Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

PRD Tetap di Jalanan

PRD akan memusatkan perhatian pada aksi-aksi ekstraparlementer.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 12 malam, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sunyi-senyap. Para narapidana telah lama masuk sel. Sebagian tidur, sebagian lainnya bercakap-cakap sekadar untuk mengusir sunyi. Biasanya hal yang sama terjadi pada Dita Indah Sari, narapidana politik Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tapi malam itu lain. Dita dibangunkan petugas. "Mereka meminta saya siap-siap. Besok pagi saya akan pulang," kata Dita, yang meringkuk di hotel prodeo karena mengorganisasi demonstrasi buruh di Surabaya. Kebebasan Dita, 27 tahun, Senin 5 Juli lalu itu pun?setelah ia menjalani hukuman 3 tahun kurang 3 hari?disambut aktivis PRD dengan sukacita. Upaya "penekanan" yang dilakukannya terkabul. Dan ini, bagi mereka, tentulah sebuah "kemenangan". Semula, ia pernah ditawari pembebasan bersyarat, November tahun lalu, tapi menolak. Itu disusul hadiah grasi, Maret lalu, yang juga diabai-kannya. Dita baru mengangguk ketika surat amnesti disodorkan. Terhadap Budiman Sudjatmiko, 29 tahun, sejauh ini pemerintah hanya menawarkan grasi, yang ditolaknya mentah-mentah. Banyak yang menilai pembebasan ini merupakan reaksi pemerintah setelah partai anak-anak muda itu "dihabisi" aparat dalam demonstrasi PRD di depan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 1 Juli lalu. Sejumlah aktivis luka-luka tertembak. Sebelum dan sesudah peristiwa berdarah itu, kantor PRD di beberapa daerah juga disatroni orang-orang tak dikenal. Di Yogyakarta, penyerangan membawa korban luka. Endhiq, salah seorang aktivis PRD, dibabat golok hingga punggung kirinya koyak. Persoalannya: kenapa PRD harus menanggung semua "derita" itu? Sebagai partai anak muda, PRD memang memainkan peran politik khas anak muda yang zig-zag dan kadang-kadang membingungkan. Dalam Pemilu 1997, partai ini giat menyuarakan propaganda boikot pemilu melalui berbagai aksi dan demonstrasi. Dalam pemilu barusan, mereka resmi ikut "bertarung" tapi gagal memperoleh dukungan yang memadai untuk bisa meraih kursi DPR. Masuknya mereka dalam pemilu ini sempat diributkan aktivis mahasiswa lainnya. Pasalnya, dengan masuknya PRD ke sistem, tekanan yang dilakukannya melalui jalur ekstraparlementer dikhawatirkan menjadi tidak efektif. PRD dianggap sangat mudah terperosok ke dalam cerita lama gerakan mahasiswa: kritis di luar, tapi begitu masuk ke sistem, berubah menjadi lembek. Tapi itulah uniknya partai berasas sosial demokrasi kerakyatan ini. Menurut Andi Arief, salah satu pentolan PRD, mereka ikut pemilu karena sadar bahwa mereka bukan partai yang besar. Dengan masuk ke sistem, mereka akan punya kesempatan belajar dan menyampaikan propaganda politik secara legal. Dan salah satu ide propaganda politik itu adalah menawarkan skeptisisme terhadap pemilu. Lihatlah spanduk atau stiker kampanye politik mereka: "Boikot pemilu atau coblos PRD." Dengan argumen ini, fasilitas yang diperoleh PRD sebagai partai peserta pemilu dimanfaatkan untuk mengembangkan propaganda politik. Henri Kuok, anggota KPU asal PRD, misalnya, menyerahkan Rp 1,5 juta dari Rp 2 juta gajinya di KPU untuk membuat selebaran dan untuk keperluan teknis aksi massa lainnya. "PRD memang menjadikan pemilu sebagai tempat belajar," kata Dita Sari. Dalam soal perolehan kursi, sikap PRD juga rada blunder. Setelah dipastikan tidak mendapat kursi di DPR, Henri Kuok sempat mengusulkan jatah kursi bagi partai kecil di parlemen. Rujukan yang dipakai adalah sistem pemilihan pemilu di Filipina, yang memungkinkan pembagian kursi bagi partai gurem. Tapi cara ini ditolak banyak pihak. Apakah dengan demikian PRD tidak konsisten dengan semangat "hanya menggunakan parlemen sebagai tempat belajar"? "Itu hanya wacana yang dikeluarkan Henri Kuok. Itu bukan program pokok kami," kata Budiman. Nah, setelah nyata-nyata jumlah suara yang diraup PRD dalam pemilu kecil, akankah partai ini kembali sebagai kelompok penekan yang aktif meramaikan jalan-jalan raya? Tampaknya ya. Budiman Sudjatmiko dari Penjara Cipinang menegaskan bahwa gerakan di luar Gedung DPR akan diprioritaskan. Sedangkan gerakan intraparlementer akan tetap dilakukan. "Kami akan memberikan critical support kepada partai reformis di dalam DPR seperti PAN, PKB, atau PDI Perjuangan," katanya. PRD kembali ke khitah? Begitulah. Tidak semua organisasi politik memang harus masuk parlemen. Tempat yang tepat bagi partai ini mungkin memang di jalan raya, sebagai kelompok penekan?posisi yang pernah dimainkannya dengan sukses selama beberapa tahun. Arif Zulkifli, Purwani Dyah Prabandari, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus