Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pada mulanya botol jatuh

10 siswa SMA II FKIP Universitas Jember, Jawa Timur dikeluarkan karena suka minum-minuman keras. Orang tua siswa yang dipecat terkejut. Beberapa sekolah di sekitar Jember, mau menerima murid yang dipecat.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISWA-siswa SMA II FKIP Universitas Jember, Jawa Timur, hari itu baru saja menyelesaikan ujian semester. Wajah mereka cerah. Juga wajah untung. Dan begitu gembiranya dia, lalu loncat-loncat di halaman sekolah. Terjatuhlah dari saku pelajar kelas II itu sebuah botol. Peristiwa kecil pada 26 Desember ini rupanya jadi pangkal soal Untung harus pindah dari SMA tersebut. Buru-buru botol dia sambar. Tapi seorang guru menaruh curiga, mengapa hanya karena sebuah botol Untung tampak ketakutan. Apalagi setelah menyambar botol, siswa itu nggeblas menghilang. Kecurigaan Nuranto, guru olah raga, memang ada dasarnya. Ada selentingan, sejumlah siswa SMA yang terletak di Kecamatan Tanggul itu doyan menenggak air api. Merasa mendapat jalan, hari itu ia langsung mengusut botol Untung. Keterangan pun diperoeh hari itu juga, bahwa botol itu berisi air api alias minuman keras. Segera ia mencari Untung. Yang dicari ditemukan di sebuah warung tak jauh dari sekolah. Rupanya, Nuranto tak bisa mengendalikan diri, ia langsung bicara dengan kepalannya. Untung lalu dibawa ke sekolah. Suraji, Wakil Kepala Sekolah, langsung mengusut siswanya itu. Maka, meluncurlah pengakuan Untung bahwa botol yang terjatuh itu milik Erni Kusumawati, teman sekelasnya. Erni pun segera dipanggil. Dan tanpa ba atau bu lagi, tangan Suraji melayang ke pipi siswi itu. "Kamu wanita, kok, minum minuman keras," bentaknya. Singkat cerita, terungkaplah delapan siswa lagi, kelas I dan kelas II, diketahui suka teler. Segera pihak sekolah mengadakan rapat. Tiga hari kemudian keluar keputusan: kesepuluh siswa yang terlibat dalam urusan minuman keras itu dikeluarkan. Sebenarnya, ada seorang siswa kelas III yang juga terungkap ikut menikmati air api. Para guru tampaknya sedikit mengistimewakan dia, "kasihan, dia 'kan mau ujian," kata Suwandi, kelas II, salah seorang siswa yang dikeluarkan. Menurut Suwandi, mereka memang suka minum. Seminggu sebelum semesteran, tujuh pelajar kelas dua minum ramai-ramai. Lalu di awal Desember sejumlah pelajar kelas satu teler di sawah, di dekat sekolah. "Waktu itu saya mabuk. Juga Erni," cerita Suwandi. "Kalau nggak minum saya dibilang nggak jantan, nggak toleran," ujarnya melanjutkan. Biasa, di kalangan remaja, kalau tak ikut arus diejek ini dan itu. Bila mereka terpaksa dikeluarkan, kata Marju Pujosiswoyo, 55 tahun, Kepala SMA ini, karena mereka dianggap bisa mencemarkan nama sekolah yang punya 1.000 siswa ini. "Itu keputusan dewan guru," katanya. Tentu, para orangtua siswa yang dipecat terkejut. "Terus terang saya kaget, kok, tahu-tahu anak saya membawa surat pindah sekolah," kata Pembantu Letnan Satu Prayitno, ayah Retnosari. Ia nyaris kalap, karena pada surat yang dibawa anaknya, kepindahan tersebut sudah atas persetujuannya. "Diajak ngomong pun belum," kata anggota Korem Malang ini. "Ini pendidikan macam apa, memindahkan anak didik seenaknya?" Bapak ini untuk sementara menunda kemarahannya, karena yang penting anaknya bisa sekolah dulu. Kini Retnosari belajar di SMA di Jatiroto, 20 kilometer dari rumahnya. Padahal, bila ia tetap di SMA FKIP, ia tak harus menempuh jarak sejauh itu. Syukurlah, beberapa sekolah di sekitar Jember mau menerima "jebolan" SMA II FKIP itu. "Kami harus menolong mereka," kata Nano Sumarno, seorang guru SMA Taruna, yang kebagian tiga pindahan. Mereka dierima setelah teken pernyataan di kertas segel, yang isinya: jika berbuat lagi, mereka bersedia dipecat. "Tapi saya yakin, mereka akan sembuh. Mereka 'kan hanya iseng," kata Nano. Agaknya, teler sudah masuk sekolah. Bahkan di Jakarta ada siswa SD asyik dengan air api. Tapi perlukah mengeluarkan mereka sebelum bermusyawarah dengan orangtua siswa? Belum tentu kesepuluh siswa itu peminum. Erni Kusumawati kepada TEMPO mengatakan, seumur hidupnya, ya, baru minum dua sloki minuman keras. Yusroni Henridewanto (Jakarta) dan Herry Mohammad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus