Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Yang mempersiapkan masa depan

Sosok sejumlah kaum terpelajar, diantaranya keturunan belanda, arab, & cina, serta terpandang, yang kemudian disebut sebagai "bapak bangsa" Indonesia yang pada tahun 1945 menyusun UUD 1945.

19 Agustus 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA terpelajar, terpandang, dan juga bukan anak muda lagi. Itulah orang-orang yang kemudian disebut sebagai "bapak bangsa" atau "the founding fathers" Indonesia yang 44 tahun yang lalu menyusun sebuah konstitusi yang kemudian dijaga hampir seperti benda keramat di hari ini. Dalam banyak hal, mereka adalah sekelompok elite yang istimewa. Waktu itu tingkat pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih rendah. Dalam Sejarah Nasional Indonesia disebutkan, menjelang tahun 1940-an jumlah lulusan perguruan tinggi dalam negeri hanya 532 orang, 45O di antaranya pribumi. Memang ada mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri tapi jumlahnya hanya sekitar 100 orang. Dibanding jumlah-penduduk yang ketika itu 70 juta, angka itu tidak ada artinya. Ketika Jepang masuk, keadaan semakin suram. Jumlah sekolah dasar merosot dari sekitar 21.500 menjadi 13.500 buah. Jumlah sekolah lanjutan dari 850 tinggal 20, muridnya merosot 90%, sementara guru yang masih aktif tinggal 50. Ada 4 perguruan tinggi, tapi semuanya tutup. Sarana komunikasi antarpulau bahkan juga di Jawa, dikuasai pemerintah militer Jepang. Hubungan dengan luar negeri tertutup. Dalam suasana seperti itulah rancangan UUD 45 digodok oleh BPPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Badan ini, yang terdiri dari 62 anggota, dibentuk oleh Jepang. Para anggota itu agaknya dianggap sebagai pemimpin masyarakat. Usaha Jepang menginventarisasi tokoh-tokoh masyarakat memang sudah lama dirintis. Pada 1944, misalnya, Gunseikanbu (kantor Pemerintah Militer Jepang) menerbitkan Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa. Buku setebal 500 halaman lebih ini berisi 3.009 tokoh. Dikerjakan selama setahun, sumbernya adalah formulir isian yang diedarkan kepada tokoh-tokoh masyarakat, pamong praja, pengusaha swasta di Jawa, yang dinilai terkemuka. Kriteria "terkemuka" disebutkan pula dalam kata pendahuluannya. Pertama, yang berpendidikan sekolah tinggi, termasuk mereka yang pada saat didaftar belum atau tidak lagi memegang jabatan penting. Kedua, yang tidak berpendidikan tinggi tetapi menduduki jabatan penting dalam d,inas pemerintahan. Untuk kategori kedua, juga disebutkan persyaratan lain: pada 1941 menerima gaji sekurang-kurangnya 200 gulden seperti wedana, atau bergaji lebih rendah tetapi mempunyai kekuasaan dalam satu wilayah tertentu seperti jaksa. Ketiga, tidak berpendidikan tinggi dan tidak menduduki jabatan penting dalam kedinasan tapi mempunyai kedudukan swasta yang penting, seperti notaris, arsitek, atau pimpinan perusahaan swasta yang terkenal. Juga pimpinan sebuah pabrik yang mempekerjakan buruh sekurang-kurangnya 50 orang. Keempat, orang-orang seperti para pemimpin agama, pemimpin gerakan wanita, pemuda, serikat sekerja, dan tokoh di bidang penidikan, kesenian, olahraga. Mereka ini, "walaupun tidak menjadi pemimpin, mempunyai nama yang kesohor dalam golongannya". Untuk merangkul golongan mayoritas, Islam, Jepang menunjuk Abdoel Kahar Moezakkir sebagai ketua delegasi umat Islam ke Konperensi Islam dan Festival Kebudayaan Islam di Tokyo, 1 Juli 1943. Kelak ia juga terpilih sebagai anggota BPPKI. Setahun kemudian, 6 Desember 1943, Jepang mengumpulkan 50 ulama Islam di Jakarta. Hadir antara lain Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat, K.H. Mas Mansoer, K.H. Hasyim Asy'ari. Dua yang pertama kemudian juga jadi anggota BPPKI. Usaha merangkul itu sudah dimulai ketika kekuasaan Jepang baru berumur 9 bulan. Pada 20 Desember 1942, Jepang mempopulerkan "Empat Serangkai", terdiri dua tokoh nasional Soekarno-Hatta dan K.H. Mas Mansoer (Islam) bersama K.H. Dewantara (pendidikan). Semuanya kelak juga menjadi anggota BPPKI. Dua puluh orang yang dianggap terkemuka kemudian diundang ke Jepang pada pertengahan 1943. Menurut G. Pakpahan dalam 1261 Hari Di Bawah Sinar Matahari Terbi, kunjungan itu "untuk memperkuat tali persaudaraan dan pembangunan negara". Enam di antara mereka kelak diangkat sebagai anggota BPPKI, termasuk Prof. Dr. Mr. Soepomo. Tiga tokoh nasional, Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, yang kelak juga terpilih sebagai anggota BPPKI, bahkan mendapat penghargaan Bintang Ratna Suci dalam sebuah upacara di Tokyo. Setelah para pemimpin ini.didekati, BPPKI dibentuk pada 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Tenno Haika. Tapi pembentukannya baru diumumkan 1 Maret 1945. Yang tak nampak di sana adalah para pemuda seperti Sjahrir, Chaerul Saleh, Adam Malik, Soekarni Wikana - yang kelak jadi pemimpin politik tenar. Toh berbagai aspirasi cukup terwakili: nasionalis, priayi, golongan agama, pamong praja, minoritas Arab, Cina, dan Indo Belanda. Mereka kebanyakan memang dari Pulau Jawa. Mungkin karena sulitnya hubungan ke luar Jawa. Wakil luar Jawa antara lain Parada Harahap (wartawan), A.M. Dasaad (pengusaha), A.A. Maramis, J. Latuharhary (keduanya intelektuil). Dua yang terakhir bisa pula disebut sebagai wakil Kristen dari Indonesia Bagian Timur. Ada pula wakil kaum wanita, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito. Golongan minoritas diwakili oleh A.R Baswedan (Arab), Tan Eng Hoa, Liem Koen Hian, Oeij Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw (Cina), dan P.F. Dahler (Indo Belanda). Kaum profesional dan priayi cukup dominan dalam badan ini. Kaum profesional 28 orang (sarjana hukum 14, dokter 8, insinyur 4, doktorandus 2). Kaum priayi juga nampak: raden, raden mas, atau kanjeng raden ada 30 orang - termasuk Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Widiodiningrat, pimpinan sidang. Plus dua orang dari kalangan keraton: Pangeran Bintoro (Kasunanan Solo) dan Pangeran Poeroebojo (Kasultanan Yogya). Sehari setelah proklamasi, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) beranggotakan 21 orang, beberapa di antaranya berasal dari BPPKI, seperti Soekarno, Hatta, Soepomo, Radjiman, Wachid Hsiim Ki Roes otto Iskandardinata, dm Poeroebojo. Ada juga anggota baru: misalnya Yap Tjwan Bing, Dr. Amir Mr. Teuku Muhammad Hasan dan Dr. G.S.S.J. Ratu Langie Belakangan, atas tanggung jawa Soekarno yang menjadi ketua ditambah 3 anggota BPPKI (Wi ranatakusumah, Ki Hadjar De wantara, Soebardjo) dan anggot. baru: Sayuti Melik, Kasman Si ngodimedjo, Iwa Kusuma Soe mantri. Sebenarnya masih ada tambah an tiga orang lagi -- Soekarni Chairoel Saleh, Adam Malik, me wakili kaum muda - tapi merek, menolak, karena mengangga PPKI "bikinan Jepang". Tokoh penting pertemuan ini adalah Prof. Dr. Soepomo. Da catatan yang kemudian disusul oleh Muhammad Yamin berdasarkan notulen sidang-sidang persiapan konstitusi, Soepomo nampak sebagai ahli hukum adat yan sangat terkesan kepada sisten negara "integralistik", yang jug disebutnya sebagai "totaliter". Soepomo lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 1903, dan meninggal di Jakarta pada 1958. Setelah tamat dari Sekolah Hukum Tinggi di Jakarta, ia mengambil gelar doktor di Universitas Leiden, Belanda, pada 1927. Tokoh penting lainnya ialah Mr. Muhammad Yamin. Ia dikenal sebagai sastrawan, ahli hukum, sejarah, dan kebudayaan. Lahir di Talawi, Sumatera Barat, 1903, Yamin yang juga tokoh pergerakan nasional ini meninggal di Jakarta 1962. Sejak mula, 1938, ia adalah anggota Volksraad, dewan perwakilan rakyat di zaman kolonial. Salah satu jasa besar Yamin ialah mendokumentasikan proses penyusunan UUD RI, mulai dari UUD 45, UUD 1950 dan UUD Sementara, sampai perdebatan di Dewan Konstituante dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Naskah Persiapan UUD 1945. Tiga jilid setebal bantal ini selalu menjadi acuan bila orang berbicara mengenai UUD dikukuhkan oleh sumber-sumber lain, catatan Yamin merupakan sumber yang sungguh berharga. Anggota tertua BPPKI adalah Dr. Radjiman Wediodiningrat. Ketika itu 66 tahun. Agaknya itulah sebabnya ia dipilih sebagai ketua. Memperoleh diploma dokter dari Stovia, Jakarta, pada 1904, ia sempat pula belajar di Universitas Amsterdam. Ia sangat tertarik kepada filsafat. Ia lahir di Yogya pada 1879. Ia mulai menonjol dalam pergerakan nasional setelah dua kali menjadi pucuk pimpinan Budi Utomo dan sempat duduk di Volksraad. Yang menarik dalam sidang BPPKI antara lain perdebatan mengenai kewarganegaraan khususnya yang menyangkut golongan minoritas. Liem Koen Hian, misalnya, mengatakan, " . . . kalau kita ditanya apa kebangsaan kita, saya jawab bahwa dalam arti kulturil kita bukan bangsa Tionghoa ....' Koen Hian memang dikenal sebagai nasionalis. Pada 1932 mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, ia juga menerbitkan koran Sin Tit Po. Koran nasionalis ini sering berhadapan dengan Siang Po, corong organsasi Choeng Hwa Tiong Hwee yang pro Belanda. Tapi belakangan Koen Hian kembali ke Tiongkok - agaknya putus asa karena perjuangannya tidak berhasil. Senada dengan Koen Hian adalah A.R. Baswedan. Dalam sidang BPPKI ia menegaskan bahwa yang dinamakan Arab totok sudah tidak ada di Indonesia. Yang tinggal hanyalah nama. "Menurut turunannya, mereka masih disebut Arab. Tapi kira-kira dalam waktu 300 tahun mereka sudah meresap dalam bangsa Indonesia" katanya. Baswedan, yang dikenal sebagai pendiri Partai Arab Indonesia pada 1934 itu, di masa lalu selalu sejalan dengan Koen Hian. Bersama Haji Agus Salim, pada 1947 Baswedan yang juga dikenal sebagai wartawan itu memperjuangkan pengakuan kedaulatan dari beberapa negara di Timur Tengah, kemudian menjadi menteri muda penerangan. Pendapat Baswedan itu didukung oleh P.F. Dahler. Bila dalam hal kewarganegaraan masih dipersoalkan masalah "bangsa lain", hal itu akan memecah-belah persatuan bangsa. Yang menarik adalah Dahler yang mengusulkan rumusan pasal 29 mengenai kemerdekaan pagi warga negara memeluk agama dengan menambahkan "dan kepercayaan masingmasing". Ia didukung Hatta, Soepomo, kemudian semua anggota. Kini, 44 tahun kemudian, tinggal empat orang di antara anggota BPPKI dan PPKI yang masih hidup: Prof. Ir. R. Roosseno, Mr. Teuku Moehammad Hasan, K.H. Masjkoer, dan Pangeran Poeroebojo. Hasan, dalam usia 83 tahun, masih segar. Meester in de rechten lulusan Universitas Leiden (1933) kelahiran Sigli, Aceh, ini masih terang ingatannya. Tanggal 7 Agustus 1945, ia diberi tahu Jepang bahwa ia diangkat jadi anggota PPKI. Dan dua bulan kemudian ia diangkal sebagai Gubemur Sumatera. Pernah menjabat Sekjen Departemen Dalam Negeri tahun '60-an ia kini menikmati masa pensiun nya di Jakarta, dan berbahagic dengan anugerah dua anak dari empat cucu. Anggota lain yang masih hidu adalah K.H. Masjkoer, 89 tahun tokoh NU yang juga bekas pim pinan DPR-MPR/RI. Dalant BPPKI, "saya dipilih oleh kawan kawan sebagai ketua kelompol Islam" katanya. Sesuai dengar zaman itu, pemimpin Islam yang lemah lembut ini pada 1944 pernah jadi pengurus latihan kemiliteran di Cibarusa, Bogor. Kelak ketika Republik sudah berdiri sewindu, ia jadi-menteri agama. Poeroebojo, kini 75 tahun, adalah kakak Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ia hadir dalam sidang pertama PPKI pada 18 Agustus 1945. "Ketika itu saya tetap mengenakan pakaian daerah Yogya. untuk menunjukkan kepada Jepang masih ada orang Indonesia yang tidak terpengaruh oleh budaya Jepang," tuturnya. Ketika itu banyak anggota PPKI meman mengenakan pakaian model Jepang dengan kerah leher berkancing. Beberapa waktu lalu sebuah instans: pemerintah mengirim surat kepadanya me nanyakan apakah betul ia anggota PPKI "Surat itu tidak saya tanggapi. Kalau ma memberi penghargaan, ya beri saja. Buktikan bisa dicek di arsip sejarah," katanyaBudiman S. Hartono, Liston P. Siregar, Priyono B. Sumbogo, Rustam F. Mandayun, Aries Margono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus