Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUBERNUR Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama menjadi tersangka dugaan penistaan agama Islam. "Mereka sepakat menyelesaikan kasus ini secara terbuka, melalui sidang peradilan. Silakan, proses hukumnya kita kawal bersama," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian seusai gelar perkara kasus tersebut di Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta, Rabu, 16 November 2016.
Apa yang menimpa Ahok—panggilan akrab Basuki—pernah terjadi pada Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor. Tempo edisi 27 Oktober 1990 menurunkan tuduhan penistaan agama Islam ini sebagai laporan utama dengan judul "Arswendo, Angket yang Bikin Heboh". Ada tulisan mengenai kasusnya, dakwaan hukum yang menjerat, dan profil Arswendo yang menampilkan jurnalisme "ser" dan "lher"-nya.
Heboh bermula dari angket "Kagum 5 Juta" yang dimuat Monitor edisi 15 Oktober 1990. Pengelola tabloid beroplah 600 ribu itu mengiming-imingi pembaca hadiah Rp 50 ribu untuk 100 pemenang. Caranya, mengisi angket berisi dua pertanyaan, yaitu siapa tokoh yang paling dikagumi (bisa politikus, pejabat, artis, pengusaha, olahragawan, pribadi, bisa pria, wanita, atau siapa saja) dan mengapa memilih tokoh tersebut.
Cukup banyak jawaban yang sampai ke meja redaksi: 33.963 kartu pos. Dari jumlah itu, 5.003 kartu pos memilih Soeharto, sehingga Presiden RI itu menduduki peringkat pertama, disusul Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie (2.975), bekas presiden Sukarno (2.662), penyanyi Iwan Fals (2.431), dan mubalig terkemuka Zainuddin Mz. (1.633).
Lalu Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno (1.447), Presiden Irak Saddam Hussein (847), Nyonya Hardijanti Indra Rukmana (800), Menteri Penerangan Harmoko (797), dan peringkat kesepuluh diduduki oleh Arswendo Atmowiloto (663). Satu undakan di bawah Arswendo, tertera nama Nabi Muhammad SAW. Monitor menurunkan hasil angket itu, dari peringkat 1 sampai 50, tentu saja Nabi Muhammad ditulis di urutan ke-11.
Heboh pun meletus. Reaksi terbuka pertama kali pecah di Medan. "Anak saya yang masih kelas II SD bertanya kepada saya, kenapa Iwan Fals lebih beken daripada Nabi Muhammad. Saya sulit menjawabnya," kata Ketua F-PP di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Hasrul Azwar, seperti termuat di halaman pertama harian Waspada.
Di Jakarta, Mohammad Natsir, bekas tokoh utama Masyumi, menilai tindakan Monitor melanggar budaya dan mengganggu kerukunan beragama di sini. "Kalau mau menjaga kerukunan beragama, jangan singgung perasaan agama orang lain, meski Anda tak senang pada agama itu," katanya.
Banyak tokoh Islam di Jakarta dan berbagai daerah melakukan protes, termasuk ormas pemuda seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Muslimin Indonesia, dan ormas Islam Persis. Ada yang mengusulkan masyarakat untuk memboikot Monitor, ada pula yang menuntut pemerintah menutup tabloid Monitor dan menangkap Arswendo.
Unjuk rasa terjadi di kantor Monitor di Jalan Palmerah, Jakarta, dan di berbagai daerah. Kantor Monitor yang menerima ancaman lewat telepon kemudian mengungsikan barang-barang penting, seperti film dan naskah berita. Pada Senin pagi, 22 Oktober 1990, lebih-kurang 50 demonstran mencari Arswendo di kantornya. Sebagian adalah mahasiswa IAIN serta pelajar SMA dan SMEA.
Pada siang, jumlah demonstran bertambah menjadi sekitar 150 orang. Karena tidak berhasil menemui Arswendo, mereka merusak kantor Monitor. Perabot seperti meja redaksi, mesin ketik, dan komputer jungkir-balik. Foto-foto wanita berpakaian minim—yang merupakan ciri khas penampilan tabloid Monitor selama ini—yang banyak menempel di dinding kantor jadi sasaran: dirobek dan dirusak.
Esoknya, Arswendo, yang lahir di Surakarta pada 1948, tampil di TVRI, meminta maaf kepada masyarakat, terutama umat Islam. Permohonan maaf yang sama dimuat pula di Kompas. Lalu seluruh halaman depan Monitor edisi Senin diisi oleh iklan permohonan maaf yang sama.
Arswendo kemudian diajukan ke pengadilan dan dijatuhi vonis lima tahun penjara. Pada 23 Oktober 1990, Menteri Penerangan Harmoko mencabut SIUPP Tabloid Monitor Nomor 194/1984 yang dipegang PT Gema Tanah Air. Perusahaan ini didirikan oleh Harmoko sendiri dan ia menjabat komisaris utama di sana. Pendiri lainnya adalah Arswendo, Jakob Oetama, dan M. Sani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo