Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNYATAAN Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto begitu membuka rapat di kantornya, pertengahan Juli lalu, mengejutkan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik. Dalam pertemuan yang dihadiri perwakilan sejumlah lembaga, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tersebut, Wiranto mengatakan kasus pelanggaran HAM berat akan diselesai-kan melalui mekanisme non-yudisial alias tanpa proses pengadilan.
Menurut Damanik, Wiranto mengatakan jalur non-yudisial merupakan arahan dari Presiden Joko Widodo. ”Padahal, saat bertemu dengan kami di Istana, Presiden berjanji menuntaskan kasus HAM berat dan sama sekali tidak menyinggung penyelesaian non-yudisial,” kata Damanik kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Pertemuan dengan Presiden yang dimaksudkan Damanik digelar di Istana Merdeka pada Jumat kedua Juni lalu atau sekitar sebulan sebelum pertemuan di kantor Wiranto. Kala itu Jokowi, yang ditemani Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno, menemui para komisioner Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Wiranto tak hadir dalam pertemuan tersebut.
Aktivis membentangkan spanduk saat Aksi Kamisan Ke-558 di depan Istana Negara, Jakarta, 18 Oktober 2018. -TEMPO/M Taufan Rengganis
Jokowi membuka pertemuan dengan menegaskan komitmennya menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia berat. Kepada tuan rumah, Damanik menjelaskan perkembangan pengusutan sembilan kasus hak asasi manusia yang rampung diselidiki lembaganya. ”Semuanya sudah masuk di Kejaksaan, tapi belum ada yang masuk tahap penyidikan,” ujar Damanik menceritakan pernyataannya di hadapan Presiden. Dia kemudian menyebutkan bahwa kasus-kasus itu seharusnya bisa segera dibawa ke pengadilan HAM.
Damanik dan anggota Komnas HAM yang juga datang pada pertemuan itu, Choirul Anam, mengatakan pembicaraan kemudian masuk pada kasus di Papua yang akan ditindaklanjuti pemerintah, yaitu penyiksaan dan pembunuhan penduduk Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, pada 2001 dan peristiwa Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dua tahun kemudian. Menurut Damanik, rencana menyelesaikan dua kasus itu digagas oleh Jaksa Agung M. Prasetyo dalam pertemuan di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada awal Mei tahun ini.
Anam kemudian meminta Presiden tak hanya menuntaskan kasus pelanggaran HAM di kawasan timur. Dia mengusulkan pemerintah juga menyelesaikan kasus hak asasi berat di Jambo Keupok, Aceh Selatan, yang terjadi pada Mei 2003. ”Biar ada perimbangan penuntasan kasus di wilayah timur dan barat,” ucap Anam.
Baik Damanik maupun Anam yang ditemui terpisah bercerita, Presiden kemudian meminta Jaksa Agung menindaklanjuti laporan tersebut. ”Harus cepat. Kita mau yang konkret,” kata Anam menirukan ucapan Jokowi. Pernyataan itu disambut positif oleh komisioner yang hadir. Damanik menganggap Jokowi akan serius menuntaskan kasus HAM berat dengan menggelar pengadilan HAM. Keyakinannya kemudian memudar dalam rapat di kantor Wiranto.
Itu bukan pertama kalinya Wiranto menyebutkan penyelesaian kasus HAM tanpa pengadilan. Damanik bercerita, pada awal Maret lalu, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tersebut mengungkapkan kepadanya bahwa kasus HAM masa lalu sulit diselesaikan. Menurut Damanik, Wiranto kemudian menawarkan agar pemerintah dan Komnas HAM bersama-sama memberikan penjelasan kepada publik untuk rekonsiliasi nasional. Wiranto, menurut Damanik, mengatakan bahwa rekonsiliasi itu untuk kepentingan bangsa dan negara.
Orasi Aksi Kamisan memperingati 14 tahun kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur, 6 September 2018. -TEMPO/Aris Novia Hidayat
Usul itu ditolak oleh Damanik. Dia mengungkapkan kepada Wiranto bahwa penyelesaian kasus hak asasi berat hanya bisa melalui pengadilan HAM. Tanpa mekanisme itu, kata Damanik, korban dan keluarganya tak akan mendapat keadilan. Kalaupun pemerintah menginginkan rekonsiliasi nasional, harus presiden langsung yang menyampaikan kepada masyarakat. ”Kalau kami yang menjelaskan, bisa-bisa digugat oleh korban dan keluarganya,” ujar Damanik.
Ditemui di kantornya, Jumat pekan lalu, Wiranto enggan memberi penjelasan. ”Nanti saya jelaskan, pekan depan tuntas. Nanti keliru kalau sepotong-sepotong. Harus menyeluruh,” katanya sambil masuk ke dalam mobilnya.
MENJADI presiden pada 20 Oktober empat tahun lalu, Joko Widodo berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia sebelum dia terpilih. Janji itu tertuang dalam visi-misi dan program aksi Jokowi-Jusuf Kalla yang disusun pada Mei 2014. Dokumen bertajuk ”Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” menyebutkan bahwa pasangan itu akan ”Menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang masih menjadi beban sosial-politik bangsa seperti kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi I dan II, penghilangan paksa, Talangsari, Tanjung Priok, dan tragedi 1965”.
Janji itu disambut oleh sebagian keluarga korban. Maria Catarina Sumarsih, ibu Bernardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Atma Jaya yang tewas ditembak pada kasus Semanggi I, sempat bertemu dengan tim transisi seusai kemenangan Jokowi. ”Kata tim transisi, Jokowi akan menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia pada tahun kedua pemerintahannya karena tahun pertama akan berfokus membangun infrastruktur,” ujar Sumarsih, Jumat pekan lalu.
Awal Januari 2016, Jokowi mengulangi janjinya menuntaskan berbagai kasus HAM tahun itu. Dia mengatakan persoalan itu akan diselesaikan satu demi satu secara komprehensif. Sebulan setelah Jokowi menyatakan hal tersebut, pemerintah dan Komnas HAM menggelar pertemuan selama empat hari di Bogor, Jawa Barat, untuk menyisir dan membedah berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. ”Kami mulai melihat kasus-kasus yang bisa diselesaikan,” kata Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi. Deputi Hukum dan HAM Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jhoni Ginting mengatakan saat itu peserta konsinyering menilai bukti untuk membawa kasus hak asasi ke pengadilan masih kurang.
Pemerintah pun sempat menggelar simposium nasional ”Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Hotel Aryaduta, kawasan Tugu Tani, Jakarta, pada Mei 2016. Disokong oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang saat itu dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan, inilah forum pertama dan terbuka yang mempertemukan korban dan pihak yang dituding pelaku pelanggaran hak asasi. Belakangan, Luhut juga meminta korban 1965 menunjukkan lokasi kuburan massal mereka yang dihabisi karena dituding terlibat Partai Komunis Indonesia.
Simposium itu mendapat tentangan dari sejumlah kalangan, terutama para purnawirawan, yang menuding acara itu merupakan kebangkitan PKI. Sejumlah pensiunan jenderal kemudian mengadakan simposium tandingan bertajuk ”Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi lain” pada awal Juni. Sejak itulah gaung penuntasan kasus hak asasi meredup. ”Pemerintah seperti tak punya nyali menuntaskan kasus HAM,” ucap Kristian Erdianto Bejo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965.
Keluarga korban kian ragu terhadap penuntasan kasus HAM setelah Presiden Joko Widodo menunjuk Wiranto menggantikan Luhut Pandjaitan, yang digeser menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman pada akhir Juli tahun itu. ”Bagaimana mungkin terduga pelanggar hak asasi menyelesaikan kasus HAM?” kata Maria Catarina Sumarsih.
Nama Wiranto kerap dikaitkan dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM, antara lain kasus Timor Timur, Trisakti, serta Semanggi I dan II. Setelah dilantik, Wiranto membantah jika disebut melanggar HAM. ”Silakan buktikan, saya terlibat dalam -pelanggaran HAM apa, kapan, di mana, dan apa keterlibatan saya,” ujar Wiranto saat itu.
Sejumlah anggota Komnas HAM menilai, pada era Wiranto, penyelesaian kasus HAM mandek. Alih-alih mendukung pembentukan pengadilan HAM, Wiranto membentuk tim gabungan lintas-kementerian untuk menyelesaikan kasus hak asasi secara non-yudisial pada akhir Juli lalu. Anggota Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan lembaganya menolak masuk tim tersebut. ”Sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, penyelesaian kasus hanya melalui pengadilan HAM,” -ucapnya.
Dia pun ragu terhadap niat Jokowi menuntaskan kasus HAM. Presiden, kata Anam, seperti tak peduli dengan sikap Kejaksaan Agung yang kerap mengembalikan berkas penyelidikan dengan alasan tak cukup bukti. Juru bicara Presiden, Johan Budi Sapto Pribowo, mengklaim Jokowi serius menyelesaikan kasus hak asasi. Presiden, menurut Johan, telah memerintahkan Jaksa Agung menuntaskan kasus-kasus HAM. ”Presiden tidak diam,” ujarnya. Ihwal kemajuan pengusutannya, ”Anda tanyakan ke Jaksa Agung.”
Presiden Joko Widodo menghadiri penutupan Rembuk Nasional Aktivis ‘98 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, 7 Juli 2018. -ANTARA/Wahyu Putro A
Awal Juni lalu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo lempar handuk. Menurut dia, sangat sulit menyelesaikan kasus HAM melalui mekanisme pengadilan. Penyebabnya, sulit menemukan pelaku dan bukti. Prasetyo menilai hasil penyelidikan Komnas HAM hanya berdasarkan asumsi. ”Siapa pun pemimpin negara ini, siapa pun jaksa agungnya, siapa pun Komnas HAM-nya, sulit melanjutkan proses hukum ke peradilan,” katanya.
Pernyataan itu disampaikan Prasetyo sehari sesudah Presiden Joko Widodo menemui keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Aksi Kamisan—pernyataan sikap di depan Istana setiap Kamis siang dengan diam dan mengembangkan payung hitam. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Adi Toegarisman mengatakan lembaganya bukan tak mau melanjutkan hasil penyelidikan Komnas HAM ke pengadilan. Adi menilai penyelidikan Komnas kerap tak menyebutkan siapa pelaku dan bukti kejahatannya. ”Tanpa itu, bagaimana kami bisa membawa kasusnya ke pengadilan?” ujarnya.
Dia mencontohkan, jika Komnas HAM menuding tentara menyebabkan pelanggaran hak asasi, mereka harus menyertakan dokumen yang menunjukkan adanya perintah operasi militer yang menimbulkan kejahatan kemanusiaan. ”Alat bukti itu diajukan oleh Komnas HAM, bukan kami,” tutur Adi.
Choirul Anam justru menilai bukti yang diajukan lembaganya sudah cukup kuat. Undang-undang, kata dia, hanya mengamanatkan fungsi penyelidikan kepada Komnas HAM. Sedangkan ranah penyidikan tetap ada di tangan kejaksaan. ”Kalau kami diberi kewenangan menyidik, dalam lima menit pasti sudah banyak tersangka kasus HAM.”
GAGAL melunasi janji menuntaskan kasus hak asasi manusia, pemerintah mencoba cara lain. Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan pemerintah masih memetakan jumlah dan lokasi korban serta keluarga korban pelanggaran hak asasi yang mengalami berbagai kesulitan. Nantinya pemerintah akan mengirimkan bantuan. Misalnya dengan memperbaiki rumah keluarga korban. ”Kami mencoba memenuhi kebutuhan dasar mereka,” ujarnya.
Cara lain, dengan memberikan gelar pahlawan kepada korban HAM. Awal Juli lalu, dalam acara Rembuk Nasional Aktivis ’98, Jokowi menyatakan sedang mengkaji kemungkinan menyematkan gelar tersebut kepada para aktivis yang meninggal dalam rangka menggulingkan Orde Baru. Presiden Joko Widodo berjanji mengumumkan hasil kajian itu secepatnya.
Maria Catarina Sumarsih tak mempersoalkan jika putranya dianugerahi gelar pahlawan. Tapi perempuan 66 tahun yang telah 20 tahun menuntut keadilan ini tetap menuntut pemerintah menuntaskan kasus hak asasi manusia yang menewaskan putranya. ”Kewajiban negara untuk memberi kami keadilan,” katanya. Dia bertekad terus mengikuti Aksi Kamisan hingga pengadilan HAM menjatuhkan vonis terhadap pelaku penembakan putranya.
Mualimin mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah mungkin tak mampu memenuhi keinginan para korban dan keluarganya mendapatkan keadilan. Tapi pemerintah akan tetap menempuh cara itu sambil menunggu pengadilan HAM terbentuk. ”Ibaratnya, tak ada rotan, akar pun jadi,” ujarnya.
PRAMONO, DEVY ERNIS, RAYMUNDUS RIKANG
Utang Akhir Jabatan
PADA saat kampanye pemilihan presiden 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla bertekad menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Janji tersebut dituangkan dalam visi-misi Jokowi-JK, yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum. Empat tahun kemudian, pemerintahan Jokowi-JK belum menuntaskan satu pun kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Prioritas HAM Jokowi-JK
1. Menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan, termasuk perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas.
2. Memberikan jaminan perlindungan dan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan serta melakukan langkah-langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.
3. Menjamin pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, perburuhan dan hak masyarakat adat melalui regulasi yang berpihak pada kepentingan publik.
4. Memasukkan muatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama serta dalam kurikulum pendidikan aparat negara, seperti TNI dan Polri.
5. Menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi I dan II, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan tragedi 1965.
6. Menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer, yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM.
7. Memperjuangkan penghormatan terhadap HAM di negara-negara ASEAN untuk diimplementasikan sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditandatangani di dalam ASEAN Charter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo