Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Wine Produk Halal? MUI: Kami Tidak Bertanggung Jawab

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Asrorun Niam Sholeh, memimpin rapat investigasi secara hybrid ihwal wine adalah produk halal.

3 Oktober 2024 | 21.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah munculnya skandal "wine" produk halal yang melibatkan BPJPH, yang berujung pada pencabutan Sertifikat Halal, pemecatan pendamping halal, serta pelaporan ke aparat penegak hukum, kasus serupa kembali terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru-baru ini, video dari masyarakat beredar menunjukkan adanya produk pangan dengan nama "tuyul," "tuak," "beer," dan "wine" yang memperoleh sertifikat halal dari BPJPH. Hal ini bertentangan dengan standar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Asrorun Niam Sholeh, memimpin rapat investigasi secara hybrid pada Senin sore, 30 September 2024, di Kantor MUI. Hasil investigasi membenarkan bahwa produk-produk tersebut memang memperoleh Sertifikat Halal melalui jalur Self Declare tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal atau penetapan oleh Komisi Fatwa MUI.

"Penetapan halal tersebut melanggar standar fatwa MUI dan tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk tersebut," ujar Niam.

Dia juga menyatakan bahwa MUI akan segera berkoordinasi dengan BPJPH untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

Dalam rapat tersebut, terungkap bahwa bukti keabsahan produk-produk tersebut terlihat di website BPJPH dan telah diarsipkan oleh pelapor, meskipun kini produk-produk tersebut tidak lagi muncul di aplikasi BPJPH.

Niam menegaskan bahwa penetapan kehalalan harus sesuai dengan standar yang ditetapkan MUI. Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, terdapat empat kriteria penggunaan nama dan bahan, salah satunya tidak boleh menggunakan nama atau simbol makanan dan minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.

"MUI tidak dapat menetapkan kehalalan produk dengan nama yang diasosiasikan dengan produk haram, termasuk rasa, aroma, hingga kemasan, apalagi yang dikenal sebagai jenis minuman memabukkan," jelasnya.

Selain itu, dalam Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk, disebutkan bahwa produk halal tidak boleh menggunakan nama atau simbol yang mengarah pada benda atau hewan yang diharamkan, seperti babi dan alkohol, kecuali produk tersebut adalah bagian dari tradisi ('urf) dan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso atau bakpia.

Prof. Niam mengimbau agar semua pihak yang terlibat dalam penetapan halal melalui mekanisme Self Declare lebih berhati-hati dan teliti dalam memperhatikan aspek-aspek kritis proses tersebut. Beliau juga menyatakan bahwa MUI akan terus berkoordinasi dengan BPJPH untuk mencegah terjadinya kasus serupa.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Miftahul Huda, menambahkan bahwa sertifikasi halal melalui Self Declare mengandung risiko tinggi, sehingga memerlukan kehati-hatian ekstra dan kepatuhan penuh terhadap standar halal yang berlaku.

Berdasarkan Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020, di antara produk yang tidak dapat disertifikasi halal adalah:
1. Produk dengan nama atau simbol kekufuran, kemaksiatan, atau konotasi negatif.
2. Produk dengan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali sudah mentradisi ('urf) dan dipastikan tidak mengandung unsur haram.
3. Produk yang berbentuk atau bergambar babi dan anjing.
4. Produk dengan kemasan yang mengandung gambar erotis atau porno.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus