Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Warga Masjid tanpa Negara

Sekitar 258 warga muslim asal Indonesia dideportasi dari Timor Leste. Tak pernah melakukan Islamisasi.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sepekan ini lima lelaki itu keluar-masuk kantor pemerintah di Jakarta. Ke mana pun pergi, songkok putih tak pernah lekang dari kepala mereka. Mengaku pengikut tarekat Al-Mufarridiyah, kelimanya kini sibuk menyebar berlembar surat. Isinya meminta pemerintah Indonesia mengirim mereka kembali ke Republik Demokratik Timor Leste. "Kami sekarang tak punya negara," kata Haji Arham Appe, juru bicara kelompok itu, di kantor Departemen Sosial, Jakarta, Jumat pekan lalu.

Mereka memang baru tertimpa musibah di bumi Loro Sae sana. Pemerintah Timor Leste memaksa mereka kembali ke Indonesia. Alasannya, lima pengurus Masjid An-Nur, Dili, itu dianggap melanggar peraturan imigrasi setempat. Setelah ditahan dua hari, mereka dideportasi ke perbatasan Matoain, Atambua, Nusa Tenggara Timur, Senin dua pekan lalu. Merasa dizalimi, kelimanya melaju ke Jakarta.

Belum lagi usaha melobi Jakarta itu berhasil, eh, sepekan kemudian polisi imigrasi Timor Leste kembali mengusir 15 keluarga, termasuk keluarga lima pengurus masjid itu. Totalnya 258 jiwa. Semua berasal dari Indonesia dan tinggal di kompleks Masjid An-Nur. Ketegangan sempat memuncak saat pemulangan paksa itu.

Mulanya, polisi mencoba membujuk warga keluar dari halaman masjid. "Tapi, kalau di luar, tak ada tempat aman buat kami," ujar Arham kepada Tempo. Sewaktu Timor Leste merdeka, warga pendatang asal Indonesia memang kerap jadi sasaran kemarahan. Karena itulah para warga, terutama perempuan dan anak-anak, memilih bertahan di masjid.

Suara zikir mulai terdengar. Setelah upaya negosiasi aparat dan warga gagal, polisi memilih merangsek ke masjid. Pintu gerbang yang digembok warga diterabas petugas. Puluhan polisi menyerbu masuk. Warga Masjid An-Nur memang tak melawan. Mereka duduk melingkar, hanya melafalkan zikir. Ketika itulah polisi mengangkut paksa mereka ke luar. Dua bus dan satu truk dipakai mengangkut mereka ke perbatasan.

Aksi itu merupakan puncak kebijakan Dili bagi warga Masjid An-Nur. Mereka dituding tak punya dokumen keimigrasian di negara baru itu. Warga muslim itu dikenal sebagai komunitas Al-Mufarridun, nama lain pengikut tarekat Al-Mufarridiyah. Di masjid itu mereka tinggal sejak 1999. "Kami pindah ke kompleks masjid sejak kerusuhan meledak di Timor Timur," ujar Haji Dian Wahidin, seorang pengurus masjid.

Menurut pengakuan Dian, warga muslim asal Indonesia itu sudah tinggal di Timor Leste sejak daerah itu masih bernama Timor Timur. Setelah negeri itu lepas dari Republik Indonesia, mereka memilih menetap di sana. Dian menunjukkan bukti dia sudah diakui sebagai long term resident di sana. "Saya punya SIM dan kartu tanda penduduk," katanya. Rekannya, Arham, asal Makassar, sudah tinggal di negeri itu sejak 1991.

Rupanya, pemerintah Timor Leste sedang getol menertibkan status warga negara. Menurut hukum di negara baru itu, tanpa dokumen imigrasi, warga asing dilarang masuk dan berkegiatan di Timor Leste. Pemberlakuan Undang-Undang Imigrasi negeri itu memberikan waktu lima tahun, terhitung sejak 2000, kepada warga asing untuk memilih menjadi warga Timor Leste.

Aturan itu juga menyebutkan, dalam jangka waktu tersebut setiap warga asing diwajibkan memiliki dokumen resmi seperti paspor dan visa selama berada dan beraktivitas di sana. Bagi para pendatang, kata Menteri Dalam Negeri Timor Leste, Rogerio Tiago Lobato, pemerintah sudah memberi waktu enam bulan untuk mengurus dokumen imigrasi.

Batas waktu itu sempat pula diperlonggar sampai sepuluh hari. Sayangnya, kesempatan itu tidak digunakan komunitas Al-Mufarridun. Sikap itulah yang dinilai melawan pemerintah Timor Leste. "Itu sebabnya kami mendeportasi mereka," kata Rogerio, Senin pekan lalu di Dili. Tapi Arham punya cerita lain. Dia dan empat rekannya itu sempat dipanggil petugas imigrasi sebelum diusir paksa.

Setelah ditahan dua hari, mereka dibawa ke Kejaksaan Timor Leste. Lalu, kasus mereka dilempar ke pengadilan. Mujur, hakim memutuskan mereka bebas. "Kami hanya wajib lapor ke imigrasi seminggu sekali," ujar Arham. Tapi esoknya, di imigrasi, dia dan para rekannya justru disuruh menandatangani surat pengusiran paksa. Mereka menolak, dan kembali ke masjid. Lalu terjadilah penyerbuan polisi itu.

Menurut Arham, pengusiran itu tak patut nian. Soalnya, mereka hidup di Timor Leste sejak negeri itu belum merdeka. "Kami ingin menjadi warga negara Timor Leste," ujarnya. Barangkali, itu sebabnya tak satu pun dari mereka punya paspor Indonesia. "Mereka menjaga jarak dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Dili," kata Fauzi Bustami, pejabat di KBRI Dili. Fauzi juga memaparkan bukti, selama dua kali pemilu Indonesia di Timor Leste, tak satu pun warga Masjid An-Nur menjadi pemilih. "Sepertinya, mereka sudah merasa menjadi orang Timor Leste asli," kata Fauzi.

Arham menuding, alasan pemerintah Timor Leste mengusir mereka bukan semata soal imigrasi. Jangan-jangan, kata dia, pemerintah Timor Leste takut akan perkembangan Islam di sana. Sejak menempati Masjid An-Nur itu, komunitas Al-Mufarridun memang punya sejumlah usaha. Penduduk asli sekitar masjid banyak yang bekerja di usaha kecil milik mereka. "Pemerintah takut kami melakukan Islamisasi," ujarnya.

Coba tengok satu sekolah yang berdiri sejak 1998 di kompleks itu. Namanya Timor Islamic School Al-Mufarridun. "Muridnya 80 persen warga asli Timor Leste," ujar Ir. Sareppe, direktur sekolah itu. Melayani pendidikan dari taman kanak-kanak sampai SMU, kini sekolah itu punya 300 murid yang mayoritas Katolik.

Karena Sareppe dan sejumlah guru dideportasi, sekolah itu macet. Penduduk sekitar kehilangan pendidikan gratis. Dan Sareppe menolak tudingan bahwa sekolahnya alat Islamisasi. "Kami hanya mengajarkan Islam kepada anak-anak Islam," ujarnya. Nilai agama bagi murid Katolik mereka ambil dari pelajaran etika.

Duta Besar Republik Indonesia di Timor Leste, Ahmed Bey Sofwan, juga tak melihat upaya Islamisasi dari warga Al-Mufarridun. Mereka, kata Sofwan, lebih suka hidup berkelompok dan tidak menyebar ke berbagai distrik. Tinggalnya pun hanya di sekitar masjid. "Kalaupun keluar, paling banter di sekitar Dili," kata Sofwan.

Perkara ini, kata dia, sepenuhnya urusan imigrasi. Apalagi lima pengurus Masjid An-Nur itu, Arham Appe, Abdul Hamid, Ir. Sareppe Tabrani, Thamrin Aksa Leba, dan Dian W. Ferdianto, mengaku bukan warga negara Indonesia. "Mereka stateless," katanya.

Ketua Pusat Komunitas Islam Timor Leste, Arif Abdullah Sagran, turut sedih dengan adanya pengusiran paksa warga muslim asal Indonesia itu. Dia tak habis pikir mengapa warga Al-Mufarridun itu tidak mau ikut peraturan imigrasi. "Kami tidak ingin mereka keluar dari sini," ujarnya. Soalnya, mereka punya kemampuan mengajar di sekolah, mengaji, dan sebagainya. "Itu hal baik yang bisa kita manfaatkan."

Sagran juga menampik kalau dikatakan pemerintah Timor Leste takut akan Islamisasi. "Islam sudah lama diterima di Timor Leste," ujarnya. Jadi, warga Al-Mufarridun itu cukup mendaftarkan diri sesuai dengan aturan imigrasi. Mereka, kata Sagran, akan mendapat kartu tinggal sementara selama dua tahun. Kartu itu boleh diperpanjang dua kali tiga tahun. "Setelah itu, mereka baru bisa mendapatkan naturalisasi sebagai orang Timor Leste."

Tapi tawaran itu mereka tolak. Yang diinginkan warga Al-Mufarridun itu, kata Sagran, adalah hak perolehan warga negara secara otomatis. Kini, dengan pengusiran paksa itu, jalan Arham Appe kembali ke Timor Leste tampak lebih berliku. Untuk sementara, kata Arham, semua bekas warga masjid "tanpa negara" itu akan tinggal di Medan, Sumatera Utara. Di sana ada seorang pengusaha yang mau menampung jemaah Al-Mufarridun itu.

Nezar Patria, Alexandre Assis (Dili)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus