Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN baju merah muda, celana cokelat mirip seragam hansip, Abdurrahman Wahid bersama 22 tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya, seperti Abdul Hakim (LBH), Aswab Mahasin (LP3ES), Abdullah Syarwani (PKBI), Thomas Suryatin (LPPS-KWI), dan Djoko Aminoto (Bina Desa) - muncul di kantor Mendagri Rudini. Di kamar Mendagri hadir pula wakil dari Bakin, Bais-ABRI, Mabes ABRI, dan staf Menko Polkam. "Ini pertemuan tertutup," ujar Rudini kepada wartawan. Adakah yang gawat? LSM sedang dikecam. "LSM mau bicara soal lingkungan, silakan. Kalau bicara soal politik, kacau nanti," kata Pangab, seusai sidang Ekuin, 6 Agustus lalu. Jenderal Try lalu mengingatkan agar orang Indonesia - bila sedang di luar negeri--tak menjelek-jelekkan keadaan negerinya sendiri. Kecaman Pangab berkaitan dengan konperensi ke-5 INGI (Internasional NGO Forum on Indonesia) di Nieuwpoort, dekat Brussels, ibu kota Belgia, 24--26 April lalu. Konperensi tahunan sejak 1985, merupakan forum pertemuan LSM atau NGO (Non-Government Organisation) Indonesia dengan sejumlah LSM mancanegara untuk membicarakan berbagai masalah, seperti bantuan IGGI. Hasil pertemuan itu ditandatangani seluruh peserta, dikirimkan kepada seluruh negara donor yang tergabung dalam IGGI dan Bank Dunia, atau berbagai lembaga tadi. Tahun lalu, misalnya, Konperensi INGI di Zeewolde, Belanda, April 1988, membahas proyek transmigrasi dan hak asasi manusia. Sepulangnya ke Indonesia, LSM yang mengikuti pertemuan INGI itu dipanggil oleh Mensesneg Moerdiono dalam sebuah pertemuan yang memakan waktu sampai empat setengah jam. Ketika itu Moerdiono sudah memperingatkan agar pihak LSM tak menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia di luarnegeri. "Kalau mau memperbaiki keadaan, ya, di sini," kata Moerdiono kepada TEMPo, mengingatkan kata-katanya dalam pertemuan itu. Tahun ini, aide memoire INGI, mencatat kasus bendungan Kedungombo, Jawa Tengah. Mulai dari penanganan ganti rugi yang kurang beres, pemaksaan penduduk untuk meninggalkan lahan pertaniannya, sampai tindakan kepada penduduk yang menolak pindah dan menerima ganti rugi. Itu dikirimkan kepada IGGI dan Bahk Dunia. Selain itu, INGI masih mengirimkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Barber Conable, Presiden Bank Dunia. Isinya, menuduh Bank Dunia - sebagai pihak yang membiayai proyek itu--tak melakukan pemantauan dan supervisi terhadap proyek Kedungombo. Padahal, di sana, rakyat dipaksa pindah oleh aparat setempat dan petugas keamanan. Yang menolak, mengalami perlakuan buruk, KTP mereka diberi cap 'Tapol'. Di akhir surat, INGI meminta agar Bank Dunia meluruskan apa yang terjadi di Kedungombo, dengan menanggulangi masalah pemukiman, dan sebagainya, untuk dibicarakan dengan pemerintah Indonesia. Mestinya surat itu ditandatangani oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, dari LBH, yang kebetulan tahun ini ditunjuk sebagai ketua tim pengarah INGI dari Indonesia. Tahun-tahun sebelumnya, jabatan itu dipegang oleh Adnan Buyung Nasution, pendiri LBH. Penanda tangan yang lain adalah Peter Kardoes, ketua tim pengarah nonIndonesia. Karena suatu keperluan, Kardoes - yang pengurus LSM asal Belanda itu - harus berangkat ke Roma, sementara surat belum selesai dibuat, maka Abdul Hakim menandatangani kedua kolom yang tersedia di surat itu. Sebenarnya, menurut salah seorang anggota delegasi, surat itu dibikin secara spontan, seusai pertemuan INGI. Karena itu, banyak anggota delegasi tak mengerti tentang isinya. Aswab Mahasin, misalnya, merasa terkejut. Katanya, "Saya tak tahu siapa yang membuat surat itu." Soalnya, pada hari ketiga, ia mengaku capek dan mengantuk, sehingga tak menghadiri sidang. Kabarnya, pada waktu itulah isi surat itu dibacakan di depan forum. Rupanya, pertemuan tertutup dengan Mendagri bermaksud membereskan soal ini. Abdurrahman Wahid termasuk di antara tujuh anggota tim pengarah INGI dari Indonesia. Sementara Arief Budiman dari Universitas Satya Wacana Salatiga, Adnan Buyung Nasution, dan T. Mulya Lubis adalah anggota tim pengarah lainnya. Setelah berdialog selama dua jam, Rudini berpendapat bahwa surat yang ditujukan ke Bank Dunia itu memang mengandung beberapa perkataan yang mencoreng nama baik Indonesia, yang semestinya ditolak oleh LSM dari Indonesia. Tapi Mendagri menduga, "Mereka terkecoh, menandatanganinya tanpa waspada." Dalam pertemuan itu Rudini mengakui bahwa kegiatan LSM cukup baik di daerah. Maka, ia mengusulkan agar diadakan suatu forum komunikasi antara Depdagri dan segenap LSM di Indonesia, yang terbagi dalam 300-an kelompok profesi, hobi, dan minat. Banyak di antaranya memperoleh dana dari berbagai lembaga di luar negeri. "Terserah mereka putusannya, saya tidak mendikte," kata Rudini. Tapi, di situlah soalnya. LSM bergerak untuk memotivasi masyarakat agar sadar dan bisa mengatasi berbagai masalah di lingkungannya. Itu bisa berarti masalah ekonomi, hukum, atau lingkungan. Dalam posisi seperti itu, terkadang LSM harus berusaha mempengaruhi proses perumusan beleid politik, karena hal tersebut senantiasa mempengaruhi kehidupan orang banyak. "Jadi, LSM tak mencoba untuk merebut kursi di DPR, mengganti sistem pemerintahan, atau memobilisasi massa," kata Abdul Hakim.Amran Nasution, Ahmad Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo