Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wacana Pilkada Lewat DPRD Lagi, Prabowo: Negara Tetangga Efisien, Kita Keluar Duit, Duit, Duit

Usulan pilkada kembali lewat DPRD sebenarnya sudah berdesus sejak lama. Bahkan, baru 9 tahun sejak pertama dilaksanakan pada 2005, pada 2014 DPR ada.

16 Desember 2024 | 14.46 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar pemilihan kepala daerah atau pilkada diselenggarakan lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD. Menurut Prabowo, opsi itu dilakukan untuk menekan banyaknya anggaran yang dialokasikan. Anggaran sebesar itu menurutnya lebih baik digunakan untuk kebutuhan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya lihat, negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih ya sudah DPRD itu lah milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita,” kata Presiden saat memberikan sambutan di HUT Ke-60 Partai Golkar pada Kamis, 12 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usulan serupa sebenarnya sudah berdesus sejak lama. Bahkan, baru sembilan tahun sejak pilkada digelar secara langsung dilaksanakan pada 2005, DPR mengetuk aturan pilkada kembali dipilih lewat DPR pada 2014. Aturan itu dimentahkan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, ide-idenya tetap muncul pada tahun-tahun berikutnya.

Kilas balik aturan pilkada kembali lewat DPR pernah diketuk pada 2014

Setelah selama hampir 10 tahun lamanya dipilih langsung oleh rakyat, pilkada sempat dikembalikan lagi ke DPRD pada 2014. Rapat Paripurna DPR-RI yang berlangsung sejak Kamis, 25 September siang hingga Jumat, 26 September malam pukul 01.40 WIB melalui voting akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR-RI Priyo Budi Santoso itu, opsi pilkada dikembalikan pada DPRD yang didukung oleh fraksi-fraksi yang tergabung dalam koalisi merah putih seperti Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PPP, dan Fraksi Gerindra, dengan memenangkan voting dengan dukungan 226 suara.

Sedangkan opsi pilkada langsung oleh rakyat yang didukung Fraksi PDIP, Fraksi PKB, dan Partai Hanura memperoleh dukungan 135 suara. Adapun Fraksi Partai Demokrat memilih walk out, setelah usulannya mengajukan opsi ketiga pilkada langsung dengan 10 syarat menjadi perdebatan panjang pada rapat paripurna DPR-RI itu.

Namun, keputusan ini tak jadi dilaksanakan. Pasalnya, Presiden SBY menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu terkait Pilkada. Perppu ini membatalkan sekaligus mencabut Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD tersebut.

Sidang Paripurna DPR-RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Selasa siang, 20 Januari 2015 secara aklamasi menyetujui pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) menjadi undang-undang. Selain itu, melalui sidang paripurna itu, DPR-RI juga menyetujui Perppu No.2/2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi undang-undang.

Wacana pilkada lewat DPRD kembali mencuat pada 2018 setelah adanya pertemuan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Rencana ini didesuskan lewat revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Tjahjo mengatakan, dirinya dan Bambang beserta Pimpinan DPR lain seperti Fahri Hamzah dan Utut Adianto sempat terlibat diskusi terkait hal itu

“Nah, saya kira ini tahun depan pilkadanya sudah selesai serentak. Pak Ketua (DPR) menawarkan revisi ulang Undang-undang Pilkada dan nanti akan bisa kami bicarakan,” kata Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 6 April 2018. “Pak Ketua nanti akan ketemu dengan Bapak Presiden akan ketemu dengan KPU, Bawaslu dan semua pihak yang ada.

Hal senada disampaikan oleh Bambang. Ia mengatakan, banyak masalah yang dihadapi dengan adanya pilkada langsung. Beberapa di antaranya, yakni politik biaya tinggi yang kemudian memunculkan korupsi. Selain itu, menurut dia, pilkada langsung juga mengotak-mengotakkan publik dalam identitas masing-masing golongan sehingga berpotensi memecah belah masyarakat.

“Untuk mendapatkan tiket saja harus mengeluarkan biaya yang luar biasa, belum kampanyenya, belum biaya saksinya. Belum biaya penyelenggaraannya hampir Rp 18 triliun. Nah, kalau itu digunakan untuk biaya pembangunan mungkin itu lebih bermanfaat,” tutur Bambang saat itu.

Pihaknya menambahkan, sedianya DPR sempat menyetujui pilkada melalui DPRD pada 2014 lalu, namun pemerintah membatalkannya melalui Perppu. Ia menyatakan, Indonesia sudah melewati dua kali pilkada serentak sejak saat itu sehingga patut dievaluasi hasilnya.

Wacana tersebut sempat meredup. Namun, pada 2019, wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD kembali mengemuka. Jali ini dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Ia menyampaikan gagasan agar Pilkada langsung dikaji dan dievaluasi kembali sebab dinilai boros, rawan kerusuhan dan praktik korupsi. Mantan Kapolri ini mengusulkan pilkada dengan sistem Asimetris.

Ide Tito tersebut memang tak sepenuhnya mengembalikan pilkada ke tangan DPRD. Namun, sebagian kalangan menilai ini merupakan langkah mundur. Karena, akan mencabut kedaulatan rakyat dalam memilih dan menentukan kepala daerahnya. Seperti zaman Orde Baru, di mana kedaulatan rakyat dikangkangi karena kepala daerah diputuskan oleh pemerintah pusat dan segelintir elite.

“Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun,” ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 November 2019.

Setelah menuai polemik, Tito kemudian mengklarifikasi usulannya agar pelaksanaan Pilkada dievaluasi, bukan berarti mengembalikan proses pemilihannya ke DPRD seperti yang dilakukan di era Orde Baru. Hal itu disampaikan Tito dalam rapat dengan Komite I DPD RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 18 November 2019.

“Ini saya sendiri pernah menyampaikan (evaluasi pilkada) tapi tidak pernah menyampaikan untuk kembali kepada DPRD, ini saya klarifikasi,” katanya.

Dia mengatakan, pilkada langsung yang sudah berjalan sekitar 15 tahun, semangat awal pelaksanaannya adalah partisipasi publik untuk memilih pemimpinnya karena menggambarkan nilai demokrasi yang ada. Tapi dalam praktik setelah sekian belas tahun, pihaknya menilai ada dampak-dampak negatifnya seperti potensi konflik.

Tito mencontohkan, ketika dirinya masih menjadi Kapolda Papua, pelaksanaan Pilkada 2012 di Kabupaten Puncak, tertunda empat tahun karena konflik perang yang banyak menelan korban. Menurut dia, Pilkada 2017 di 101 daerah, Pilkada 2018 di 171 daerah, Pemilu Presiden 2019, dan Pemilu Legislatif 2019 yang berlangsung bukan tanpa konflik dan korban.

“Potensi konflik itu karena polarisasi. Polarisasi pilkada membuat masyarakat terbelah. Tapi dalam bahasa saya adalah polarisasi yang dilegalisasi, legal,” katanya.

Muncul kembali di 2024

Wacana pilkada lewat DPRD mencuat akhir-akhir ini setelah dilontarkan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia dalam HUT ke-60 partainya Kamis lalu. Dalam agenda di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat itu, Bahlil meminta izin kepada Prabowo yang hadir untuk mulai merumuskan formulasi baru terhadap sistem politik di Indonesia, yang ia nilai berbiaya tinggi.

Dalam penjelasannya, ia menyebut harus ada formulasi yang tepat untuk sistem politik yang benar-benar baik untuk rakyat dan negara demi mewujudkan cita-cita proklamasi. Bahlil juga yakin berbagai kalangan mempertanyakan sistem politik yang terjadi saat ini, khususnya setelah pilkada 2024.

“Dan saya pikir Pak Presiden, kalau memang partai lain belum mau menginisiasi, izinkan kami Golkar memulai dialektika ini, kami akan merumuskan, kami akan memberikan satu pemikiran-pemikiran yang baik,” katanya.

Dalam pandangan Partai Golkar, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini, tujuan negara bukan hanya demokrasi. Pasalnya, demokrasi adalah instrumen untuk mencapai tujuan politik. Bahlil pun menyebut bahwa tujuan negara adalah menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mengambil bagian dalam ketertiban dunia.

Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan wacana tersebut sebenarnya sudah bergulir di era pemerintahan presiden ke-7, Joko Widodo. Dia mengatakan, wacana ini sudah dibahas di tingkat partai politik. Supratman melanjutkan, pemerintah akan mengkaji usulan itu bersama dengan partai politik.

“Ini wacana baik untuk kita diskusikan menjadi diskursus untuk perbaikan pelaksanaan demokrasi di kita,” kata Supratman di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat, 13 Desember 2024.

Usulan ini sebelumnya juga disampaikan Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Ia mengusulkan agar pemilihan gubernur dilaksanakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD masing-masing provinsi. Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu mengungkapkan alasannya karena pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 berbiaya tinggi.

Jazilul memberikan contoh, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 1 triliun untuk Pilkada Jawa Barat. Belum lagi ditambah biaya pemilihan gubernur di wilayah lainnya. “Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp 1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit,” kata Jazilul di Jakarta, Kamis, 28 November 2024.

Nandito Putra, Alfitria Nefi dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kilas Balik Pernyataan SBY Usai Teken Perppu yang Anulir Pilkada Melalui DPRD

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus