Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT orang tewas dalam waktu kurang dari sepekan, puluhan dirawat serius di sejumlah rumah sakit. Virus flu burung makan korban lagi, setelah dua bulan absen. Itu artinya semua upaya pemberantasan selama ini gagal.
Penyebabnya bisa diketahui. Pemerintah tidak sungguh-sungguh melaksanakan tindakan pemusnahan unggas. Masyarakat pun kerap sembrono dalam urusan menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan. Padahal kita hidup di negara tropis dengan cuaca yang nyaman bagi virus. Maka, kompletlah sudah. Negeri ini pun akhirnya menyediakan semua yang dibutuhkan virus flu burung untuk berkembang dengan subur.
Padahal, pada penghujung tahun lalu, dua bulan lamanya flu burung hilang. Tak ada pasien yang dinyatakan positif terinfeksi avian influenza. Pemerintah mengira flu burung sudah dapat ditaklukkan. Beberapa pejabat mengakui tak ada kegiatan pencegahan agresif lagi. Kenyataannya, pasukan virus maut H5N1 cuma sedang beristirahat, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi (lihat, Kecolongan Flu Burung).
Seperti biasa, pemerintah kemudian beraksi bagai tim pemadam kebakaran, gerabak-gerubuk. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie merilis instruksi: unggas di kawasan permukiman harus dimusnahkan. Teknik pelaksanaan diserahkan sepenuhnya, termasuk pengadaan biaya, kepada daerah tingkat satu dan dua.
Tentu saja kebijakan menyerahkan soal genting ini kepada daerah perlu dipertanyakan. Kita tahu kemampuan keuangan daerah di negeri ini sangat beragam. Daerah kaya, misalnya DKI Jakarta, punya dana yang cukup untuk melaksanakan dan mengawasi penertiban unggas di permukiman. Tapi daerah yang kurang mampu pasti akan sulit menyediakan dana untuk pengawasan dan pemusnahan unggas.
Seyogianya, meminjam pendapat ahli flu burung dari Universitas Airlangga Surabaya, Chairil Anwar Nidom, untuk urusan yang berhubungan dengan sistem kesehatan, komando harus dipegang oleh pusat. Rakyat harus mematuhinya karena penanganan virus semacam flu burung ini memang harus terpadu. Risiko komando dari pusat itu jelas ada. Pusat menanggung biaya dan juga menyediakan standar prosedur yang terencana matang. Program yang dijalankan dengan grusa-grusu tidak akan membawa hasil yang memadai. Reaksi yang berlebihan tak ada gunanya.
Pemusnahan unggas, misalnya, mungkin perlu dilakukan di satu daerah tapi tidak diperlukan di daerah yang lain. Menghabisi semua unggas di semua daerah hanya menunjukkan reaksi ketakutan berlebihan. Yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan program vaksinasi unggas secara tekun dan terus-menerus. Tidak perlu memberantas semua unggas di permukiman kalau program vaksinasi berjalan teratur.
Tapi, persoalan yang lain, Departemen Pertanian sudah berbilang tahun tidak berhasil meyakinkan masyarakat bahwa program vaksinasi unggas merupakan keharusan. Pengadaan vaksin pun bermasalah. Sebabnya bukan hanya keterbatasan biaya dan kekurangsiapan aparat departemen, melainkan juga proyek cari untung pribadi dalam pengadaan vaksin unggas (lihat Tempo edisi 7 Agustus 2006).
Sebetulnya, tak soal benar prioritas mana yang dipilih pemerintah: vaksinasi unggas atau pemusnahan unggas. Tapi, apa pun yang dipilih, hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Koordinasi yang erat di semua lapis birokrasi pusat dan daerah merupakan keharusan. Dengan begitu, saling lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah bisa dihindari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo