Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

TNI-Polri Klaim Komitmen Tindaklanjuti Putusan MK soal Netralitas Personel

Dia mengatakan TNI juga telah menerbitkan buku saku netralitas TNI yang berisi pedoman praktis bagi seluruh prajurit.

19 November 2024 | 13.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Markas Besar TNI mengklaim bakal berkomitmen menjaga netralitas dalam perhelatan Pilkada 2024. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto mengatakan, sebagaimana Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, TNI berperan sebagai alat negara yang bersifat netral dalam kehidupan politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sehingga tidak akan melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis," kata Hariyanto melalui pesan singkat, Selasa 19 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Hariyanto, TNI juga menjamin netralitas prajurit dengan rutin memberikan pengarahan kepada seluruh prajurit mengenai aturan dan sanksi yang akan diterima apabila terlibat cawe-cawe. Dia mengatakan TNI juga telah menerbitkan buku saku netralitas TNI yang berisi pedoman praktis bagi seluruh prajurit untuk mematuhi hal apa saja yang dilarang dilakukan dan apa yang dapat dilakukan. "Pengawasan ketat juga kami lakukan di seluruh matra,” ujar dia.

Ia menegaskan, pelbagai pelanggaran yang dilakukan prajurit akan ditindak tegas sesuai mekanisme hukum yang berlaku, baik melalui disiplin militer maupun peradilan militer.

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan Polri memiliki komitmen dalam menjaga profesionalisme dan mewujudkan demokrasi yang kondusif, khususnya dalam hal netralitas pada kehidupan berpolitik.

Polri, kata dia, memiliki peran dalam pengamanan dan memastikan pilkada berjalan dengan aman, damai dan bermartabat. "Netralitas Polri telah diatur padal Undang-Undang dan surat telegram Kapolri. Jika ada yang melakukan pelanggaran, silakan laporkan," kata Truno.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional Muhammad Choirul Anam mengatakan lembaganya amat mendukung putusan Mahkamah dalam perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024. Ia menilai, putusan tersebut merupakan sinyal positif dalam mewujudkan terselenggaranya pilkada yang adil dan bersih. 

Bahkan dalam mendukung implementasi tersebut, kata dia, Kompolnas telah bekerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam rangka mengecek adanya keterlibatan personel Polri di pilkada. "Bagi kami, ini hal yang poisitif dan harus didukung," kata Anam.

Anggota Komisi bidang Pemerintahan DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengaku belum membaca rinci ihwal putusan Mahkamah Nomor 136/PUU-XXII/2024. Kendati begitu, ia mengatakan mendukung terlaksananya pilkada yang adil dan sehat, termasuk dalam segi netralitas pada unsur pejabat daerah dan TNI-Polri. 

"Kalau memang putusannya menguatkan agar kompetisi fair, menurut saya bagus, tinggal diikuti saja," kata Doli.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutus perkara gugatan Nomor 136/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 14 November 2024. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan ketentuan norma pada Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan apa yang menjadi pokok permohonan pemohon. 

Dalam hal ini, pemohon melampirkan agar ketentuan pada Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 menambahkan frasa "pejabat daerah" serta "TNI/Polri" untuk tidak melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon yang berkontestasi.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, dalam pertimbangannya Mahkamah mencermati Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. 

Memang, kata dia, pada Pasal 71 ayat (1) telah diatur ihwal aturan netralitas pilkada, namun aturan tersebut hanya memuat frasa pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara (ASN) dan kepala desa atau sebutan lain.

Mahkamah menilai kedua Pasal tersebut, meski memiliki norma yang saling berpasangan, akan tetapi cakupan subjek hukumnya memiliki perbedaan.

Arief Hidayat menyebut, dalam pertimbangan Mahakamah, ketidaksesuaian rumusan norma primen dan sekunder di antara Pasal 188 dan Pasal 71 ayat (1) dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan konstitusi. 

"Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Arief dalam pembacaan pertimbangan putusan perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024.

Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus