Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jurus Pendekar Tua Menghadang Akbar

Menjelang musyawarah nasional Golkar di Bali, sesepuh Golkar bergerilya mengganjal pencalonan Akbar. Mereka menuntut DPD tingkat II menjadi peserta. Tapi Akbar masih kuat.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya, Indra Bambang Utoyo keluar dari "pertapaannya". Ia mengaku tak tahan berdiam diri setelah enam tahun tidak aktif di Partai Golkar. Ia di-recall dari DPR ketika mengusung bekas Panglima ABRI Edi Sudrajat bertarung melawan Akbar Tandjung pada Musyawarah Nasional Golkar 1998. Kasus itu cukup membekas di hatinya.

"Semuanya sudah cukup," kata Indra. Kali ini, ia merasa terpanggil lagi setelah melihat situasi Partai Golkar semakin kisruh pasca-pemilu presiden putaran kedua. Apalagi setelah mendengar Akbar Tandjung masih ngotot maju sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar pada musyawarah nasional di Bali, 15-20 Desember mendatang. "Saya kecewa lihat situasi Partai Golkar kayak begitu. Partai jadi kisruh, regenerasi tak jalan," katanya.

Mantan Ketua DPP Golkar ini akhirnya menyusun langkah. Indra berniat ikut berlaga menjadi salah satu calon, menghadang Akbar Tandjung. Sejumlah kawan lamanya dikontak menjadi tim sukses. Indra juga siap bertarung dengan sejumlah kandidat lain seperti mantan calon presiden dari Partai Golkar, Wiranto, dan tokoh Forum Komunikasi Putra-Putri ABRI, Surya Paloh, serta fungsionaris Partai Golkar, Marwah Daud Ibrahim.

Tapi, apa yang terjadi setelah sebulan Indra menyatakan niatnya untuk "unjuk gigi"? Ternyata ia mempertimbangkan niatnya itu karena tak punya "gizi". Istilah "gizi" ini populer ketika Golkar melakukan konvensi menjelang pemilu presiden putaran pertama dulu. Maksudnya adalah dana. "Modalku tak cukup. Jual rumah sama kebun tetap saja tak cukup. Gizi ini penting karena selalu diminta jika kita bicara dukungan. Ini penyakit baru yang mengerikan di Golkar," kata Indra.

Bukan cuma faktor "gizi" yang akan mengganjal para kandidat. Ada soal lain yang lebih penting, seperti rancangan tata tertib yang sedang dibahas Steering Committee. Di situ masih disebutkan sistem lama, yakni pemilik hak suara adalah pengurus Golkar tingkat provinsi dan organisasi sayap pendiri Golkar. Organisasi sayap ini adalah Sentra Organisasi Karyawan Swadiri, Kosgoro 1957, Ormas MKGR, AMPI, Al-Hidayat, Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) , Himpunan Wanita Karya (HWK), dan Satkar Ulama Indonesia. Ormas ini disebut Hasta Karya. Pengurus Golkar tingkat kabupaten dan kota hanya hadir sebagai peninjau. "Ini kan tak cocok dengan kesepakatan musyawarah nasional tahun 1998, yang mengamanatkan agar pengurus daerah tingkat kabupaten dan kota punya hak suara atau sebagai peserta," kata Indra.

Lucunya, kata Indra, hak yang harusnya direalisasi dalam musyawarah nasional mendatang ini justru pernah digunakan untuk memilih calon presiden dalam konvensi, April silam. "Jadi, ini kan akal-akalan Akbar untuk menghadang calon lain," kata Indra.

Selain soal hak suara, juga soal syarat ketua umum. Syarat ini bisa mengganjal beberapa kandidat. Pasal 12 Ayat 1 menyebutkan, calon ketua umum partai adalah mereka yang aktif berjuang di jajaran kepengurusan Partai Golkar minimal lima tahun terus-menerus. "Lha, ini tak cuma saya yang terganjal, calon lain seperti Pak Wiranto atau Bang Surya juga bakal tak bisa masuk," kata Indra lagi.

Meski begitu, Indra Bambang Utoyo kini bergabung dengan sejumlah kawannya dan para tokoh gaek Golkar seperti Muladi, Harmoko, Cosmas Batubara, Ketua SOKSI Oetojo Oesman, dan Moerdiono. Mereka membuat gerakan pembaruan. Mereka rajin bertemu membahas kondisi Golkar dan sepak terjang Akbar. Mereka menemui mantan Ketua Umum Golkar Sudharmono. Kebetulan Sudharmono kesal dengan manuver Akbar menggalang Koalisi Kebangsaan yang mendukung Megawati-Hasyim Muzadi pada pemilu presiden putaran kedua. Dan kemarahan Sudharmono pun berlanjut. "Sudahlah, sebaiknya Akbar tak usah mencalonkan diri lagi," kata Sudharmono, Rabu pekan silam, kepada tokoh gaek Golkar yang menemuinya.

Belakangan, manuver para sesepuh Golkar ini mendapat dukungan dari kandidat ketua umum seperti Wiranto, Surya Paloh, dan Marwah Daud Ibrahim. Mereka bersama-sama menolak rancangan tata tertib musyawarah nasional soal kriteria pencalonan ketua umum dan mendesak kepemilikan hak suara bagi pengurus partai di daerah tingkat II.

Bagi kandidat di luar Akbar, suara pengurus daerah tingkat II amatlah penting. Tengoklah peta konvensi April silam. Saat konvensi lalu, Wiranto unggul dengan 315 suara, sementara Akbar hanya 227 suara. Dukungan suara Wiranto ada di kabupaten/kota madya, sedangkan dukungan Akbar ada di tingkat provinsi. Tak mengherankan, dengan tata tertib yang tidak mengakomodasi hak pengurus daerah tingkat dua, peluang Akbar memenangi pemilihan sangatlah besar.

Dengan kalkulasi seperti itu, menurut pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Riswanda Imawan, Akbar berpeluang menang dalam pertarungan ini. Riswanda tak salah. Apalagi belakangan Akbar tergolong rajin menyambangi daerah. Awal Oktober silam, misalnya, Akbar bergerak cepat untuk konsolidasi ke sejumlah kota dan kabupaten di berbagai pelosok Tanah Air. Akbar menyambangi setiap musyawarah daerah Golkar, baik tingkat kabupaten maupun provinsi.

Kubu Akbar juga berusaha menempatkan orangnya dalam kepengurusan baru di daerah. Tujuannya mudah ditebak, Akbar ingin memangkas pengurus kota atau kabupaten yang tidak memilih dirinya saat konvensi calon presiden Partai Golkar silam. Langkah itu sekaligus menggergaji pengurus Golkar kabupaten yang umumnya memilih Wiranto saat konvensi lalu.

Sayangnya, tak semua calon Akbar lolos. Di Bali, misalnya, musyawarah daerah setempat memunculkan Cokorde Suryawan sebagai ketua. Mantan Bupati Gianyar itu disebut pendukung Wiranto. Di Jawa Timur, kubu Akbar harus all out untuk mengegolkan Ridwan Hisjam, pendukung setianya, sementara di kawasan itu pendukung Wiranto tak sedikit. Di Jawa Tengah, tempat Akbar hadir dalam musyawarah daerah, yang terpilih justru bukan pendukungnya.

Tapi memang tak mudah bertarung melawan Akbar. Agaknya, ini disadari para kandidat. Karena itu, satu-satunya cara melawan Akbar adalah getol mendekati pengurus daerah untuk mau bersama-sama mengubah tata tertib dan AD/ART dalam musyawarah nasional mendatang. Terutama soal aturan pemungutan suara. "DPD II harus menjadi peserta dan punya hak suara," ujar Oetojo Oesman, Ketua Umum SOKSI.

Akhirnya para sesepuh Golkar berhasil juga berkumpul dengan 81 pengurus daerah tingkat kota dan kabupaten di Hotel Atlet Century Park, Kamis pekan silam. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Wiranto dan Marwah Daud Ibrahim itu, beberapa pengurus mengungkapkan rencananya akan memboikot musyawarah nasional jika tuntutan hak suara mereka tidak diakomodasi. Langkah awal, para pengurus daerah itu akan membawa tuntutan perubahan dalam rapat pimpinan daerah masing-masing. Baru kemudian dibawa ke rapat pimpinan Golkar yang akan digelar di Jakarta pekan ini.

Namun, dukungan Akbar juga tetap kuat. Wakil Ketua Golkar Jawa Tengah, Soejatno Pedro, misalnya, mengisyaratkan tetap akan mendukung Akbar. Demikian pula di Sulawesi Barat. Menurut Ketua Partai Golkar Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh, nama Akbar dianggap masih berpeluang memimpin Golkar. Suara di Sulawesi Utara hampir sama. "Intinya, calon ketua umum partai harus sudah pernah menjadi pengurus. Jadi, tak lagi kagetan," kata Victor Mailangkay, Sekretaris DPD Partai Golkar Sulawesi Utara.

Akbar sendiri tak ambil pusing dengan manuver para pendekar tua atau lawan-lawan politiknya. "Semua terserah peserta munas (musyawarah nasional)," ujarnya. Mantan Ketua HMI ini juga membantah telah merekayasa, apalagi mencampuri kerja panitia musyawarah nasional. Menurut Akbar, jika DPD II ini punya hak suara, konsekuensi logisnya harus mengubah AD/ART partai. Konsekuensinya, musyawarah daerah DPD I juga akan melibatkan pengurus partai tingkat kecamatan. Sedangkan musyawarah daerah tingkat II harus melibatkan tingkat kelurahan dan desa. "Jadi, bila pada munas di Bali nanti suara dari DPD II belum bisa diakomodasi, itu bukan merupakan upaya memuluskan saya untuk kembali duduk sebagai ketua umum," kata Akbar.

Wakil Ketua Steering Committee, Rully Chairul Azwar, membantah rancangan tata tertib itu dimaksudkan mengganjal lawan-lawan Akbar. Menurut Rully, draf itu belum final dan baru diputuskan dalam musyawarah nasional. Semua ma teri itu pun, kata Rully, telah didasarkan pada AD/ART partai. "Jadi, tidak untuk mengganjal siapa pun," katanya.

Rully mengibaratkan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar ini bisa disamakan dengan upaya mencari pilot terbaik untuk sebuah pesawat penerbangan besar. "Dengan kriteria sesuai dengan pedoman yang ada, bisa mendapatkan pilot yang profesional. Tak hanya sekadar menerbangkan pesawat, tetapi juga membawa penumpang dalam jumlah besar dengan aman. Jadi, tak mungkin gegabah," ujarnya.

Widiarsi Agustina, Ecep S. Yasa, Irmawati (Makassar), Verianto Madjowa (Manado), Syaiful Amin (Yogyakarta), Sohirin (Semarang), Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus