KARENA perpustakaan, populasi kambing meningkat. Itu terjadi di
Desa Sabdodadi, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. "Tahun lalu,
kambing di sini cuma seribu," kata Widodo, 53 tahun, pengurus
perpustakaan. "Kini, sudah sekitar 1500."
Pasalnya ialah sebuah buku novel Jawa koleksi perpustakaan,
Wedhus Dadi Sambungtalining Katresnan (kambing sebagai
penghubung cinta), yang ternyata begitu digemari warga desa. Di
sela-sela roman dua remaja desa, dituturkan cara memelihara
kambing yang baik. Soalnya, diceritakan tokoh perjaka alam
cerita itu penggemar kambing.
Perpustakaan desa disebut-sebut di Hari Aksara, 8 September yang
lalu, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho
Notosusanto. Di Blitar, Jawa Timur, Menteri mengatakan
"perpustakaan membantu yang sudah bisa membaca untuk tidak
menjadi buta kembali." Di banyak desa memang tak mudah
didapatkan bahan bacaan, karena itu perpustakaan desa penting.
Sebenarnya ini sudah dimulai 2 tahun lalu, ketika turun
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25 tahun 1981, yang
menganjurkan diusahakannya perpustakaan di balai desa. Hasilnya,
sejumlah balai desa kemudian memang punya perpustakaan dengan
koleksi buku sebagian besar dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Tapi dua tahun kemudian, yang bertahan cuma
beberapa. Menurut beberapa pengurus perpustakaan desa yang
diwawancarai TEMPO, masalahnya ialah karena tak kunjung ada buku
baru, perpustakaan itu dilupakan warga desa.
Wagimin, misalnya, petani Desa Kerawon, Blitar, dulu suka
mengunjungi perpustakaan desanya, melahap buku-buku pertanian,
peternakan, dan perikanan. Ia kini tak datang lagi, karena "tak
ada buku baru, pak," katanya kepada TEMPO.
Masalahnya memang itu-itu juga: tiadanya dana. Sementara itu,
untuk memungut sewa dari peminjam, "wah, mereka mau meminjam
saja sudah baik," kata Mala Arni, pengurus perpustakaan Desa
Jati Kesuma, 25 km dari Medan.
Di sini peran aparat desa memang menentukan nasib perpustakaan
itu. Di Desa Marengmang, Kabupaten Subang, Jawa Barat, misalnya,
untung ada dana dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, meski
terbatas hanya untuk menggaji pengurus perpustakaan, Rp 6.500
per bulan. Untuk apa sebenarnya pemberantasan tiga buta (buta
aksara dan angka, buta bahasa Indonesia, buta pengetahuan
dasar), yang menurut sensus BPS kini ada sekitar 16 juta, bila
kemudian kepintaran yang diperoleh tak bisa dimanfaatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini