Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=1 color=#FF0000>TEMPO DOELOE</font><br />Bukan Lagi Manusia Super

28 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPEKAN terakhir dunia pendidikan kita dibuat heboh oleh kekisruhan pelaksanaan ujian nasional. Di sejumlah provinsi, ujian telat diselenggarakan akibat satu pemenang tender tidak dapat menyelesaikan pembuatan soal ujian sesuai dengan tenggat. Kejadian ini kemudian merembet ke hal lain, seperti dugaan penggelembungan anggaran pendidikan. Kurikulum yang sedang direvisi pun tak lupa disorot karena dinilai bermasalah.

Dalam mengingat Hari Pendidikan, majalah Tempo edisi 5 Mei 1984 membuat laporan utama mengenai karut-marut dunia pendidikan, terutama tentang perilaku guru. Ketika itu, Tempo juga melakukan jajak pendapat dengan responden 750 guru, yang tersebar di semua provinsi di Jawa, Sumatera Utara, dan beberapa provinsi lain. Jajak pendapat itu menemukan, antara lain, ada guru yang menyesal menjadi pendidik, delapan dari sepuluh guru butuh kerja sampingan, dan harapan agar buku wajib direvisi.

Tulisan itu bersandar pada sederet peristiwa yang membuat gundah banyak kalangan. Misalnya kepala sekolah dasar di Palembang berurusan dengan polisi karena terlibat kasus kredit barang. Tiga perusahaan menuntutnya ganti rugi jutaan rupiah. Masih di Kota Sriwijaya itu, seorang guru sebuah sekolah menengah atas baku hantam dengan muridnya hingga babak-belur gara-gara Pak Guru dituduh pilih kasih memberi nilai.

Ada pula guru SMA di Medan yang tak boleh mengajar. Ia dituduh berbuat yang bukan-bukan dengan muridnya. Tuduhan itu sulit dibuktikan, tapi ditemukan foto sang guru dan murid sedang asyik-masyuk berduaan. Senada dengan ini, seorang kepala sekolah menengah pertama di Pati, Jawa Tengah, "dirumahkan" karena terlibat petualangan cinta dengan teman sekerjanya, padahal ia sudah berkeluarga. Lain lagi di Tangerang, Jawa Barat, seorang guru agama sekolah dasar berurusan dengan polisi karena dituduh menjadi penadah barang curian.

Ulah guru yang menghukum murid secara berlebihan tak luput jadi sorotan. Misalnya yang terjadi di Tuban, Jawa Timur. Kepala SMP di kota itu menjatuhkan hukuman tempeleng kepada murid satu kelas karena menolak kerja bakti. Seorang guru yang mencoba membela para siswa menemukan jalan buntu. Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan yang dilaporinya justru menyalahkan sang guru dan memutasikannya ke sekolah terpencil.

Hamonangan Siregar, guru matematika SMA Yosua Medan, menganggap para pengajar yang bermasalah itu sebagai orang-orang yang tersesat menjadi guru. Menjadi guru sejak 1954, Hamonangan menolak ketika dita­wari menjadi administrator pendidikan di Kantor Wilayah P & K. "Memindahkan ilmu kepada murid, itulah kebahagiaan," katanya. Biasanya guru-guru yang mencintai profesinya memang menaruh kebanggaan kepada murid-muridnya. Karena itu, Hamonangan, menurut rekannya, tak pernah ringan tangan terhadap murid-muridnya dan sering dengan sukarela menggantikan guru yang sedang absen.

Begitu pula Suhadi, guru SD Rejomulyo, Kediri, Jawa Timur, yang merangkap mengajar di sebuah SMP swasta. Pria kelahiran 1940 yang sejak kecil bercita-cita menjadi guru ini sangat prihatin atas berbagai kasus yang melibatkan guru. "Maunya anak-anak sekarang, guru itu seperti orang tuanya sekaligus sahabat," ujarnya.

Bapak lima anak itu tidak cuma berteori. Sejak 1966, ia punya kerja sambilan sebagai tukang cukur. Istimewanya, ia tidak pasang tarif dan sebagian "klien"-nya adalah murid-muridnya. "Dan saya kok masih dihormati sebagai guru."

Selain itu, ia suka menulis artikel di surat kabar. Pada 1982, Suhadi memenangi sayembara mengarang tingkat nasional tentang pembinaan bahasa Indonesia. Setahun kemudian, ia bersalaman dengan presiden karena memenangi lomba mengarang tentang pahlawan. Dari pengalaman 24 tahun berdiri di depan kelas, ia mengakui, "Zaman sudah berubah, guru bukan lagi manusia super yang serba tahu."

Itulah pula yang diharapkan para siswa. "Guru semestinya jangan otoriter, minta pendapatnya harus dianggap mutlak benar," kata Siswanto, siswa kelas III IPS SMA Pembangunan, Bandung. Menurut pengalaman dan pengamatannya, bila ada guru yang mau menang sendiri, siswa lantas bersikap masa bodoh. "Akibatnya, pelajaran tak berjalan lancar," tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus