Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Serangan Belanda pada Agresi Militer II tahun 1948 di Yogyakarta memicu perlawanan oleh Indonesia, khususnya pemuda Yogyakarta. Salah satunya oleh pasukan Hantu Maut. Pasukan ini pun tak sendiri dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat itu, pasukan-pasukan lain pun ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam usaha pendudukan di Yogyakarta, namun pasukan Hantu Maut dikenal paling militan.
Terbentuknya Pasukan Hantu Maut
Dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Pasukan Hantu Maut adalah gerilyawan Republik Indonesia yang berasal dari pemuda Kampung Pujokusuman di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasukan ini ditugaskan untuk melawan tentara Belanda yang menguasai Yogyakarta. GBPH Poedjokoesoemo, putra Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, menggagas pembentukan pasukan ini. Peran pasukan ini adalah melakukan gangguan-gangguan terhadap tentara Belanda selama Jenderal Soedirman melakukan perang gerilya.
Namun menurut Djumarwan dan Danar Widiyanta (dalam “Peranan Pasukan Polisi Pelajar Pertemuan dan Gereja Pugeran dalam Revolusi Indonesia Tahun 1948–1949 di Yogyakarta,” 2018), Pasukan Hantu Maut merupakan pasukan yang berdiri di bawah Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran (P3).
Pasukan P3 ini merupakan kompi bentukan dari Mobile Brigade Besar Djawatan Kepolisian Negara. Pemimpin dari Pasukan P3 adalah Inspektur Polisi II Djohan Soeparno. Sedangkan, mayoritas anggota dari Pasukan P3 adalah siswa Mobile Brigade yang sedang melakukan penataran dan bermarkas di Sekolah Polisi Negara Ambarukmo.
Kemudian, Pasukan P3 sendiri memiliki beberapa regu di bawahnya. Regu-regu ini adalah Regu Kairun, Regu Sugiman, Regu Supardal, Regu Baging, Regu Sukijo, Regu Mujo, Regu Sumarto, Regu Suharto, Regu Pengawal, dan terakhir adalah Regu Hantu Maut.
Ndalem Pujokusuman pernah menjadi markas gerilya pasukan Hantu Maut. TEMPO/S. Dian Andryanto
Peranan Pasukan Hantu Maut
Lebih lanjut menurut Nur Rahmawati (dalam “Peranan Polisi Pelajar Pertempuran (P3) dalam Perang Kemerdekaan II di Yogyakarta (1949-1949),” 2016), Pasukan P3 ini diasramakan. Tujuannya adalah agar mereka tetap terjaga kondisi dan koordinasinya. Senjata-senjata yang digunakan oleh pasukan ini adalah karabin, mitraliur, pistol, dan lainnya.
Kemudian terdapat beberapa peranan Pasukan P3 dalam Agresi Militer II. Pada saat awal tentara Belanda memasuki Yogyakarta, Pasukan P3 dan pasukan lain berfungsi untuk menghambat laju pergerakan. Gerakan Pasukan P3 hanya bersifat menghambat sesuai dengan instruksi Pangsar Jenderal Soedirman. Penghambatan laju tentara Belanda ini berfungsi untuk memberikan kesempatan kepada petinggi di Gedung Agung untuk memutuskan langkah yang akan ditempuh.
Selain itu, seperti yang sudah disebutkan di atas, Pasukan P3 memiliki sebuah pasukan bernama Pasukan Hantu Maut. Pasukan ini merupakan pasukan gerilya yang melakukan serangan “kucing-kucingan” terhadap tentara Belanda tiap malam. Pasukan Hantu Maut melakukan serangan-serangan gerilyanya di sekitar Banyakan, Pleret, dan Kotagede.
Kemudian, Pasukan P3 masuk dalam Sub Wehrkreise 102 atau SWK 102 di bawah pimpinan Mayor Sardjono. Di bawah SWK 102 ini Pasukan P3 ikut andil dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan oleh Pasukan P3 ini dilakukan di sekitar Pleret, Karangsemut, dan Pojok Benteng Wetan.
RYZAL CATUR ANANDA SANDHY SURYA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.