Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN pria berseragam cokelat hilir-mudik di depan pintu masuk Taman Ria Senayan, Jakarta Selatan, Rabu sore pekan lalu. Beberapa sibuk berbicara di telepon seluler, yang lain menurunkan papan besar merah dari mobil Kijang berlogo Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan. Mobil pikap itu lalu diparkir tepat di depan pagar pembatas putih penutup kawasan yang sebulan lalu diratakan.
”Kami diperintah menyegel kawasan ini,” kata Syahruddin, petugas Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan DKI Jakarta, sore itu. Para petugas langsung memasang papan pemberitahuan di pagar Taman Ria. Tulisannya besar-besar: ”Bangunan Ini Disegel”. Rantai bergembok lalu dipasang, me ngunci pintu masuk kawasan seluas 11 hektare itu.
Inilah buntut perselisihan pendapat antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Sekretariat Negara mengenai pengembangan kawasan Gelora Bung Karno, sepanjang pekan lalu. Kisruh bermula dari keinginan politikus di Senayan untuk menguasai Taman Ria dan menjadikannya bagian dari kompleks DPR. Meski disetujui, keinginan itu tak bisa serta-merta dipenuhi pemerintah. Sebab, Sekretariat Negara terikat kontrak pengelolaan lahan dengan PT Ariobimo Laguna Perkasa sampai 25 tahun ke depan.
Penyegelan yang diinstruksikan langsung oleh Gubernur Jakarta Fauzi Bowo ini dipersoalkan Ariobimo. ”Apa salah kami? Kenapa harus disegel?” kata Kurnia Ahmadi, direktur pelaksana perusahaan itu, Jumat pekan lalu. Kalau nasibnya terus diombang-am bingkan, ia mengatakan, Ariobimo akan membawa kasus ini ke pengadilan.
BUKAN kali ini saja kawasan Ge lora Bung Karno bermasalah. Tiga tahun lalu, Sekretariat Negara kehilang an haknya atas lahan seluas hampir 1 hektare yang ditempati Hotel Hilton kini menjadi Hotel Sultan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak dakwaan jaksa yang menuding hak guna bangunan yang diperoleh pemilik hotel itu, Pontjo Sutowo, terkait korupsi. Kasus itu kini sedang dalam proses peninjauan kembali.
Persis sama dengan kasus Hotel Sultan, kepemilikan Sekretariat Negara atas lahan seluas 1,7 hektare yang dikuasai Panin Bank juga tengah digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (lihat ”Mencontoh Siasat Lahan Tetangga”).
Dua tahun lalu, Sekretariat Negara menggugat PT Selaras Nusa Perkasa karena tidak membangun pusat hiburan dan gedung serbaguna di lahan yang mereka kuasai, tepat di belakang Hotel Atlet Century. Upaya ini pun kandas di pengadilan dan saat ini dalam proses kasasi di Mahkamah Agung.
Semua sengkarut ini bermula dari tidak jelasnya pengelolaan lahan seluas 320 hektare yang dibebaskan pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan Asian Games, pada 1959. Padahal nilai total aset di sana lebih dari Rp 50 triliun. ”Kontribusi kawasan Senayan ke negara saat ini hanya Rp 15 miliar per tahun,” kata politikus Partai Amanat Nasional, Teguh Juwarno, yang kini mengetuai Panitia Kerja Aset Negara di DPR. ”Semuanya harus dibenahi, kontrak-kontrak dengan pihak ketiga harus dinegosiasi ulang,” katanya.
Itu tentu bukan perkara mudah. Apalagi karut-marut ini punya sejarah panjang. Setelah penyelenggaraan pesta olahraga Asia itu berakhir pada 1962, pemerintah saat itu langsung membagi-bagikan lahan Senayan untuk berbagai kepentingan.
Baru 20 tahun kemudian, pada 1984, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono mulai melakukan penertiban. Semua lahan eks Asian Games di Senayan dinya takan sebagai milik negara yang dipinjamkan ke pihak ketiga, maksimal 20 tahun. Sayangnya, putusan itu terlambat. Banyak perusahaan sudah kadung meng urus hak kepemilikan mereka di sana secara permanen. Carut-marut inilah yang kini berbuah sengketa.
Kisah penguasaan Taman Ria Senayan juga bukan pengecualian. Kawasan ini semula dikuasai PT Pembangunan Jaya sampai 1990-an. Pada Maret 1992, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono menyerahkan aset negara itu kepada Yayasan Karya Bhakti Rukun Ibu Ampera Pembangunan, atau Yayasan Ria Pembangunan.
”Niatnya ketika itu sebagai bantuan negara untuk membiayai berbagai kegiatan sosial ibu-ibu istri menteri kabinet,” kata Krisnina Akbar Tandjung, istri Menteri Perumahan Rakyat Orde Baru, Akbar Tandjung, yang pernah mengelola yayasan ini.
Ketua Dewan Pembina Yayasan saat pertama berdiri pada 1967 adalah Nyonya Tien Soeharto. Pengurusnya istri-istri menteri. Yang unik, meski pasangan mereka tak lagi menjadi menteri, ibu-ibu ini tetap aktif di Yayasan Ria Pembangunan. ”Saat presidennya berganti ke Pak Habibie, ketua yayasan dijabat Ibu Ainun Habibie,” kata Nina. Sudah jadi tradisi saat itu, pemimpin yayasan adalah istri kepala negara.
Yayasan tentu tak mengeluarkan duit sepeser pun ketika menerima aset ini. Permintaan pemerintah saat itu, kata Nina, hanya satu: lahan itu harus menjadi taman hiburan rakyat dan bukan bangunan komersial. ”Jadi, benar-benar menjadi paru-paru kota,” kata Nina, yang dihubungi Tempo akhir pekan lalu.
Nina masih ingat, Taman Ria Remaja padat dipenuhi pengunjung pada masa itu. ”Ada sepeda air di danaunya, ada bangku-bangku untuk muda-mudi bercengkerama,” katanya mengenang.
Pemasukan yang diterima Yayasan Ria dari pengelolaan taman itu kemudian digunakan untuk membiayai delapan panti wreda dan sejumlah panti asuhan anak-anak telantar. ”Semua masih beroperasi sampai sekarang,” kata Nina.
Masalah datang setelah reformasi. Pada 2004, Menteri-Sekretaris Negara Bambang Kesowo menegur Yayasan Ria Pembangunan. ”Kami dituduh telah mengkomersialkan aset negara di Taman Ria,” kata Nina. Baru pada saat itulah, Dewan Pengurus Yayasan yang saat itu dipegang istri Mar’ie Muhammad dan Nina Akbar Tandjung mahfum soal perjanjian yayasan dengan PT Ariobimo Laguna Perkasa, yang dibuat pada 1995. ”Rupanya, ada pengurus yayasan yang bekerja sama dengan swasta tanpa setahu ibu-ibu istri menteri yang lain,” kata Nina.
Khawatir mendapat masalah hukum, Yayasan Ria Pembangunan manut saat pemerintah mencabut lagi hak pengelolaan kawasan itu. Seperti ketika menerima aset pada 1995, yayasan tak mendapat kompensasi sewaktu haknya dicabut sembilan tahun kemudian.
Pemilik PT Ariobimo, Sharif Cicip Sutarjo, membantah cerita Nina. Dihubungi pada Jumat lalu, dia mengaku diajak bekerja sama dengan Yayasan Ria Pembangunan secara sah. Saat kontrak itu ditandatangani pada 1997, Sharif baru saja turun sebagai Ketua Him punan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), yang dikenal dekat dengan Golkar. ”Tidak ada yang aneh-aneh. Saya bikin proposal kerja, diseleksi, dan disetujui,” katanya.
Direktur Pelaksana Ariobimo, Kurnia Ahmadi, mengakui rencana pembangunan Taman Ria sempat terbengkalai akibat krisis moneter 1998. Setelah itu, proyek ini terkatung-katung lama, sampai kepemilikan lahan berganti dari Yayasan Ria Pembangunan menjadi langsung di bawah Sekretariat Negara via Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno pada 2004.
”Setelah itu pun, nasib kami tak jelas,” kata Kurnia. Negosiasi untuk revisi perjanjian berlangsung tiga tahun lebih. ”Kami tidak bisa membangun, tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Kurnia. Akhirnya, pada Juli 2008, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa meneken persetujuan pembangunan kembali dan pengalihan hak pengelolaan kawasan Taman Ria Senayan untuk Ariobimo.
Dalam perjanjian ini, hak pengelolaan lahan Ariobimo yang semula—berdasarkan kontrak semula dengan Yayasan Ria Pembangunan—berakhir 2027, diperpanjang delapan tahun jadi 2035. Begitu perjanjian disepakati, Ariobimo menyetor kontribusi awal Rp 6 miliar kepada negara.
Sumber Tempo di Sekretariat Negara mengaku lamanya negosiasi ulang disebabkan berlarutnya penataan aset negara dan pergantian menteri dari Yu sril Ihza Mahendra ke Hatta Rajasa. Ketika dihubungi melalui telepon, Ha tta, yang kini menjabat Menteri Koordinator Perekonomian, membantah ada kongkalikong dalam perbaikan perjanjian lama itu. ”Haram saya berhubungan langsung dengan mitra swasta saat itu,” katanya keras.
Keputusan perpanjangan kontrak dengan Ariobimo, kata Hatta, dilakukan murni berdasarkan pertimbangan hukum dan administrasi negara. ”Tidak ada kontrak baru, cuma perpanjangan. Saat itu Ariobimo punya perjanjian yang masih berlaku, ya saya harus menaati,” katanya.
Menurut Hatta, kunci maju tidaknya proyek Ariobimo di Senayan saat ini dipegang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Kalau izin Pemda tidak keluar, pembangunan tidak bisa dilakukan,” katanya.
Untuk saat ini, Ariobimo memang terpojok. Sehari sebelum Gubernur Fauzi meneken keputusan penyegelan, Sela sa pekan lalu, Badan Urusan Rumah Tangga DPR menggelar rapat dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Keuangan. Agenda nya apa lagi kalau bukan soal kepemilikan la han Taman Ria Senayan.
Sampai saat ini hanya Fraksi Golkar yang mengambang. Semua fraksi lain ingin lahan itu dijadikan hutan kota dan bagian tak terpisahkan dari kompleks parlemen. ”Begitu tanah diserahkan kembali ke Sekretariat Negara, silakan kalau DPR ingin menge lolanya,” kata sumber Tempo di Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi juga angkat tangan. Dalam rapat kerja dengan Komisi Pemerintahan DPR, Rabu pekan lalu, purnawirawan jenderal berbintang tiga ini menegaskan keinginannya sama dengan anggota Dewan. ”Saya juga ingin Taman Ria Senayan menjadi kawasan hijau saja,” katanya. Kalau sudah begini, tampaknya kisruh Taman Ria memang akan berakhir di meja hijau.
Wahyu Dhyatmika, Setri Yasra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo