DI bagian terbaik dari kota Bondowoso, ada sebuah monumen.
Sebuah gerbong barang tertutup rapat dan di sampingnya-sederetan
manusia dengan wajah penuh semangat membakar dan beberapa yang
lain dengan wajah berjoang melawan maut. Mereka yang masih
mempunyai semangat berkobar (dan berdiri di barisan depan)
membawa bedil, kelewang dan bendera merah putih. Barisan
belakang yang harus berperang dengan dewa maut berdiri setengah
tegak, perut kempes menempel ke tulang punggung.
Monumen tersebut adalah peringatan terhadap peristiwa gerbong
maut, yang tak akan pernah dilupakan oleh penduduk Bondowoso dan
sekitarnya. Terjadi pada tanggal 3 Nopember 1947, saat itu,
Bondowoso di bawah kekuasaan Belanda kembali. Mereka yang tetap
berkeras kepala pada republik, dipenjarakan Belanda di
satu-satunya penjara dan hingga kini masih terletak di sebelah
timur alun-alun kota. Jumlah mereka ada sekitar 160 orang,
sebagian besar terdiri dari tokoh masyarakat.
Mulut Yang Berdarah
Syahdan beberapa orang yang dianggap pentolan pemberontak
terhadap Belanda disuruh menghadap komandan penjara. Mereka
antara lain: Singgih, Supardjono, Asban, Kuswari, Slamet,
Karsono dan Tayib. Kepada mereka, pihak Belanda berkata bahwa
besok para tahanan akan dipindahkan ke penjara Bubutan, di
Surabaya.
Betulah, pintu sel sudah digedor sekitar jam 02.00 tengah
malam. Sejumlah 100 orang republik digiring ke setasiun. Tidak
ada sanak famili yang mengantar, tidak ada air mata mengiring
keberangkatan mereka. Yang ada cuma hardikan tentara Belanda dan
kaki tangannya. Di setasiun, telah ada tiga gerbong bisu menanti
mereka. Penduduk masih ingat, gerbong nomor 10152 diisi 3x
orang, gerbong nomor 4416 untuk 30 orang dan gerbong nomor 5769
dengan 32 orang. Pagi yang bisu dan dingin mengantar mereka
masuk ke gerbong yang tanpa lubang hawa.
Pintu tertutup rapat, begitu semuanya masuk. Tapi kereta-api
baru berangkat pukul 07.00. Tujuan Surabaya, lewat Jember.
Berhenti di setasiun Kalisat untuk menanti kereta yang datang
dari Banyuwangi. Hawa panas mulai merangsang penghuni gerbong.
Apalagi gerbong diparkir di luar setasiun, yang kena sinar
matahari secara penuh tapi jauh dari keramaian.
Teriakan-teriakan minta hawa segar dan air seteguk, tidak ada
yang mendengarnya. Haus. lapar, panas dan segala derita. Mereka
memperebutkan lubang angin sebesar paku. Diceritakan pula
bahwa begitu hausnya mereka, sampai ada yang minum air kencing
temannya.
Di Pasuruan, untung hujan. Sehingga biarpun tenggorokan kering,
gerbong jadi sedingin hawa ac. Wonokromo akhirnya dicapai.
Hasilnya, di Surabaya 45 orang meninggal. Sebagian besar yang
tewas dalam keadaan darah keluar dari mulut, telinga dan hidung.
Yang setengah hidup, dalam keadaan gosong kerontang, dipaksa
untuk menggotong teman mereka yang meninggal. Delapan orang yang
setengah mati dan separuh hidup dibawa ke rumah sakit Karang
Menjangan. Sisanya yang dianggap sehat walafiat, langsung masuk
penjara Bubutan.
Long-March
Nah, untuk memperingati semua itu, delapan orang mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jember mengadakan jalan kaki
panjang mengikuti jalur kereta-api gerbong maut tersebut.
Delapan orang yang juga tergabung dalam Mahasiswa Pencinta Alam,
melakukan apa yang mereka sebut long-march. Bondowoso -
Wonokromo yang panjangnya 247 km, mereka lalui lewat rel
keretaapi.
Tak urung mereka dilepas secara resmi juga. Pembantu Gubernur
Jawa Timur untuk Bondowoso, Asdirun Wiryokusumo melepas ke
delapan mahasiswa itu dengan pidato. Disaksikan juga oleh
Muspida setempat, 22 Juni jam 07.30, berjalanlah mereka.
Mengenang para pahlawan, kata Wiryokusumo, "diperoleh kesan
bahwa rasa nasionalisme di kalangan pemuda, khususnya para
mahasiswa tidaklah kering."
Perjalanan ditempuh tidak sekering dan semenderita penghuni
gerbong maut 30 tahun yang lalu. Karena biarpun jalan kaki,
mereka berhenti di bebcrapa setasiun dan tentu dengan makan dan
minum. Mengenakan baju sesantainya, ada yang celana pendek atau
jeans yang ditekuk sampai dengkul, di kepala mereka bertengger
topi dan kaki beralaskan sepatu tenis atau sandal Jepang. Tas
ransel yang di bahu berisi perlengkapan mereka, termasuk juga
permen karet. Bondowoso - Wonokromo mereka tempuh 156 jam 9
menit. Pos-pos tempat mereka berhenti adalah Kalisat,
Bangsalsari, Randuagung, Leces, Gununggangsir dan Pasuruan.
Untung saja lalu lintas kereta-api tidak seramai lalulintas
mobil di jalanan, sehingga mereka juga bisa selamat menyeberang
jembatan kereta-api yang di kawasan itu memang tidak sepanjang
jembatan Bengawan Sala.
Tiba di Wonokromo, tanggal 28 Juni jam 19.30. "Ini karena masa
teduh tidak ada ujian," ujar Istiqlal yallg jadi ketua. Apa
yang ditemukan ke-8 mahasiswa tersebut, antara lain diungkapkan
olehnya begini: "Ternyata kadar rasa nasionalisme di kalangan
penguasa di tiap daerah tidak sama." Dia tidak menjelaskan lebih
lanjut. Mungkin karena sambutan di pos setasiun sepi-sepi saja,
dan di situlah dia mengukur nasionalisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini