Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

8 pemuda dengan gerbong maut 8 pemuda dengan gerbang maut

Guna memperingati peristiwa gerbong maut 8 orang mahasiswa ekonomi universitas jember tergabung dalam mapala, melakukan long march bondowoso-wonokromo. jarak 247 km ditempuh 156 jam 9 menit.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bagian terbaik dari kota Bondowoso, ada sebuah monumen. Sebuah gerbong barang tertutup rapat dan di sampingnya-sederetan manusia dengan wajah penuh semangat membakar dan beberapa yang lain dengan wajah berjoang melawan maut. Mereka yang masih mempunyai semangat berkobar (dan berdiri di barisan depan) membawa bedil, kelewang dan bendera merah putih. Barisan belakang yang harus berperang dengan dewa maut berdiri setengah tegak, perut kempes menempel ke tulang punggung. Monumen tersebut adalah peringatan terhadap peristiwa gerbong maut, yang tak akan pernah dilupakan oleh penduduk Bondowoso dan sekitarnya. Terjadi pada tanggal 3 Nopember 1947, saat itu, Bondowoso di bawah kekuasaan Belanda kembali. Mereka yang tetap berkeras kepala pada republik, dipenjarakan Belanda di satu-satunya penjara dan hingga kini masih terletak di sebelah timur alun-alun kota. Jumlah mereka ada sekitar 160 orang, sebagian besar terdiri dari tokoh masyarakat. Mulut Yang Berdarah Syahdan beberapa orang yang dianggap pentolan pemberontak terhadap Belanda disuruh menghadap komandan penjara. Mereka antara lain: Singgih, Supardjono, Asban, Kuswari, Slamet, Karsono dan Tayib. Kepada mereka, pihak Belanda berkata bahwa besok para tahanan akan dipindahkan ke penjara Bubutan, di Surabaya. Betulah, pintu sel sudah digedor sekitar jam 02.00 tengah malam. Sejumlah 100 orang republik digiring ke setasiun. Tidak ada sanak famili yang mengantar, tidak ada air mata mengiring keberangkatan mereka. Yang ada cuma hardikan tentara Belanda dan kaki tangannya. Di setasiun, telah ada tiga gerbong bisu menanti mereka. Penduduk masih ingat, gerbong nomor 10152 diisi 3x orang, gerbong nomor 4416 untuk 30 orang dan gerbong nomor 5769 dengan 32 orang. Pagi yang bisu dan dingin mengantar mereka masuk ke gerbong yang tanpa lubang hawa. Pintu tertutup rapat, begitu semuanya masuk. Tapi kereta-api baru berangkat pukul 07.00. Tujuan Surabaya, lewat Jember. Berhenti di setasiun Kalisat untuk menanti kereta yang datang dari Banyuwangi. Hawa panas mulai merangsang penghuni gerbong. Apalagi gerbong diparkir di luar setasiun, yang kena sinar matahari secara penuh tapi jauh dari keramaian. Teriakan-teriakan minta hawa segar dan air seteguk, tidak ada yang mendengarnya. Haus. lapar, panas dan segala derita. Mereka memperebutkan lubang angin sebesar paku. Diceritakan pula bahwa begitu hausnya mereka, sampai ada yang minum air kencing temannya. Di Pasuruan, untung hujan. Sehingga biarpun tenggorokan kering, gerbong jadi sedingin hawa ac. Wonokromo akhirnya dicapai. Hasilnya, di Surabaya 45 orang meninggal. Sebagian besar yang tewas dalam keadaan darah keluar dari mulut, telinga dan hidung. Yang setengah hidup, dalam keadaan gosong kerontang, dipaksa untuk menggotong teman mereka yang meninggal. Delapan orang yang setengah mati dan separuh hidup dibawa ke rumah sakit Karang Menjangan. Sisanya yang dianggap sehat walafiat, langsung masuk penjara Bubutan. Long-March Nah, untuk memperingati semua itu, delapan orang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jember mengadakan jalan kaki panjang mengikuti jalur kereta-api gerbong maut tersebut. Delapan orang yang juga tergabung dalam Mahasiswa Pencinta Alam, melakukan apa yang mereka sebut long-march. Bondowoso - Wonokromo yang panjangnya 247 km, mereka lalui lewat rel keretaapi. Tak urung mereka dilepas secara resmi juga. Pembantu Gubernur Jawa Timur untuk Bondowoso, Asdirun Wiryokusumo melepas ke delapan mahasiswa itu dengan pidato. Disaksikan juga oleh Muspida setempat, 22 Juni jam 07.30, berjalanlah mereka. Mengenang para pahlawan, kata Wiryokusumo, "diperoleh kesan bahwa rasa nasionalisme di kalangan pemuda, khususnya para mahasiswa tidaklah kering." Perjalanan ditempuh tidak sekering dan semenderita penghuni gerbong maut 30 tahun yang lalu. Karena biarpun jalan kaki, mereka berhenti di bebcrapa setasiun dan tentu dengan makan dan minum. Mengenakan baju sesantainya, ada yang celana pendek atau jeans yang ditekuk sampai dengkul, di kepala mereka bertengger topi dan kaki beralaskan sepatu tenis atau sandal Jepang. Tas ransel yang di bahu berisi perlengkapan mereka, termasuk juga permen karet. Bondowoso - Wonokromo mereka tempuh 156 jam 9 menit. Pos-pos tempat mereka berhenti adalah Kalisat, Bangsalsari, Randuagung, Leces, Gununggangsir dan Pasuruan. Untung saja lalu lintas kereta-api tidak seramai lalulintas mobil di jalanan, sehingga mereka juga bisa selamat menyeberang jembatan kereta-api yang di kawasan itu memang tidak sepanjang jembatan Bengawan Sala. Tiba di Wonokromo, tanggal 28 Juni jam 19.30. "Ini karena masa teduh tidak ada ujian," ujar Istiqlal yallg jadi ketua. Apa yang ditemukan ke-8 mahasiswa tersebut, antara lain diungkapkan olehnya begini: "Ternyata kadar rasa nasionalisme di kalangan penguasa di tiap daerah tidak sama." Dia tidak menjelaskan lebih lanjut. Mungkin karena sambutan di pos setasiun sepi-sepi saja, dan di situlah dia mengukur nasionalisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus