Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tulisan itu cuma lucu, perlukah... tulisan itu cuma lucu, perlukah...

Surat edaran dirjen pendidikan dasar dan menengah tertanggal 29 desember 1987, berisi agar para kepala sekolah menyaring buku & bahan bacaan di perpustakaan. Termasuk poster, leaflet maupun majalah sekolah.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG siswa menulis tentang cara guru menerangkan pelajaran. "Tahu apa yang diterangkan ? Blas geblas, geblas, sama sekali tidak nyerempet bab tersebut, bahkan nyenggol pun enggak. Ngalor-ngidul dari Porkas, wereng cokelat, dana revolusi, bahkan sampai perang Iran-Irak .... Walhasil, siswa bingung." Tulisan Dian, siswa itu, dimuat di Sketsa, majalah sekolahnya, SMAN II Surabaya. Beberapa hari setelah majalah bernomor Medio 1987 itu terbit, siswa tersebut kena tegur gurunya. Adakah kritik Dian dianggap telah mengganggu keamanan dan ketertiban sekolah? Teguran terhadap Dian teringat kembali, sehubungan dengan surat edaran dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah tertanggal 29 Desember 1987. Januari ini surat itu tentunya sudah sampai di meja para Kepala Kanwil P & K, dan para kepala sekolah di seluruh Indonesia, dan para Kepala Pewakilan RI di luar negeri. Inti edaran, agar para kepala sekolah menyaring buku dan bahan bacaan di perpustakaan guru dan siswa "yang tidak menunjang kepentingan pendidikan dan mungkin akan merongrong wibawa pemerintah". Selain itu, kepala sekolah juga diwajibkan "mengamati secara cermat berbagai tulisan yang beredar di sekolah, baik berupa poster, leaflet, maupun majalah siswa." Tujuannya, bila ada tulisan yang bisa mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, kepala sekolah diwajibkan bertindak. Itu semua demi "mengamankan sidang umum MPR 1988 ini". Sejauh liputan wartawan TEMPO -- di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya -- perpustakaan dan majalah sekolah tak segawat yang diduga surat edaran tersebut. Lihat majalah yang dikelola anak-anak remaja itu. Sketsa, majalah -- SMAN II Surabaya itu, umpamanya, cumalah diisi dengan vinyet, komik, cerita pendek, dan masalah seputar kegiatan sekolah.Dan inilah juga isi majalah-majalah sekolah yang lain di berbagai kota. Lalu perpustakaan. Sudah umum diketahui, sedikit saja sekolah yang memiliki perpustakaan. Dan umumnya perpustakaan sebuah SMA, misalnya, dipenuhi oleh berbagai novel pop, cerita fiksi, surat kabar, dan beberapa majalah. Buku-buku "berat" sulit dipergoki terpajang di rak buku perpustakaan. Memang satu dua perpustakaan sekolah menyimpannya juga. Umpamanya yang terlihat di SMAN IX Surabaya. Di situ setidaknya ada dua buku tentang politik: Pemikiran Politik di Negeri Barat karya Deliar Noer, dan Pembangunan Politik dan Perubahan Politik oleh Juwono Sudarsono. Namun, yang membaca dua buku itu, menurut petugas perpustakaan di situ, sedikit sekali. "Buku politik tidak menarik perhatian siswa," kata petugas itu. Dan Finta, siswi kelas I yang kebetulan pekan lalu membaca-baca di perpustakaan SMAN IX itu, mengatakan bahwa dia dan teman-temannya sulit mencerna soal politik. "Tapi novel nggak bakal kami lewatkan." Hal itu jugalah yang ditangkap oleh Soritaon Siregar, Kepala SMA Perguruan Panca Budi, Medan. Kepala sekolah yang mengelola perpustakaan yang tergolong agak maju ini mengamati "Murid-murid lebih suka mencurahkan perhatian pada buku yang ada hubungan nya dengan pelajaran sekolah." Sejauh ini agaknya cuma di SMAN 11 Surabaya seorang siswa kena tegur karena tulisannya di majalah sekolah. Mungkin, ini disebabkan, dulu, pihak kepala sekolah dan guru mempercayakan sepenuhnya sketsa, majalah itu kepada para siswa sendiri. Soalnya, majalah sekolah di beberapa sekolah ternyata tak luput dari penyensoran. Koran Tulip yang diterbitkan oleh SMAN III Jakarta, menurut Julius Wahyanto, wakil kepala SMA tersebut, "Pagi-pagi sudah kami sensor." Tulisan yang mengkritik guru dan kebijaksanaan sekolah disingkirkan, "apalagi yang berbau politik." Tapi dengan tersenyum Julius mengakui, enam tahun sudah Tulip, koran sekolah 8 halaman yang terbit sekali dalam tiga bulan, baru satu tulisan disensor karena "mengkritik kebijaksanaan sekolah tanpa dasar." Dan soal-soal politik? Tak sebuah pun pernah dibacanya. Paling jauh, seperti termuat dalam Tulip edisi November 1987, ada tulisan mengenai nasionalisme, berupa rangkuman pendapat dari berbagai pihak -- bukan cuma dari warga SMAN III, tapi juga tokoh masyarakat, misalnya kepala Siaran Bahasa Inggris TVRI Jakarta, Hendro Soebroto. Memang terkesan bahwa koran sekolah ini digarap dengan baik. Akan halnya koleksi perpustakaan, SMAN III memang pernah menyensor buku-buku. Bahkan beberapa tahun lalu membakar lima buku tentang Pendidikan Moral Pancasila, "karena buku itu dilarang dipakai di sekolah oleh Menteri Nugroho Notosusanto," tutur Julius. Juga di SMAN I Yogyakarta, Sugijarto, salah seorang wakil kepala sekolah, menyensor majalah Sigma. Selaku penasihat majalah sekolah itu, ia memang punya alasan. "Walau ini majalah intern, pasti sampai juga ke pembaca di luar, paling tidak keluarga di rumah," katanya. Karena itu, ia merasa perlu mengerem tulisan yang ekstrem. Maksudnya, yang bisa memberikan mformasi salah tentang SMAN I dan kebijaksanaannya. Cuma, Sugijarto tak cuma melarang. Ia pun sesekali mengadakan pertemuan, terutama dengan para siswa pengasuh Sigma, membuka diskusi berbagai masalah: dari soal pendidikan dan kebijaksanaan sekolah sampai soal-soal yang lagi hangat di masyarakat. "Ini juga salah satu cara memberikan pendidikan demokrasi," katanya. Yang menarik, sikap Achmad Hamid, Kepala SMAN IV Bandung. Ia sepenuhnya menyerahkan pengelolaan majalah dinding kepada OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). "Memang, sesekali ada kritik terhadap guru, terhadap sekolah, ada juga karikatur yang menyindir kepala sekolah, tapi saya biarkan," tuturnya. "Tulisan dan gambar itu cuma lucu, masih dalam batas kewajaran." Bagi Hasan Walinono, Dirjen itu, surat edaran kali ini, "bukan surat baru, karena tiap tahun selalu dibuat. Ini sekadar untuk mengingatkan saja." Memang ada bedanya, yaitu yang sekarang ada tambahan tentang "sidang umum MPR". Hasan mengatakan, adakalanya orang itu alpa, jadi perlu diingatkan. Ia memberikan contoh, sewaktu mengadakan kunjungan ke sebuah SMA di DKI Jakarta, ia menemukan novel yang dilarang beredar menjadi koleksi sebuah perpustakaan SMA itu. Ternyata, "tak semua guru tahu buku-buku yang ditarang," kata bekas Rektor Universitas Hasanuddin, Ujungpandang, ini. Maka, secara berkala kini pihak Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengirimkan daftar buku terlarang ke sernua sekolah di seluruh Indonesia dan sekolah Indonesia di luar negeri. Kasus buku yang terlarang yang ditemukan oleh Hasan Walinono boleh jadi sangat kebetulan. Dan sudah diatasinya dengan baik, yakni dengan mengedarkan daftar buku terlarang. Dan mengingat para guru bahkan siswa sendiri -- sudah berhati-hati dalam menurunkan karya tulis dan gambar di majalah dan koran sekolah, "surat edaran" 29 Desember itu sebenarnya tak perlu lagi. Lalu, jadilah -- seperti kata seorang wakil kepala sekolah yang berpesan agar tak disebutkan namanya -- "Surat edaran Pak Dirjen terasa berlebihan." Seperti, katanya, para guru dan kepala sekolah tak lagi dianggap cermat mengamati hal-hal di lingkungan sekolah. Sri Indrayati dan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus