Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada konflik kepentingan ketika pelaku pelanggaran pidana pemilu adalah prajurit TNI-Polri.
Bawaslu tak bisa begitu saja menindak pelanggaran netralitas TNI-Polri.
Ancaman penjara bagi pejabat daerah hingga prajurit TNI-Polri yang mendukung salah satu kandidat kepala daerah dalam Pilkada.
BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) dipastikan akan menghadapi berbagai hambatan ketika mengusut dugaan pelanggaran terhadap netralitas TNI dan Polri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Apalagi jika mengarah ke pelanggaran pidana pemilu, yang ancamannya pidana penjara sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Pasal 188 Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengajar hukum kepemiluan di Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, mengatakan Bawaslu memang akan menghadapi kendala ketika menangani pelanggaran terhadap netralitas anggota TNI dan Polri dalam pilkada. Ia menyebutkan, ketika prajurit TNI ataupun Polri dinyatakan melakukan pelanggaran administrasi, Bawaslu hanya bisa meneruskannya ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polri untuk anggota kepolisian serta ke Pusat Polisi Militer bagi prajurit TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saat ini belum ada lembaga yang memiliki kewenangan mengadili pelanggaran administrasi selain lembaga induk dari figur (anggota TNI-Polri) itu sendiri,” kata Yance, Senin, 18 November 2024.
Selanjutnya, kata dia, ketika prajurit TNI dan kepolisian dinyatakan melanggar pidana pemilu, Bawaslu meneruskannya ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu)—forum untuk menangani dugaan pelanggaran pidana pemilu—yang terdiri atas anggota Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan. Namun Yance ragu Gakkumdu akan menangani secara serius jika terduga pelaku pelanggaran pidana pemilu itu adalah anggota kepolisian ataupun prajurit TNI.
“Saya lebih melihat penanganan kasus pelanggaran dengan kacamata keamanan. Artinya, mereka cenderung memilah apakah laporan ini terlalu berisiko untuk diteruskan atau cukup sampai di sini tindak lanjutnya untuk menjaga stabilitas keamanan di pilkada,” ujar Yance.
Ia juga melihat potensi konflik kepentingan di Sentra Gakkumdu ketika terduga pelaku pelanggaran pidana pemilu adalah anggota TNI-Polri. Belum lagi sejumlah pensiunan dan anggota TNI-Polri aktif berkontestasi dalam pilkada.
Personel Satuan Brimob Polda Kalimantan Barat melakukan sterilisasi pengamanan di lokasi pelaksanaan debat terbuka pertama pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pontianak di Pontianak, Kalimantan Barat, 6 November 2024. ANTARA/Jessica Wuysang
Menurut Yance, Bawaslu tidak mempunyai kewenangan untuk masuk terlalu jauh dalam menindak pelanggaran administrasi dan pidana pemilu yang dilakukan aparatur sipil negara, pejabat pemerintah, ataupun prajurit TNI-Polri. Ia mencontohkan ketika Bawaslu menangani dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara. Setelah mengusutnya dan ASN itu dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran administrasi, Bawaslu hanya dapat meneruskannya ke Badan Kepegawaian Negara, sebelumnya ke Komisi Aparatur Sipil Negara—sebelum lembaga ini dibubarkan tahun lalu.
“Kewenangan Bawaslu hanya sampai pada menelaah dan mengkaji laporan pelanggaran yang masuk serta meneruskannya ke lembaga induk dalam hal pelanggaran administrasi dan Gakkumdu dalam pelanggaran pidana,” ucap Yance.
Ia menyarankan pemerintah membentuk lembaga independen yang bertugas dan berfungsi menangani pelanggaran administrasi serta pidana pemilu. Dengan demikian, setiap dugaan pelanggaran ASN, pejabat pemerintah, dan prajurit TNI-Polri tidak lagi melibatkan lembaga induknya. “Lembaga ini tentu akan lebih fleksibel dan akuntabel menangani pelanggaran, baik segi administrasi maupun pidana.”
Kamis pekan lalu, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi Pasal 188 Undang-Undang Pilkada. Dalam putusan perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024 itu, Mahkamah Konstitusi menambahkan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” pada Pasal 188. Awalnya, Pasal 188 ini berbunyi “setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta”.
Selanjutnya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi, Pasal 188 berubah menjadi “setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta”.
Adapun Pasal 71 mengatur bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.
Sebelum putusan MK ini, sudah terendus dugaan cawe-cawe anggota kepolisian di sejumlah daerah untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Pada umumnya mereka diduga berusaha memenangkan pasangan calon kepala daerah yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju—koalisi pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dalam Rapat Koordinasi Terbatas Persiapan Pembentukan Gakkumdu Pemilihan Serentak 2024 di Jakarta, 13 Mei 2024. Bawaslu.go.id
Peneliti dari Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, mendorong Bawaslu menguatkan posisinya di Gakkumdu. Penguatan posisi tersebut sangat penting bagi Bawaslu untuk mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. “Karena tantangan bagi Bawaslu begitu besar, yaitu harus menghadapi kejaksaan dan kepolisian,” kata Usep, Senin, 18 November 2024.
Usep menjelaskan, dalam menangani dugaan pelanggaran terhadap netralitas, khususnya yang mengarah ke pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu pasti melibatkan kejaksaan dan kepolisian di Gakkumdu. Tapi, di Gakkumdu, peran Bawaslu berkurang karena kejaksaan dan kepolisian yang memiliki pengalaman serta kapabilitas mengenai hukum pidana.
“Karena itu, penting bagi Bawaslu untuk terhubung dengan berbagai pihak dalam rangka menguatkan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.
Ia juga mendorong transparansi Bawaslu dalam menangani dugaan pelanggaran pidana pemilu di Gakkumdu. Transparansi itu sekaligus bagian dari mengajak masyarakat sipil mengawasi penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu tersebut. “Bawaslu semestinya menyampaikan dinamika dan berbagai perkembangan penanganan perkara di Gakkumdu,” ujar Usep. “Bawaslu juga harus berperan aktif, jangan pasif dalam menerima laporan pelanggaran dari masyarakat.”
Yance Arizona menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi itu seharusnya membuat Bawaslu makin berani mengusut dugaan pelanggaran administrasi ataupun pidana pemilu yang melibatkan ASN, pejabat pusat dan daerah, hingga prajurit TNI-Polri. “Bawaslu harus lebih berani dan bersikap tegas karena putusan Mahkamah Konstitusi menjadikan subyek hukum pelanggaran menjadi lebih luas,” ucap Yance.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja serta tiga anggota Bawaslu, yaitu Lolly Suhenty, Totok Hariyono, dan Puadi, belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Ahad lalu, Rahmat mengatakan Bawaslu sudah menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024. Bentuk tindak lanjut Bawaslu adalah menyampaikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kepada TNI dan Polri. “Sudah kirim surat ke TNI dan Polri,” kata Rahmat di Jakarta, Ahad, 17 November 2024.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto membenarkan bahwa lembaganya sudah mendapat surat dari Bawaslu mengenai putusan Mahkamah Konstitusi. Dia mengatakan TNI berkomitmen menjaga netralitas dalam pilkada.
Ia mengatakan Undang-Undang TNI sudah tegas mengatur bahwa TNI berperan sebagai alat negara yang bersifat netral dalam kehidupan politik sehingga tidak akan melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Hariyanto juga menjamin netralitas prajurit TNI dengan rutin memberikan pengarahan kepada semua prajurit mengenai aturan dan sanksi bagi mereka yang terlibat cawe-cawe dalam pilkada.
TNI juga menerbitkan buku saku netralitas TNI yang berisi pedoman bagi semua prajurit. Di dalamnya berisi larangan dan tindakan yang boleh dilakukan prajurit TNI. “Pengawasan ketat juga kami lakukan di seluruh matra,” ujar Hariyanto. “Berbagai pelanggaran yang dilakukan akan ditindak tegas sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, baik melalui disiplin militer maupun peradilan militer.”
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan kepolisian berkomitmen menjaga profesionalisme dan tetap netral dalam pilkada. “Netralitas Polri telah diatur dalam Undang-Undang (Polri) dan surat telegram Kapolri. Jika ada yang melakukan pelanggaran, silakan laporkan,” ucap Truno.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini