Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELIHATANNYA keangkuhan juga ikut berperan di balik keputusan pemerintah berkukuh menjalankan ujian nasional. Sikap merasa paling tahu—dan karena itu paling benar—dalam urusan penyelenggaraan pendidikan membuat kenyataan betapa pelaksanaan ujian nasional yang bertahun-tahun selalu dibelit kekisruhan menjadi bagai "gajah di pelupuk mata tak tampak". Akibatnya, pemerintah tak henti-hentinya berfokus pada tujuan-tujuan yang kelihatan bagus padahal "jauh" dan tak sesuai dengan kenyataan.
Jika diperhatikan dengan cermat, kekisruhan itu justru sudah semestinya menjadi penanda yang gamblang bahwa ada hal-hal mendasar yang lebih baik dikaji ulang. Bukan mustahil penelaahan ini akan menghasilkan kesimpulan yang bahkan bertolak belakang dengan apa yang selama ini diyakini pemerintah. Di antara hal-hal mendasar itu adalah tujuan yang hendak dicapai dari ujian nasional, khususnya perihal penentuan standar mutu pendidikan.
Pentingnya standar mutu, yang bisa dicapai merata di tingkat nasional, sudah diamanatkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tapi butir-butir pasal ini tak secara spesifik menyebut ujian nasional sebagai sarana untuk mewujudkan standar itu. Dalam kenyataannya, melihat fakta yang ada, ujian nasional memang bukan cara efektif, atau setidaknya belum terbukti mumpuni, untuk menyeragamkan mutu. Tak dibutuhkan ujian nasional berikutnya dan berikutnya, yang selalu kacau, agar bisa sampai pada pengakuan ini.
Perhatikan data yang diungkapkan Menteri Pendidikan Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan komisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pendidikan pada Maret 2011. Melalui laporannya, Menteri Nuh menyebutkan sekitar 88,8 persen sekolah di Indonesia, dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, belum melewati standar mutu pelayanan minimal. Secara nalar, kemampuan sekolah-sekolah itu meluluskan siswa semestinya juga tak bakal mencapai atau mendekati 100 persen. Masalahnya, pada masa pemerintahan kedua Presiden Yudhoyono ini, tingkat kelulusan ujian nasional di semua jenjang pendidikan selalu dinyatakan hampir 100 persen.
Wajar bila terasa ada yang ganjil. Tak berlebihan pula bila ada yang bertanya-tanya bagaimana mungkin sekolah yang mutunya rendah—minim guru yang memenuhi kualifikasi, tak punya perpustakaan, proses belajar-mengajarnya amburadul—bisa selalu meluluskan hampir 100 persen siswanya dalam ujian nasional.
Tingkat kelulusan sebesar itu semestinya juga mengindikasikan tak adanya lagi perbedaan signifikan antarsekolah—semua toh sudah sama-sama berprestasi. Kenyataannya, kesenjangan masih berlangsung dan bisa sangat lebar. Coba bandingkan saja, misalnya, sekolah di perkotaan dan sekolah di pedesaan, atau sekolah di Jawa dan sekolah di luar Jawa.
Yang terjadi di balik "prestasi" kelulusan itu sebenarnya sudah bukan rahasia: murid, guru, bahkan sekolah menjalankan semua cara yang mungkin untuk menaklukkan ujian nasional. Mereka mencari bocoran soal dan kunci jawaban, guru "mengizinkan" siswa beramai-ramai menyontek, dan sekolah mengakomodasi tindakan-tindakan lain yang bukan merupakan kerja keras demi prestasi sebagaimana seharusnya. Jalan pintas yang gampang—toh semua orang juga melakukannya—sudah menjadi kredo bersama.
Berbagai ekses yang merupakan pengabaian terhadap etika itu jelas bertentangan dengan tujuan lain dari ujian nasional, atau tujuan pendidikan secara umum: menumbuhkan kejujuran, akhlak mulia, dan budi pekerti luhur. Semua watak yang dibutuhkan untuk membebaskan negara dari merajalelanya korupsi ini, diakui atau tidak, sudah tergolong langka. Sulit disangkal, membiarkan keporak-parikan yang ada hanya akan melipatgandakan daya rusaknya terhadap sendi-sendi praktek berbangsa dan bernegara.
Pilihan tindakan untuk mengatasi masalah kronis itu adalah pemerintah mesti berbesar hati mengakui kelemahannya dan mau melihat peluang lain untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan. Yang dibutuhkan mungkin bukan ujian nasional, melainkan bagaimana pemerintah lebih aktif menyelenggarakan usaha-usaha perbaikan kompetensi guru. Tapi, kalaupun ujian nasional masih dipilih, bisa juga penyelenggaraannya yang diubah dengan cara memangkas apa yang diyakini merupakan kewenangan pusat untuk menentukan segalanya. Ujian nasional bisa saja dilaksanakan tanpa harus melalui komando dan kontrol Jakarta.
Pemusatan itulah satu di antara pangkal masalahnya. Cara kerja birokrasi yang tak sesuai dengan semangat otonomi ini sudah seharusnya dilupakan untuk selamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo