YANG tampak, air menggenang di lahan y seluas 50 ha. Tak ada padi tumbuh, tak ada orang-orang bekerja. Padahal, itulah lahan proyek percontohan pemasyarakatan kembali penderita kusta. Di situlah, di Desa Margomulyo I, Kecamatan Mariana, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan--20 km dari Kota Palembang--25 keluarga penderita kusta dari RS Kusta Sitanala, Tangerang, Jawa Barat, menunggu nasib. Sekitar 10 bulan lalu mereka didatangkan ke sana. Pada akhir bulan lalu mereka mendatangi Kantor Gubernur Sumatera Selatan, minta dipulangkan atau dipindahkan ke lahan yang lebih baik. Tapi hingga pekan lalu, belum ada keputusan apa pun. Keadaan tanah yang kenyataannya jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang dijanjikan sebelumnya kepada calon transmigran memang bukan cerita baru. Tapi yang di Mariana ini memang keterlaluan. Bukan saja tempatnya jelek, tapi rupanya juga ada tuntutan dari sejumlah petani di sana yang merasa daerah itu milik mereka. Padahal, tempat transmigrasi yang diperuntukkan bekas para penderita kusta itu merupakan proyek percontohan. Sesungguhnya mereka yang datang dari Sitanala ini bukannya langsung menyerah. Begitu datang di Mariana, 23 Juli tahun lalu, meski kecewa karena lahan tak langsung bisa digarap, mereka masih optimistis. Mula-mula, dengan mengupah penduduk setempat, lahan dibersihkan dari rumput dan alang-alang. Lalu mereka menggali sumur, memasang tiga pompa air. Tapi air yang keluar tetap kurang jernih dan terasa asam. Begitupun, bagi para bekas penghuni RS Sitanala itu, tak jadi persoalan benar, meski mereka yang tak tahan mandi air payau harus menahan rasa gatal. Tapi kekecewaan demi kekecewaan kemudian muncul. Air payau menggenangi lahan bila pasang, dan membunuh bibit padi. Bahkan, menurut Suntama, 42, salah seorang transmigran, ketela dan kangkung pun sulit tumbuh. "Pohon pisang yang di-tempat lain begitu gampang hidup, di sini layu lalu mati," kata Kepalatu, 55, penderita kusta asal Sulawesi Selatan. Dan bila air surut, banyak ikan yang dipelihara di empang-empang ikut hanyut. Ikan yang tinggal kemudian mati karena empang kekurangan air. Puncak kekecewaan adalah ketika 27 petani setempat mengaku lahan 50 ha itu sebagai milik mereka. Tak hanya mengeluarkan pernyataan dan minta ganti rugi, tapi para petani itu kabarnya suka mencabuti apa saja yang ditanam oleh para transmigran. Akhirnya, itu tadi, para transmigran protes ke Kantor Gubernur. Yang pertama-tama dibantah oleh pihak Pemda, tentu saja, soal hak milik. Menurut pimpinan proyek transmigrasi penderita kusta ini, Pranoto Kesongo, lokasi diadakan lewat SK Gubernur, setelah ada survei dari beberapa instansi lain. Pertimbangannya antara lain, lokasi itu dekat sekolah dan tak jauh dari ibukota provinsi hingga mudah dimonitor. Dan tanah 50 ha itu diperoleh Pemda melalui pelepasan hak Dewan Marga Sungai Rengit Artinya, setelah pelepasan, tanah menjadi milik negara. Tentang lahan yang ternyata sulit ditanami, tak ada penjelasan. Tapi beberapa waktu lalu, asisten sekwilda bidang kesejahteraan rakyat Pemda Sumatera Selatan, Kafrawi Rachim, kepada TEMPO mengakui bahwa lahan transmigrasi itu disiapkan secara tergesa-gesa. Mestinya, kata asisten sekwilda itu, lahan ditraktor dulu untuk memudahkan transmigran bercocok tanam. Kini 25 keluarga yang berjumlah 106 jiwa itu hanya hidup dan Jaminan pangan yang diberikan pemerintah daerah sebelum mereka berproduksi. Yakni, 6 kg beras per jiwa per bulan, dan uang Rp 460 per jiwa per hari. Mereka tiap hari cuma duduk-duduk, menunggu dipulangkan ke Tangerang atau dipindahkan ke lahan yang bisa ditanami. Ironis memang. Soalnya, proyek ini disebut proyek kemanusiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini