Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM sebelum pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana pada 31 Mei lalu, Be-djo Untung masih tercatat sebagai salah seorang tamu. Keesokan paginya, Bedjo bersiap-siap di sekitar Istana untuk masuk bersama tetamu lain, para peserta Aksi Kamisan, yang dijanjikan berdialog dengan Presiden. Tanpa ia tahu sebabnya, tiba-tiba namanya hilang dari daftar tamu.
Sonder Bedjo, aktivis Aksi Kamisan lain akhirnya menemui Jokowi. ”Tanpa kehadiran korban 1965, isu pelanggaran hak asasi manusia 1965 tak dibahas sama sekali dalam pertemuan dengan Presiden,” kata Bedjo di Tangerang, Banten, Rabu pekan lalu. ”Istana masih khawatir bahwa saya adalah perwakilan komunis.”
Aksi Kamisan mulanya adalah gerakan keluarga korban peristiwa Mei 1998. Salah seorang inisiatornya adalah Maria Sumarsih, ibunda Bernardus Realino Norma Irawan, mahasiswa yang tewas ditembak dalam demonstrasi menuntut reformasi pada 1998. Gerakan ini terus bergema dan menarik sejumlah pegiat hak asasi manusia ikut bergabung, termasuk Bedjo Untung, korban 1965 yang juga aktif di lembaga Ya-yasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965.
Jauh sebelum pertemuan pada 31 Mei, menurut Bedjo, ia bersama para korban pelanggaran HAM bertemu dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Pada Desember 2015 itu, para korban menagih janji Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti yang tertuang dalam visi-misi Jokowi-JK pada 2014. Kepada para korban, anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto, mengatakan penuntasan kasus HAM belum menjadi prioritas pemerintah. ”Fokus pemerintah sekarang condong pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi,” ucapnya, Kamis pekan lalu.
Menurut Sidarto, isu hak asasi manusia bukan perkara remeh. ”Isu ini selalu saja dibelokkan ketika pemerintah punya iktikad untuk menyelesaikan,” ujarnya.
Empat bulan setelah pertemuan itu, atau pada April 2016, pemerintah menyelenggarakan Simposium Nasional 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta. Bertajuk ”Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”, acara itu mempertemukan korban dan pihak yang dituding pelaku. Ini untuk pertama kalinya mereka bertemu dalam forum resmi. Sejarawan, pegiat hak asasi, ulama Nahdlatul Ulama, hingga anak Dipa Nusantara Aidit dan Njoto--tokoh Partai Komunis Indonesia--hadir. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan, menyokong acara tersebut.
Panitia simposium membentuk tim perumus rekomendasi untuk Presiden Jokowi. Di tengah pembahasan, ada yang berkukuh agar hasil rekomendasi hanya menyinggung solusi di luar pengadilan, yakni rekonsiliasi. Kubu lain, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menginginkan rekonsiliasi dibarengi penuntasan di jalur hukum. Akhirnya disepakati solusi non-yudisial menjadi prioritas.
Lebih dari dua tahun kemudian, hasil Simposium 1965 tak berbekas. Mantan Ketua Panitia Pengarah Simposium, Agus Widjojo, mengatakan situasi masyarakat sekarang tak memungkinkan pemerintah untuk merealisasi rekomendasi simposium. ”Isu komunis sering dijadikan isu musiman yang menyebabkan polarisasi masyarakat,” kata Agus, kini Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional.
Pada saat simposium digelar, sejumlah orang berunjuk rasa menuntut acara tersebut dibubarkan. Para purnawirawan juga mengancam akan menyelenggarakan ”simposium tandingan” yang bertajuk anti-PKI. Beberapa kelompok makin gencar menyuarakan anti-PKI, termasuk -dengan menggalakkan lagi menonton bareng film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI tiap menjelang tanggal 30 September. Lawan politik Presiden Jokowi pun menggunakan isu PKI untuk menyerang inkumben dengan menyebutnya sebagai keturunan PKI.
Agaknya ini yang membuat Jokowi berulang kali menyatakan akan menggebuk PKI. Terakhir, dalam pidatonya pada ulang tahun Tentara Nasional Indonesia tahun ini, ia mengatakan akan memerangi PKI. ”Bersama-sama Saudara-saudara melawan ideologi lain selain Pancasila, memberantas komunisme dan waris-an PKI agar lenyap dari negeri Indonesia selamanya,” ucapnya.
Menurut Agus, putra Mayor Jenderal Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, salah seorang korban Gerakan 30 September 1965, polarisasi tadi menyebabkan masyarakat seolah-olah tak beranjak dari situasi politik 50 tahun lalu. ”Saya tak berharap ada penyelesaian legal formal segera,” ujarnya. ”Yang terpenting rekonsiliasi, menutup masa lalu yang kelam dan menatap masa depan untuk keutuhan bangsa.”
Selagi pemerintah mencari formula penyelesaian secara non-yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berupaya memenuhi kebutuhan korban peristiwa 1965 dalam hal pengobatan. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan pemerintah punya kewajiban memberikan bantuan kepada korban pelanggaran HAM berat. ”Itu amanat undang-undang,” kata Edwin.
Bedjo Untung mengatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pernah mempersoalkan bantuan LPSK untuk para korban tragedi 1965 ini. ”Itu peristiwa setahun atau dua tahun lalu,” ujar Edwin.
Massa Front Pancasila berdemo menolak diselenggarakannya simposium ”Membedah Tragedi 1965”, di Jakarta, April 2016. -TEMPO/Subekti
Adapun Wiranto irit bicara ketika dimintai konfirmasi soal upaya pemerintah menuntaskan kasus HAM. ”Nanti saya jelaskan secara utuh. Bisa keliru kalau sepotong-sepotong,” kata Wiranto sambil bergegas masuk ke mobil dinasnya, Jumat pekan lalu.
Upaya menyelesaikan kasus 1965 lewat jalur yudisial pun tak lebih baik ketimbang cara non-yudisial. Ketua Komnas HAM Taufan Damanik mengatakan Komisi menyelidiki kasus ini sejak 2007. Tapi Kejaksaan Agung sebagai penyidik selalu mengembalikan berkas. ”Kejaksaan berkukuh pada ketentuan formil dan materiil di luar kapasitas Komnas HAM,” ucap Damanik.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman menjelaskan, pengusutan peristiwa 1965 harus disertai bukti yang kuat meski sudah lewat 50 tahun. Penyidik Kejaksaan tak bisa menerima hasil penyelidikan Komnas HAM bila alat buktinya dinilai belum kuat. ”Itu hal biasa dalam proses penyelidikan,” ujar Adi.
Kejaksaan, kata Adi, sudah memberikan petunjuk kepada penyelidik Komnas HAM agar berkas peristiwa 1965 bisa segera beres. ”Tapi penyelidik tak memenuhi kewajiban melengkapi petunjuk kami,” kata Adi. Misalnya dokumen operasi untuk menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap korban 1965 dilakukan secara sistematis oleh militer.
Di tengah kebuntuan, secercah harapan muncul dari daerah. Pemerintah Kota Palu berinisiatif menuntaskan kasus 1965. Wali Kota Palu 2005-2015, Rusdy Mastura, menerbitkan Peraturan Wali Kota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah.
Rusdy mengatakan aturan itu dibuat untuk menjamin hak korban pelanggaran HAM, dari hak hidup hingga hak turut serta dalam pemerintahan. Hak tersebut harus digaransi negara karena para korban adalah kaum yang tak berdaya. Di Palu, menurut Rusdy, kebanyakan adalah korban peristiwa 1965. ”Mereka miskin karena hak asasinya pernah dilanggar sehingga pemerintah wajib hadir,” ujar Rusdy.
RAYMUNDUS RIKANG, DEVY ERNIS, STEFANUS PRAMONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo