Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARUM jam di tangan Brahmanie Hastawatie menunjukkan pukul 21.40 WIB. Menurut jadwal, mestinya Boeing 747 itu sudah harus meninggalkan landasan Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Tapi, sampai detik itu para penumpang masih saja mengalir memasuki kabin pesawat. Brahmanie menyambut mereka di depan pintu.
Tak ada yang aneh, sampai kemudian penyelia awak kabin ini menoleh ke kursi penumpang kelas bisnis. Di situ ia bertemu Pollycarpus, yang memberitahukan keinginannya bertukar tempat duduk. Brahmanie mengenal penumpang ini sebagai pilot Garuda, dan malam itu tidak sedang bertug-as menerbangkan kapal yang akhirnya bertolak ke Amsterdam melalui Singapura pada pukul 21.55 itu.
Awak kabin dengan pengalaman 29 tahun di Garuda ini tak tahu pasti apa yang hendak dikerjakan pilot Airbus 330 itu. Di daftar penumpang, status Polly extra-crew. Polly minta izin memberikan kursi kelas bisnisnya di 03K kepada Munir, yang mengantongi tiket ekonomi di kursi 40G. Pertukaran kursi itulah yang belakangan menarik perhatian dan membuat mantan penerbang Associated Mission Aviation (AMA) di Sentani, Papua, ini lebih banyak disebut dibanding kru lain.
Dalam pemeriksaan polisi, beberapa kru juga mengatakan melihat Polly mondar-mandir selama terbang Jakarta-Singapura. "Seperti bola bekel saja," kata salah satu dari mereka. Inilah sepotong kesaksian salah satu awak kabin yang diperiksa polisi mulai awal pekan lalu di lantai 9 Gedung Garuda Indonesia di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Menurut polisi, semua personel Garuda dalam penerbangan GA-974 pada 6 September lalu itu telah diperiksa.
Sesuai dengan data yang tertera dalam general declaration, semuanya berjumlah 41 orang. Tempat pemeriksaan yang tidak di kantor polisi ini, menurut Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Komisaris Jenderal Suyitno Landung, untuk memudahkan penyesuaian proses penyelidikan dengan jadwal terbang para karyawan Garuda.
Delapan saksi lain adalah istri Munir, Suciwati; Dokter Tarmizi Hakim, yang memberikan pertolongan di pesawat; serta para kolega almarhum di Imparsial dan para kerabat yang turut mengantar sampai Cengkareng. "Masih ada sepuluh lagi," kata Komisaris Besar Oktavianus Farfar, ketua tim penyidik kasus ini, di Markas Besar Polri.
Dari jumlah itu, polisi menyeleksi 11 nama untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. "Mereka adalah para kru Garuda dan Dokter Tarmizi," kata Farfar. Juru Bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Paiman, menambahkan keterangan, nama Polly adalah salah satu diantaranya. Adakah tersangka pelaku pembunuh Munir di antara sebelas nama itu? Farfar buru-buru mengatakan penyelidikan belum sampai pada titik itu, meskipun ia juga tak menolaknya.
Polisi juga tak bersedia memerinci lebih jauh nama para saksi terpilih ini. Tapi beberapa sumber di institusi ini mengatakan, mereka adalah para awak kabin yang sempat berhubungan langsung dengan Munir, sejak dari Cengkareng hingga meninggal, dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam.
Garuda memiliki tiga set pilot berikut awak kabin dalam penerbangan itu. Kapten Sabur Muhamad Taufik memimpin perjalanan dari Jakarta ke Singapura, dengan Brahmanie sebagai salah satu penyelia awak kabin. Matondang menerbangkan pesawat dari Singapura menuju Amsterdam dalam enam setengah jam pertama, kemudian dilanjutkan oleh Kapten Widyo Kirono Kusumowidjojo untuk enam setengah jam berikutnya.
Selama penerbangan dipimpin Sabur, Matondang dan Widyo duduk di belakang Munir, di kursi 04A dan 04B. Di 04D dan 04E duduk kru bernama David Destinus dan Tumpal Hutapea. Di sebelah Munir, di 03J, duduk seorang bernama Lie, yang belakangan diketahui sebagai apoteker yang tinggal di Belanda. Lie sempat membantu Dokter Tarmizi dengan meramu obat-obatan yang diberikan kepada Munir setelah diare dan muntah-muntah. "Kami masih mencoba menghubunginya untuk dimintai keterangan," kata Farfar.
Ketika penerbangan dipimpin Matondang, Munir mulai mengerang kesakitan, setelah hampir tiga jam lepas landas dari Bandara Changi. Dan berdasarkan otopsi di Netherlands Forensic Institute (NFI), Amsterdam, diketahui Munir meninggal akibat racun arsenik. Kadar racun warangan itu dalam darah aktivis hak asasi manusia ini mencapai 3,1 miligram per liter. Padahal, ambang batas yang bisa ditoleransi tubuh manusia hanya 1,7 miligram per liter.
"Itu mengindikasikan Munir meninggal akibat racun yang bekerja secara cepat dalam hitungan jam," kata koordinator Kontras, Usman Hamid, yang menyertai tim polisi ke Belanda mengambil hasil otopsi. Fakta ini menjadi dasar untuk mengerucutkan dugaan berikutnya: Munir menelan racun itu dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Sebab, menurut polisi, racun itu membutuhkan jeda waktu untuk bekerja 30 menit sampai 4 jam sejak ia merasuk ke dalam tubuh.
"Tergantung postur tubuh dan kondisi fisik korban saat itu," kata Farfar kepada Tempo, Kamis malam pekan lalu. "Kalau orangnya sangan fit, malah bisa sampai satu hari." Dalam kasus Munir, kemungkinan racun beraksi setelah empat jam, sesuai dengan siklus sistem pencernaan sampai makanan terserap melalui darah. Dugaan itu diperkuat fakta lain bahwa Munir tak lagi menyentuh makanannya setelah pesawat meninggalkan Changi.
Hal itu terungkap melalui kesaksian para kru yang melayani Munir dari Singapura menuju Amsterdam, yang juga diperiksa pekan lalu. Ketika itu Munir sudah kembali duduk di 40G, dan paket reguler yang dibagikan ditemukan masih utuh di bawah kursinya ketika Munir meninggal. "Hanya teh hangat yang sempat dikonsumsi, itu pun dikeluarkan lagi karena mulai muntah," kata seorang awak dalam pertemuan resmi Garuda dengan keluarga dan kerabat almarhum, 8 November lalu.
Selama transit hampir sejam di Changi, Munir juga tidak jajan apa pun, karena uangnya ditemukan masih utuh. Para saksi pun mengatakan hanya melihat mantan Ketua Kontras itu di ruang tunggu. Dan Suciwati adalah orang yang paling meragukan kemungkinan arsenik masuk tubuh Munir sebelum ia naik pesawat di Cengkareng. Suci memastikan, ia selalu bersama suaminya sampai berpisah di pintu ruang tunggu bandara. "Munir juga tidak suka jajan dan makan di restoran," katanya.
Suci amat yakin, apa yang dimakan Munir pada hari-hari terakhir menjelang keberangkatannya sama dengan yang ia makan. "Kalau ada apa-apa, saya pasti kena juga," ujarnya. Terakhir, selama di Bandara Cengkareng, Munir sempat minum susu yang dipesan di Dunkin Donat. "Saya minum juga dari gelas yang sama," Suci menambahkan. Lalu, apa yang jadi tumpangan arsenik itu?
Sempat beredar kabar, kemungkinan racun masuk melalui permen yang dibagikan menjelang pesawat lepas landas. Tetapi, kepada Tempo, Farfar membantah sinyalemen yang datang dari koleganya itu. "Hampir tidak mungkin," katanya. "Arsenik akan lebih mudah diserap tubuh bila dilarutkan, misalnya melalui minuman," ujar ahli forensik Universitas Indonesia, dr. Handoko Tjondro Putranto, kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.
Tak lama setelah mengudara, para penumpang di kelas bisnis memang mendapat minuman selamat datang. Ada dua pilihan: jus jeruk atau sampanye. Munir memilih yang pertama. Beberapa menit berikutnya, awak kabin datang menawarkan makanan panas, juga dalam dua pilihan. Munir memilih mi goreng, yang kemudian disajikan oleh Yetty Susmiarti dari troli yang ia giring bersama Oedi Irianto.
Kepada polisi, Yetty yang sudah 12 tahun di Garuda mengaku tak melihat ada yang aneh dengan sajiannya. "Yah, seperti biasanya saja," katanya. Selain mi goreng, Munir mendapat jus jeruk dan buah-buahan potong. Semua makanan itu masih tersisa di lambung Munir, yang kemudian menjadi bukti otopsi. Tetapi, kata Farfar, "Sulit memastikan makanan mana yang membawa masuk arsenik."
Namun sumber yang mengetahui proses pemeriksaan para saksi di Garuda membisikkan, "Mi goreng itu yang dipakai." Dalam suhu lebih tinggi, kata Handoko, memang bubuk arsenik jauh lebih cepat larut. Tetapi di mi goreng? Bisa juga. Hanya, pasti masih banyak tersisa di dinding lambung karena kurang terserap. Dan ini cocok dengan temuan tim forensik yang masih mendapati sisa bubuk putih itu dalam jumlah 465 miligram tertinggal di lambung Munir. "Dengan 200 miligram saja sudah bisa membunuh," kata Handoko. Tapi penemuan ini saja masih jauh dari cukup untuk mengungkap siapa pelaku dan untuk apa pembunuhan ini dilakukan.
Y. Tomi Aryanto, Indra Darmawan, Martha Warta Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo