EMPAT buah bis air bantuan Yugoslavia, akhir bulan lalu
diresmikan pengoperasiannya di Riau oleh Menteri Perhubungan
Rusmin Nuryadin. Ini yang ke-3 kalinya di Indonesia, sesudah
Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
Bagi Riau bantuan itu terang amat berguna mengingat sungai
merupakan urat nadi utama perhubungan di kawasan ini. Ada 3
sungai penting di sini, seperti Siak, Indragiri dan Rokan dengan
puluhan kota berjejer di sisinya. Selama ini kota-kota itu
dihubungkan oleh motor-motor kecil, biasa disebut pongpong.
Bahkan masih banyak yang dicapai dengan perahu berhari-hari
untuk membawa orang atau barang. Oleh pihak LLASDF (Lalu Lintas
Air, Sungai dan Fery) Riau, ke 3 sungai ini dibagi atas 3
lintasan. Yaitu lintasan Pekanbaru sampai Bengkalis, lintasan
Tambilahan-Taluk Kuantan dan lintasan Sinaboi-Pasir Pangarayan.
Di Riau selama ini meskipun arus hubungan sungai atau laut sudah
bisa dikatakan memadai, lebih banyak dikuasai kemauan para
pemilik. Sehingga jadwalnya jadi serampangan dan sulit dipegang.
Apalagi kalau itu kemudian sudah dikuasai oleh para cincu yang
lebih mengutamakan volume dan arus barang. Contohnya, trayek
Pekanbaru-Selat panjang.
Jalur ini dilayari tak kurang dari 10 buah fery. Tapi jadwal
keberangkatannya seenak perut. ICadang-kadang, "barang ,sudah di
kapal, tapi tiba-tiba batal atau terlambat berjam-jam" kata
sementara pejabat di Pekanbaru. Dan ini sudah jadi semacam
kebiasaan yang tak perlu lagi diprotes oleh yang merasa
dikibuli. Makanya dengan 4 bis air (masing-masing untuk 42
penumpang) yang punya trayek tetap dan jadwal teratur,
diharapkan kestabilan arus hubungan itu bisa dinikmati.
Cuma tarif yang diterapkan pihak LLASDF Riau, dianggap terlalu
mahal. Biasanya untuk jurusan Pekanbaru-Selatpanjang dengan fery
biasa, cukup Rp 3000. Ini sudah termasuk sebuah tempat tidur
dengan tilam busa, plus makan dan sarapan. Barang bawaan bisa
30-40 kg. Tapi dengan bis air ini tarif jadi 2 kali lipat yaitu
Rp 6000. Sementara jumlah bawaan maksimal 25 kg.
Sementara
"Tapi tarif itu kan sementara. Nanti ditinjau lagi" ujar seorang
staf di LLASDF Riau. Di samping, karena biaya operasionil bis
itu lebih tinggi dan lebih cepat, jadi "tarif itu sudah cukup
murah. Rata-rata Rp 20 per km" lanjutnya. Dengan kecepatan
rata-rata 25 km sejam, jarak Pekanbaru-Selatpanjang bisa
ditempuh dalam 16 jam. Sedangkan fery biasa, lebih dari 22 jam.
Tapi perkiraan orang-orang LLASDF itupun baru di atas kertas.
Sebab siapapun tahu kalau untuk melayari sungai Siak kecepatan
yang puluhan Km itu tak bisa dilaksanakan apalagi malam. Di
Sungai ini, dan sungai lain di Riau, momok sampah dan sisa-sisa
log, semakin hari semakin menakutkan.
Lagi pula kalau nanti bis air itu malah akan diteriaki penduduk
yang berdiam di pinggir-pinggir sungai sebagai bencana. Karena
kalau dengan kecepatan tinggi di alur yang cuma belasan meter
lebarnya itu, tak mustahil alunnya akan menelungkupkan
perahu-perahu penduduk yang didayungi para bocah yang kebetulan
sedang menyeberang untuk sekolah.
Akan halnya perkara sungai yang kotor dan rawan itu, anehnya
baik pihak Pemda Riau maupun LLASDF, tak pula suka
berterang-terang mengungkapkan: sudah sejauh mana urusan itu
ditangani. Yang terang, setiap ada musibah di sungai akibat
bencana sisa balok, seperti kasus Km Unggul beberapa bulan lalu,
para peabat ramai-ramai mengeluh. Para pengusaha kayu dituduh
kurang partisipasi untuk ikut memelihara kebersihan sungai.
Padahal para pengusaha kayu di Riau, secara rutin sudah
memberikan biaya untuk itu dari setiap M3 kayu yang mereka jual.
Dari jumlah ini, ada sekian persen ditetapkan untuk resettlemet
dan pengerukan sungai. "Dana itu sudah bermilyar rupiah" ujar
seorang pengusaha kayu di Pekanbaru. Sampai saat ini, belum satu
sungai dikeruk atau usaha resettlemet yang dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini