Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Alternatif pengganti sdsb

19 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya sangat setuju dengan usulan Saudara Solichin Salam, yang mengusulkan pungutan pajak penghasilan dinaikkan sebagai alternatif pengganti SDSB (TEMPO, 12 Januari 1991, Kontak Pembaca). Ini ada dasarnya, lihatlah ketentuan pasal 17 undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Di situ disebutkan bahwa untuk penghasil pajak sampai Rp 10 juta, tarif pajaknya 15%. Di atas Rp 10 juta sampai Rp 50 juta, tarif pajaknya 25%. Dan, di atas Rp 50 juta, tarif pajaknya 35%. Tarif tersebut sangat sederhana dan kasar. Sama sekali tidak mencerminkan keadilan dalam memikul beban pajak. Yang paling diuntungkan di sini adalah mereka yang berpenghasilan lebih dari Rp 50 juta setahun hanya dikenakan flat 35%. Itu tak peduli "konglomerat" yang berpenghasilan sekian milyaran rupiah setahun. Dengan tarif tersebut, tidak terdapat pemerataan pendapatan masyarakat, yang berpenghasilan besar akan semakin kaya. Yang relatif dirugikan adalah yang berpenghasilan kecil di bawah Rp 50 juta. Maka, sudah sewajarnya jika beban pajak bagi mereka berpenghasilan tinggi itu ditambah untuk kepentingan kesejahteraan sosial. Di negeri Belanda, misalnya, di samping pungutan pajak penghasilan masih ada tambahan tuslah untuk kepentingan kesejahteraan sosial. Misalnya dapat diatur: Yang berpenghasilan Rp 100 juta sampai Rp 200 juta per tahun, ditambah pungutan kesejahteraan sosial 5%. Di atas Rp 200 juta sampai Rp 400 juta per tahun, ditambah pungutan kesejahteraan 10%. Di atas Rp 400 juta sampai Pp 800 juta per tahun, ditambah pungutan kesejahteraan sosial 15%. Dan di atas Rp 800 juta per tahun, ditambah pungutan pajak kesejahteraan sosial 20%. Hasil pungutan sosial ini dimasukkan ke APBN, tapi penggunaannya hanya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, sebagai pengganti SDSB, atau pungutan lainnya yang bersifat judi. Tak perlu mengubah undang-undang pajak penghasilan, cukup ditetapkan dengan keputusan presiden sebagai mandataris MPR dalam menjalankan GBHN. Cara tersebut tak haram hukumnya menurut Islam dan selaras dengan asas Pancasila dalam usaha lebih meratakan pendapatan masyarakat. Mereka yang kaya dipaksa berbuat amal bagi kepentingan masyarakat. SUHARSONO HADIKUSUMO Jalan Perjuangan No. 2 RT 010/07 Jakarta 11520

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus