Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKEMBANGAN masalah Aceh belakangan ini, agaknya, bukan semakin menyejukkan, melainkan semakin memprihatinkan. Bukan karena rakyat Aceh masih diobok-obok militer, atau masih merebaknya pelanggaran hak asasi manusia, bukan karena itu, melainkan karena banyaknya komentar dan pernyataan dari para elite politik, tokoh-tokoh LSM, dan bahkan mahasiswa, baik yang berada di Jakarta maupun di Aceh. Mereka, satu sama lain, bertolak belakang.
Yang sangat memprihatinkan adalah penggunaan istilah ’’kekuasaan Jawa” atau ’’kekuasaan Jakarta”. Seolah-olah apa yang terjadi di Aceh selama ini disebabkan oleh kekejaman pemerintahan ’’Jawa” atau pemerintahan ’’Jakarta”. Semula istilah ini hanya digunakan oleh mereka yang menamakan dirinya pemimpin Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, tapi belakangan diadopsi oleh para elite Jakarta yang mengatasnamakan rakyat Aceh. Padahal, kedua istilah ini mengandung konotasi dan implikasi yang sangat dalam dan sangat berbahaya, yaitu seolah-oleh rakyat Aceh selama ini ’’dijajah”, ditindas, dan diperlakukan tidak adil oleh ’’pemerintah” Jakarta yang ’’berkebangsaan Jawa”.
Kita khawatir penggunaan istilah ini bukan hanya karena ketidaksengajaan dan kecerobohan atau karena ketidaktahuan akan makna dari kata tersebut, tapi justru dengan sengaja dikembangbiakkan oleh kaum reaksioner untuk mengalihkan perjuangan kaum reformis dari sasaran pokoknya untuk menggulingkan kekuasaan rezim Orde Baru sampai ke akar-akarnya.
Padahal, kita tahu, selama 32 tahun, pemerintahan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto tidak hanya menyengsarakan rakyat Aceh, rakyat Irianjaya, dan rakyat Riau, tapi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Militerisme yang menginjak-injak hak-hak dasar manusia tidak hanya terjadi di Aceh dan Irian, tapi di seluruh wilayah tanah air tercinta ini. Darah ratusan ribu bahkan jutaan jiwa mengalir karena kebrutalan militerisme juga terjadi di Purwodadi, Blitar Selatan, Bali, Tanjungmorawa, Medan, pada 1966-1967, Santa Cruz, Liquica, Dili, Ermera, dan Suai, Timor Timur, pada 1991, 1995, dan 1999, Tanjungpriok, 1984, Lampung, 1989, Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Jakarta, 1998-1999, dan di banyak tempat lain yang tersebar di seluruh Tanah Air.
Kekayaan rakyat Indonesia yang ada di BUMN dan bank-bank pemerintah dijarah dan dikorup oleh rezim Soeharto, kemudian dibagikan kepada keluarga dan kroni-kroninya. Contoh penjarahan bank yang paling dahsyat dan signifikan adalah kasus Texmaco, yang mencapai Rp 9,8 triliun. Bayangkan, itu 10 kali lebih besar daripada uang rakyat yang dijarah Eddy Tansil. Ini baru puncaknya gunung es.
Yang ikut menikmati kemakmuran rezim Soeharto pun bukan hanya orang Jawa, tapi juga ada orang Irianjaya, orang Aceh, Riau, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sumatra, bahkan orang-orang keturunan seperti Marimutu Sinivasan. Mereka adalah ’’laron” yang berkerumun di sekitar kekuasaan Soeharto. Bukan tidak mungkin di antara mereka yang sekarang sedang gencar-gencarnya menuntut kemerdekaan itu justru ada orang-orang yang dulu bergelimang kemewahan bersama kroni Soeharto dan keluarganya. Contoh yang paling mencolok adalah Yorrys Raweyai di Irianjaya.
Sebaliknya, sebagian besar rakyat Jawa yang hidup di desa-desa dan di kota-kota menjadi korban penggusuran dan penjarahan tanah yang dilakukan oleh konglomerasi rezim Soeharto. Penggusuran dan penjarahan tanah telah terjadi hampir di seluruh Indonesia, tidak terkecuali di Pulau Jawa. Jutaan rakyat Jawa telah kehilangan tanahnya yang paling subur, yang hanya diganti dengan harga Rp 50 per meter persegi—lebih murah dari harga sekeping kerupuk. Ratusan ribu rakyat Kedungombo sampai sekarang hidup merana dalam kemiskinan karena tanahnya dijarah oleh kekuasaan rezim Soeharto. Jutaan rakyat miskin dari Jawa kemudian ’’dibuang” ke Irian, Timor Timur, Riau, Sulawesi, Kalimantan, dan juga Aceh atas nama transmigrasi. Ini semua bukan keinginan mereka. Mereka datang ke pulau-pulau tersebut terpaksa hanya sekadar untuk menyambung hidup.
Memang, hampir dua tahun lalu Soeharto telah terguling, sudah tidak berkuasa lagi. Kini Soeharto dalam keadaan sakit-sakitan. Tapi para pendukungnya masih menguasai mayoritas jajaran birokrasi, dari pusat sampai daerah, sipil atau militer. Mereka berusaha keras melanggengkan kekuasaan lama, setidaknya untuk menghambat dan bahkan membelokkan arah perjuangan gerakan reformasi ke arah yang menguntungkan mereka.
Kalau kita amati, sejak jatuhnya Soeharto, telah terjadi serangkaian peristiwa yang mengarah pada disintegrasi bangsa, dari peristiwa Ketapang, Banyuwangi, Jember, Pasuruan, bahkan sampai Ciamis dengan alasan dukun santet, kemudian disusul dengan peristiwa Ambon yang berkepanjangan, NTB, NTT, dan peristiwa Sambas. Terjadi konflik horizontal atas nama agama dan etnis. Rekayasa ini tampaknya dianggap gagal. Sekarang, setelah terbentuknya kebinet Gus Dur yang diharapkan lebih legitimate, usaha mereka ditingkatkan dengan menggunakan ketidakpuasan daerah, terutama Aceh, Riau, Sulawesi Selatan, dan Irianjaya.
Terlepas dari masalah setuju atau tidak, mendukung atau tidak mendukung terhadap pemerintahan Gus Dur, rasanya tidak adil kalau karena kesalahan rezim Soeharto, ’’Jakarta” yang menjadi kambing hitam, kemudian yang lain berusaha memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI. Atau, dengan kata lain, rezim Soeharto yang bergelimang kemewahan dengan tebusan darah dan kemiskinan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, tapi keutuhan bangsa yang menjadi korban. Kita jangan sampai terjebak oleh usaha ’’menggapai keadilan dengan ketidakadilan”.
H. SUPARMAN
Tasikmalaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo