Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM reformasi politik sekarang ini, statistik pun mendapat sorotan tajam. Mantan Kepala BPS, Sugito M.A., tampak kurang sreg untuk me-release angka pertumbuhan ekonomi tahun 2000. Sugito pernah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa 1,5 persen jika situasi politik tidak aman, sementara Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri dan Kepala Bulog Rizal Ramli memperlihatkan pertumbuhan ekonomi bisa 3-5 persen. Ketika Sugito mengatakan pertumbuhan ekonomi itu, dia dituduh ikut memperkeruh kondisi ekonomi Indonesia. Akibatnya, rupiah terus anjlok.
Statistik adalah angka-angka pendugaan atau peramalan yang ditarik dari sebuah sampel. Sampel akan sangat dipengaruhi oleh metode sampling yang digunakan, keakuratan pencacahannya, metode pengolahannya, dan ini semua akan tergantung pada dana yang tersedia. Jika kita tidak mampu memberi honor yang memadai kepada karyawan pencacah atau mantri statistik, bisa jadi ia akan seenaknya mengumpulkan data, mengutip data, atau membuat data berdasarkan pesanan.
Seorang pejabat statistik di Kabupaten Pati menceritakan bahwa ada pejabat pemerintah yang memesan jumlah keluarga prasejahtera kepada kantor statistik untuk me-mark up dana jaring pengaman sosial (JPS). Ada dugaan bahwa angka inflasi di bawah dua digit adalah pesanan Bina Graha pada zaman itu. Karena itu, tidak mengherankan bahwa inflasi hanya mencapai 9,54 persen. Banyak orang curiga. Karena itu, pejabat statistik dengan keras menolak tuduhan itu. Bagusnya, Azwar Rasjid (mantan Kepala BPS) tidak pernah mengadakan konferensi pers, sehingga BPS tidak pernah kena semprot presiden.
Setelah reformasi, Kepala BPS saat itu, Sugito, sering melakukan konferensi pers. Angka pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 1,5 persen jadi kejutan besar. Itu terjadi karena yang mengumumkan bukan Setneg atau sekretaris presiden. Sugito kena batunya, dituduh ikut memperkeruh suasana politik keamanan. Dosa siapa?
Bagaimana dengan Kepala BPS yang baru, Soedarti Surbakti, yang menurut pengakuan Gus Dur, ia belum kenal sebelumnya. Tentu Gus Dur bijak, karena tidak kenal dengan orang dalam BPS, atau tidak ada orang luar yang berminat, ia menyerahkannya kepada petinggi BPS. Tetapi kalangan BPS tidak percaya bahwa Soedarti, sang doktor sosiologi dari sebuah universitas di AS, dicalonkan oleh mantan Kepala BPS Sugito. Sugito sendiri pernah mengaku sulit mencari penggantinya. Tentu orang bertanya, apa sih sulitnya mencari Kepala BPS? Kriteria apa yang dimaksud untuk seorang Kepala BPS? Mungkin, petinggi BPS ingin mengatakan "yang mengerti politik", karena statistik di Indonesia penuh dengan muatan politis.
ABDUL ROCHIM ADNAN
Jalan Pondokbambu Asri Selatan V/26
Jakarta Timur, 13430
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo