru dapat dikategorikan sebagai upaya untuk melawan kebebasan pers itu sendiri," kata Sudirta.
I Wayan Sudirta mengatakan media mainstream secara keseluruhan juga bukan milik pemerintah, tetapi korporasi swasta yang tidak terkait dengan Jokowi - Ma'ruf. Dia berujar kebebasan pers juga dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan diawasi oleh Dewan Pers.
"Jika Pemohon menuduh media mainstream telah tidak independen dengan tidak memublikasikan aktivitas reuni alumni 212, maka secara hukum Pemohon harusnya mengadu ke Dewan Pers," kata Wayan. Wayan mengimbuhkan Dewan Pers adalah lembaga independen yang terpisah dari kliennya.
Tuduhan soal pembatasan kebebasan pers dan media massa terkait peliputan Reuni 212 ini tertuang dalam berkas permohonan pihak Prabowo - Sandiaga yang didaftarkan pada 24 Mei lalu ke Mahkamah Konstitusi. Kuasa hukum Prabowo menyebut acara yang dihadiri jutaan orang itu seharusnya layak menjadi berita dan konsumsi publik.
"Namun ternyata tidak diliput sehingga menimbulkan pertanyaan dari pemohon. Bahkan panitia acara juga melayangkan protes ke Komisi Penyiaran Indonesia. Tekanan dari penguasa yang tak lain adalah calon presiden membuat media tidak berkutik sama sekali," demikian tertulis dalam berkas permohonan. Akan tetapi dalam berkas permohonan perbaikan yang didaftarkan pada 10 Juni 2019, poin soal Reuni 212 itu tak ada.