JARANG terjadi. Rabu ini di gedung Jalan Buncit Raya 61, Jakarta Selatan Lembaga Studi Agama dan Filsafat mempertemukan Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rahmat, A.M. Saefuddin, dan Amien Rais. Mereka diminta menggelarkan ragam persepsi dalam Seminar Sehari Pemikiran Islam, dengan memakai acuan buku karya masing-masing yang sudah diterbitkan (lihat Sekularisasi hingga Spirit Tahid). Nurcholish Madjid, misalnya, di awal 1970-an mencuat setelah pemikirannya dianggap kontroversial. Alumnus Pondok Gontor (sekarang staf peneliti di LIPI) ini melempar istilah yang, waktu itu, mengganggu telinga umat. Misalnya soal "sekularisasi". Tetapi gara-gara itu, ia lalu dianggap "pembaru", terutama oleh jemaahnya. Ia tak hanya mengemukakan bahwa bila umat Islam di Indonesia (khususnya) mau maju, harus melakukan sekularisasi. Sedangkan syahadat, katanya, adalah puncak sekularisasi, karena pengucapnya harus menafikan, atau menidaksakralkan, segala sesuatu -- sebelum kemudian orang itu bersandar pada Allah. Dalam pada itu, Dr. Muhammad Kamal Hassan menulis buku berjudul Modernisasi Indonesia, Respons Cendekiawan Mlslim. Dosen Universitas Islam Antarbangsa, Petaling Jaya, Kuala Lumpur, itu melihat bagaimana umat Islam di Indonesia memberi responsnya di masa Orde Baru. "Modernisasi sebagai konsep dan nilai ini menyentuh politik, agama, ekonomi, dan sebagainya," katanya pada Ekram H. Attamimi, wartawan TEMPO di Kuala Lumpur. Ia belum pernah berdialog mengenai "pemikiran" yang dilontarkan Nurcholish itu. "Bagi kita modernisasi bisa diterima. Tetapi Islam tak menerima bahwa modernisasi itu menuntut sekularisasi. Dan buku saya yang berasal dari disertasi itu tak ada mengkritik Nurcholish," kata Kamal, yang bukunya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia tanpa izinnya. Nurcholish bersemangat mengajak berpikir umat, sembari mengingatkan pada apa yang namanya keterbukaan, inklusivisme. Karena Islam itu, katanya, adalah insaniyah -- humanisme yang bisa ketemu dengan siapa saja. Jalaluddin Rahmat juga sama hebat semangatnya, walaupun lain ragamnya. Dosen Universitas Padjadjaran ini memilih masalah mempertemukan pemikiran umat Islam sedunia, ketimbang soal sekularisasi Islam di Indonesia. Ia, malah, mengkritik cara berpikir sektarian. Yang ada di Indonesia saat ini, menurut dia, bukan pemikiran Islam. Tapi pemikiran Muhammadiyah, pemikiran NU, pemikiran Persis, pemikiran kelompok-kelompok. Muhammadiyah atau Persis, yang semula datang sebagai pembaru pemikiran Islam. akhirnya terjebak membentuk konvensi sendiri. Sementara itu, sebutan "Islam" misalnya ada yang beranggapan: "prinsip moral yang mengatur kehidupan semata" yang tak mengharapkan berdirinya suatu negara Islam. Di pihak lain, mereka beranggapan "lebih dari sekadar prinsip moral". Bahkan ada yang menilai sebagai serangkaian ritus seperti halnya salat, puasa, atau berhaji. Jalal dituding getol mengikuti pemikiran Dr. Ali Shariati (almarhum) dari Iran. Tapi ia menolak dibilang Syiah. Lalu berkata begini "Saya pikir sudah saatnya orang-orang ahl al sunnah belajar dari Syiah tanpa harus menjadi Syiah. Saya sendiri belajar banyak dari orang-orang Syiah tanpa saya menjadi Syiah." Ia merujuk pada Nurcholish, sebagai misal. Yakni dalam bidang filsafat, kalangan Syiah lebih maju dibanding pengikut Sunah. Beberapa karya orang Syiah, di antaranya Syed Ameer Ali, ternyata terpakai di Indonesia. Buku The Spirit of Islam sudah diterjemahkan. Sedang kitab Nur al Authar malah jadi fikih standar di pesantren NU maupun Muhammadiyah. Jalal tak langsung menanggapi Nurcholish -- yang katanya gagasan-gagasannya banyak dipengaruhi Bellah, seorang sarjana Barat. Nurcholish tahun 1970, kata Jalal, beda dengan Nurcholish 1980. Dr. A.M. Saefuddin bercara sendiri menilai Nurcholish -- yang, menurut dia, bergerak di ruang lingkup nilai dan filsafat yang memiliki bahasa tersendiri -- terkadang membingungkan orang awam. Biasanya, penganut paham Nurcholish melontarkan istilah "aneh" ke massa lebih dahulu. Setelah ramai, baru ia menjelaskannya. Ia memasukkan Nurcholish dalam kelompok "desakralisasi". Ciri umumnya: kebanyakan tumbuh di kampus agama, semacam IAIN, yang sehari-hari bergumul dengan ayat Quran dan Hadis. Karena itu, menurut A.M. Saefuddin, "Mereka menganggap orang yang banyak bicara tentang ayat dan hadis saja kuno dan kurang bacaan." Sebaliknya, tokoh Islam yang tumbuh dari kampus umum, justru melakukan desekularisasi. "Mereka justru lebih banyak mengutip ayat dan hadis," ujar pengajar di IPB Bogor itu. Sementara itu, sebagian pemikir seolah menghendaki supaya dalil umum itu diubah, agar cocok dengan dalil khusus. "Mereka mencari-cari, dari hari ke hari, ayat-ayat yang tak relevan dengan kenyataan empiris," tambahnya. Bagi dia, peran Islam yang besar hanya bisa diwujudkan bila pemikiran-pemikiran tersebut diluruskan. Jangan berpatok pada model Yunani, yang mengatakan, kenyataan empiris adalah obyektif. "Benar, tapi itu obyektifnya manusia." Dr. Amien Rais, dosen UGM Yogya, lebih utama mengajak orang berbuat sesuatu, dibanding mengajak berpikir. "Harus bekerja keras, menghargai waktu, berdisiplin tinggi, dan berorientasi ke depan," ujrnya. Dan untuk bisa dinamis dan kreatif, ya berpegang pada spirit tauhid -- yang mengatasi sekte, mazhab dan golongan. "Islam tak terbatas pada Rukun Iman yang enam dan Rukun Islam yang lima," katanya. Sederhana? Seminar, tampaknya, memang mengundang ragam. Laporan Ahmadie Thaha (Jakarta), Hedy Susanto (Bandung), dan Nanik Ismaini (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini