Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbekal selembar kartu Jaminan Kesehatan Daerah, Saputra datang ke satu pusat kesehatan masyarakat di Jakarta Timur. Pegawai puskesmas menolak melayani dia dengan alasan fasilitas kesehatan di situ kurang lengkap dan memintanya berobat ke klinik swasta. Warga Pondok Gede, Jakarta Timur, ini memprotes karena dia sudah terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Puskesmas bergeming. Saputra akhirnya berobat ke klinik swasta dan harus keluar biaya Rp 100 ribu.
"Puskesmas seharusnya tak boleh menolak pasien," kata Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar kepada Tempo, Selasa dua pekan lalu. Alasan dia, setiap bulan BPJS Kesehatan menyalurkan dana kapitasi—uang talangan operasional pelayanan kesehatan. Jumlahnya sekitar Rp 650 miliar per bulan. Setiap unit fasilitas kesehatan—semacam puskesmas—menerima dana sesuai dengan jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional di wilayahnya.
Menurut Timboel, ada banyak celah penyelewengan dana kapitasi. Komisi Pemberantasan Korupsi melihat hal serupa. Komisi lantas membentuk tim untuk memetakan potensi penyelewengan dana kapitasi. Sejak Agustus sampai November 2014, Komisi menerjunkan tim ke 21 puskesmas di DKI Jakarta, Bangka Belitung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Ende, dan Kabupaten Jayapura.
Hasilnya? Dana kapitasi rawan korupsi. "Dari markup klaim sampai laporan keuangan asal-asalan," ujar Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Roni Dwi Susanto, Kamis dua pekan lalu. Menurut Roni, modus yang lazim adalah mengirim pasien ke klinik swasta atau rumah sakit. Tujuannya agar uang talangan puskesmas tetap utuh. Dalam laporan akhir ditulis seolah-olah dana telah terpakai sesuai dengan peruntukan.
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi menyatakan puskesmas bisa memanfaatkan minimal 60 persen dana kapitasi untuk pelayanan kesehatan. Klausul ini rawan diselewengkan karena belum ada indikator pengukuran yang jelas.
Puskesmas Rancaekek di Kabupaten Bandung, misalnya, mendapat dana kapitasi Rp 162 juta per bulan untuk 27 ribu peserta BPJS. Kepala Puskesmas Rancaekek Endang mengklaim 60 persen dana digunakan untuk obat dan operasional pelayanan kesehatan. Faktanya, sejumlah penduduk mengeluh ada obat yang harus ditebus di luar puskesmas dengan harga lebih mahal. "Bahkan dokternya sering kosong," kata Linda, salah satu pasien di Rancaekek, kepada Tempo. Puskesmas ini termasuk yang dipantau KPK di Kabupaten Bandung.
Temuan lain adalah indikasi kecurangan rumah sakit. Modusnya: mengotak-atik klaim medis pasien. Tim KPK menyimpulkan pelaku akal-akalan klaim rumah sakit meliputi dokter, perawat, sampai verifikator klaim. Peneliti Lembaga Anti-Fraud Asuransi Indonesia, Yaslis Ilyas, mengatakan elemen paling mudah diakali adalah klaim rawat jalan. Dia mencontohkan pasien diabetes melitus.
Di dalam paket perawatan, ada beberapa tindakan untuk pasien diabetes, seperti pemeriksaan pankreas dan suntik insulin. Tak setiap pasien disuntik insulin atau menjalani pemeriksaan pankreas. Namun petugas rumah sakit yang curang tetap menghitung dua tindakan ini dalam klaim.
Salah satu mantan verifikator menuturkan, manipulasi klaim di rumah sakit sulit dilacak. "Karena kaitannya dengan rekap medis," ucapnya. Verifikator hanya akan bertanya jika ada yang ganjil. Itu pun langsung selesai setelah mendapat penjelasan rumah sakit—karena awamnya pengetahuan medis para verifikator klaim.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris berjanji membentuk tim audit khusus untuk menelisik kecurangan sistem klaim. "Tim akan diisi pakar bidang rekap medis," katanya. Fachmi mengakui masih banyak celah rawan di dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang harus dibenahi. Roni mendesak BPJS Kesehatan—yang kini mengelola premi hingga Rp 40 triliun—tak berhenti pada rencana. Fakta di lapangan: sudah terjadi defisit tiga persen. Kendati menilai angka defisit masih tergolong wajar, Roni menegaskan, "Akan bisa lebih buruk kalau dibiarkan."
Syailendra Persada (Jakarta), Iqbal Tawakal (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo