Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=1 color=#FF0000><B>TEMPO DOELOE</B></font><br /><font face=arial size=3><B>Berharap Sehat Lewat Mukjizat</B></font>

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT tahun lalu, pernah ribuan orang dari berbagai penjuru negeri ini pergi mencari Ponari, anak kelas III sekolah dasar di Megaluh, Jombang, Jawa Timur. ”Batu petir” keramat milik dukun cilik itu dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit. Memang itu tak berlangsung lama. Kini pasien dukun cilik itu menyusut, tapi pengobatan alternatif tidak pernah pupus.

Dahulu cara penyembuhan model ini lebih marak. Majalah Tempo, dalam laporan utama edisi 27 Desember 1980, menulis soal ini. Sebagian pelaksana pengobatan ini ketika itu malah keberatan dipanggil dukun, karena mereka merasa hanya ”perantara Allah” atau suruhan ”Mbah Anu”.

Ada banyak cara yang dilakukan dalam pengobatan ini. Misalnya Upik Zuhaniar, 38 tahun, pemimpin Pusat Pertolongan Pusaka Banten, di Rawasari, Jakarta. Dia mengaku memiliki kemampuan supranatural karena tubuhnya dimasuki arwah Syekh Maulana Hasanudin dari Banten. ”Saya ini ibarat kurungan saja. Semua yang menentukan Mbah,” katanya.

Biasanya orang yang datang minta pertolongan mula-mula ditemui Upik di ruang tamu. Pasien diajak bercakap-cakap, tapi tak boleh langsung mengajukan keluhan. Setelah itu, baru pasien dibawa ke ruang praktek. Di situ tersedia sebuah kursi berukir tempat duduk Upik. Di hadapan kursi Upik terdapat dua kursi berjejer: satu untuk pasien dan satu lagi untuk asisten, yang tak lain adalah suaminya.

Kalau pasien sudah duduk, Upik bersemadi menghubungi ayahnya, Habib Husein. ”Habib meneruskannya ke Mbah Syekh Maulana Hasanudin,” katanya. Manakala Upik menempelkan telapak tangannya ke bagian tubuh pasien, Si Mbah memberikan petunjuk tentang cara penyembuhannya.

Pengobatan di Darussalam Health Centre Singosari, Malang, Jawa Timur, lain lagi. Klinik ini milik kiai asal Madura. Sang kiai pernah memeriksa pasien yang menderita gangguan saraf, konon karena sihir. Caranya, setelah mengoleskan jari kanan di piring yang berisi garam dan tangkai bawang merah serta mengucap basmallah, ia memegang beberapa bagian tubuh pasien sambil menyemburkan air dari mulutnya.

Bila pasien meronta, menjerit, atau merasa sakit pada bagian yang dipegang, tak salah lagi, di sanalah penyakitnya. Pasien kemudian disuruh membuka mata sambil mengucap dua kalimah syahadat. Istri salah satu bekas Ketua DPR RI pernah dirawat di sini. Kabarnya, perutnya terserang kanker. Setelah 20 hari dirawat di Singosari, ia merasa sembuh, menurut keluarga terdekat.

Singosari pernah merawat pasien J.F.W. Wilke, direktur perusahaan penyalur pompa dan penyaring air asal Jerman di Jakarta. Tapi Wilke tak tertolong. Belakangan anak angkat Wilke, Ida Iswandari, yang menderita lemah jantung, juga berobat ke sana. ”Mungkin karena saya tak yakin, tak ada pengaruhnya,” kata Ida.

Memang, keyakinan menjadi syarat suksesnya pengobatan gaib di mana-mana. Seperti bedah ajaib di Kampung Gemblakan Bawah, Yogyakarta. Pelakunya istri Sersan Mayor Mujiyono. Kisahnya dimulai dari seorang anak sakit amandel. Tak jelas karena apa orang tua anak itu minta Bu Mujiyono mengobatinya.

Anak itu didudukkan di sebuah kursi sambil telapak tangannya ditumpukan di atas gelas berisi air putih, dan ditutup secarik kain putih. Setelah itu, Bu Mujiyono memijat-mijat bagian tenggorokan anak itu dengan segumpal kapas. Ajaib, ketika kapas diangkat, tampak darah. Lalu tangan Bu Mujiyono mengusap leher anak itu, turun hingga telapak tangan si anak yang ditutup kain putih. Ketika kain diangkat, puah..., di dalam gelas tampak daging menjijikkan dan berbau busuk.

Sejak saat itu, ramailah orang yang sakit kencing batu, bisul, darah tinggi, kencing manis, dan macam-macam minta pertolongan kepada Bu Mujiyono.

Terkesima oleh cerita pengobatan ini, tim dokter dari Universitas Gadjah Mada diam-diam meneliti gumpalan daging amandel seorang pasien. Ternyata gumpalan daging itu tak lain dari daging sapi busuk. Bersamaan dengan keluarnya hasil penelitian UGM ini, dengan suatu alasan tak jelas, Bu Mujiyono tiba-tiba meninggalkan kampungnya untuk hijrah ke Cirebon. Kabarnya, dia mau memperdalam ilmu. Belakangan terdengar ia buka praktek baru di daerah Indramayu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus