Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
R. Siti Zuhro
Peneliti Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI
Belakangan ini diskursus federasi semakin marak. Bila pada periode sebelumnya perdebatan tentang federasi nyaris tak terdengar, sekarang ini mempertanyakan bentuk negara kesatuan dan relevansinya bagi masyarakat Indonesia yang multikultural pun tak dianggap tabu. Pada era reformasi ini, kemerdekaan untuk mengungkapkan pikiran-pikiran kritis dan obyektif semakin mendapatkan tempat. Gugatan terhadap rezim yang represif dan sentralistis yang gagal dalam mengurus negara pun tak terbendung lagi. Bagi daerah-daerah yang sedang bergolak—Aceh, Maluku, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan—ketidakadilan dalam banyak bidang yang berlangsung selama ini tak hanya menyebabkan hilangnya kepercayaan mereka terhadap pemerintah pusat, tapi juga semakin memperkuat keyakinan mereka bahwa bentuk negara kesatuan tak cukup akomodatif menyerap aspirasi masyarakat lokal sehingga yang lebih diuntungkan adalah pusat. Karena itu, daerah-daerah tersebut berargumen bahwa tuntutan federasi merupakan salah satu jalan keluar.
Hal tersebut tentunya tak perlu dipertentangkan dengan pandangan militer dan beberapa partai politik seperti PDI-P dan Partai Golkar, yang menilai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pilihan final. Ada dua alasan penting mengapa hal itu tak perlu dikontraskan. Pertama, daerah-daerah berhak menggugat pemerintah pusat, yang dinilainya telah gagal meningkatkan perekonomian daerah. Selain itu, sektor lain selain ekonomi juga diintervensi secara luar biasa melalui kebijakan penyeragaman sehingga menyebabkan budaya lokal sulit berkembang dan gagal menjadi sektor unggulan. Belum lagi pelanggaran hak asasi manusia, yang telah menambah catatan panjang sakit hati masyarakat lokal.
Kedua, dengan semangat reformasi yang menonjolkan kedaulatan rakyat, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Pada saat yang sama, menghargai pendapat orang/kelompok lain juga sama pentingnya dengan mengakui perbedaan itu sendiri. Munculnya diskursus tentang federasi tidaklah menyalahi hukum dan perundang-undangan yang ada. Karena itu, sikap apriori atau bahkan antipati terhadap federasi tidaklah beralasan.
Sistem represif yang telah berlangsung lama dan membawa Indonesia pada keterpurukan yang cukup dahsyat ini semestinya menyadarkan kita semua untuk segera bangkit dan dengan semangat baru bersama-sama membangun kembali bangsa dan negara Indonesia yang demokratis. Meskipun hal ini kedengarannya sangat ideal, bukan berarti bahwa bangsa ini tak mampu mewujudkannya. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan melawan penjajah. Tapi, ironisnya, setelah hampir 55 tahun RI berdiri, rakyat Aceh dan Irianjaya mengumandangkan keinginannya untuk ''merdeka".
Di satu sisi, sulit ditutup-tutupi bahwa pemerintah pusat sebenarnya semakin kewalahan mengatasi meningkatnya tuntutan daerah-daerah. Di sisi lain, beban pembangunan juga semakin berat bila hanya mengandalkan kemampuan manajemen pusat (Jakarta). Partisipasi aktif daerah dalam aktivitas pembangunan sangat signifikan. Sebab, bagaimanapun juga sulit dimungkiri bahwa keterbatasan dana dan sumber daya alam yang semakin tipis telah mensyaratkan adanya power sharing yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, pusat semestinya menjadi pendorong daerah-daerah, supaya mereka lebih maju dan mampu berkompetisi di tingkat regional dan global. Lebih-lebih lagi, dalam waktu dekat Indonesia akan menghadapi realisasi AFTA 2003. Bisa dibayangkan, bila daerah tidak siap menghadapi era tersebut, akan semakin sulit bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan ekonominya.
Bertolak dari kenyataan itu, pilihan otonomi seluas-luasnya bagi daerah merupakan suatu keniscayaan. Untuk itu, political will pemerintah perlu dikonkretkan dalam bentuk percepatan pelaksanaan otonomi seluas-luasnya. Namun, akan sangat tragis bila daerah-daerah yang bergolak itu tidak bersedia menerima kedua undang-undang baru (Undang-Undang No.22 dan 25/1999) yang ditawarkan pemerintah. Sementara itu, kedua undang-undang itu juga sedang berpacu dengan waktu, khususnya dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi daerah. Akankah kedua undang-undang tersebut mampu menjadi obat mujarab ancaman disintegrasi bangsa? Agaknya kita perlu menunggu dalam waktu dekat ini.
Masalahnya, bila pemerintah kali ini gagal meredam kecenderungan disintegrasi, tak tertutup kemungkinan daerah-daerah yang bergolak bukan lagi menuntut federasi, melainkan malah menginginkan lepas dari RI. Untuk memperkuat kembali kepercayaan daerah terhadap pusat, semata-mata mengumbar retorika dalam bentuk janji-janji kosong dan pernyataan normatif terbukti bukan merupakan cara yang efektif untuk mengatasi gejolak di daerah. Perlu solusi konkret di tataran empiris.
Berkembangnya aspirasi di beberapa daerah yang menuntut federasi juga tak dapat dipandang enteng. Gugatan mereka seharusnya dilihat sebagai dampak serius sentralisasi. Pengalaman pahit selama puluhan tahun di bawah otonomi semu hanya menghasilkan ketidakberdayaan daerah dan masyarakatnya. Sementara itu, ''politik pembangunan" yang dijalankan dengan dalih pemerataan distribusi hasil kekayaan daerah yang berlangsung selama rezim Orde Baru telah diselewengkan. Absennya pengawasan oleh lembaga legislatif pusat/daerah, institusi pengawasan terkait, dan kekuatan ekstrabirokrasi (intelektual, mahasiswa, pers, LSM, dan masyarakat bisnis), serta lemahnya fungsi dan peran partai politik membuat kewenangan eksekutif pusat-daerah sangat besar. Lemahnya kontrol lembaga dan kekuatan yang ada dan ditambah dengan kenyataan tidak transparannya pengelolaan dan distribusi dana yang mengalir ke daerah-daerah membuat korupsi semakin merajalela.
Dampak negatifnya terhadap daerah tidaklah kecil. Daerah-daerah kaya merasa dieksploitasi oleh pusat. Sementara itu, daerah tak dapat berbuat banyak selain menerima perlakuan yang tak adil tersebut sambil mengelus dada. Keterbelakangan daerah bukanlah hal yang mengherankan karena mereka memang diperlakukan sebagai sapi perahan. Yang tak kalah pentingnya juga adalah munculnya ''gerakan separatis" seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Irianjaya semakin mendapat dukungan rakyat dan bahkan cenderung mendapat legitimasi. Fenomena ini tentunya sangat memprihatinkan. Kita pun tak menginginkan republik ini digerogoti oleh gerakan separatisme yang semakin kuat belakangan ini.
Berangkat dari kebijakan yang terlalu top-down tersebut, beberapa daerah kemudian bangkit dan bertekad mewujudkan otonomi untuk mengelola sendiri ekonomi, politik, sosial, dan budayanya. Dalam konteks ini, masyarakat mendambakan enyahnya intervensi pusat dalam urusan-urusan daerah. Lima tugas penting (politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama) yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang No.22/1999 mencerminkan kewenangan penuh daerah untuk mengelola sendiri pemerintahan dan pembangunannya. Hanya, bila penekanan otonominya itu pada daerah provinsi, kendalanya bisa jadi akan lebih kecil. Dan yang lebih penting dari itu, Indonesia secara substansial dapat dikatakan telah mengadopsi nilai-nilai federasi.
Persoalan yang muncul kemudian adalah secara empiris, agak rumit dan bahkan cenderung pelik bila otonomi dilaksanakan di daerah kabupaten/kota. Sementara itu, daerah provinsi, menurut Pasal 8 Ayat 2 Undang-Undang No.22/1999, selain menjadi wilayah dekonsentrasi, juga memiliki kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Itu artinya bahwa provinsi akan tetap menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat, sedangkan kabupaten/kota menjadi daerah yang ''direncanakan" sungguh-sungguh otonom. Tapi, perlu dipahami secara jernih bahwa kendala kabupaten/kota untuk menjadi daerah otonom adalah sangat besar. Hal ini bisa dibandingkan dengan kegagalan model percontohan otonomi yang dititikberatkan pada Dati II yang berlangsung selama 1995-1999, yang notabene tak mengubah apa pun di daerah yang katanya otonom itu. Selain kendala infrastruktur seperti tersedianya universitas, bisnis, dan sumber daya alam—yang bisa menarik investor—akan terjadi cakar-cakaran antara daerah kabupaten/kota dan provinsi. Yang jelas, konsep pengembangan otonomi tidak mungkin di level kabupaten/kota.
Kenyataan tersebut membuat banyak daerah tetap resah. Merebaknya tuntutan federasi bukan tanpa alasan. Daerah kurang melihat otonomi yang hakiki dapat diwujudkan dalam negara kesatuan. Lebih-lebih lagi bila bentuk negara kesatuan (unitary state) ini dilaksanakan secara kaku (rigid) atau diselewengkan. Ia bukannya malah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa atau bahkan dapat menyejahterakan rakyat, tapi sebaliknya berakibat fatal bagi nasib masyarakat lokal. Kebijakan untuk memberikan otonomi khusus pada daerah-daerah tertentu juga akan menimbulkan masalah. Daerah-daerah lain pun akan menuntut status yang sama, mengingat setiap daerah mempunyai karakteristiknya sendiri dan karena itu mereka ingin mempromosikan kekhasannya tersebut. Bagi bangsa yang multikultural, yang ditandai dengan perbedaan bahasa, agama, wilayah, budaya, dan sejarahnya, sulit dipercaya dapat hidup relatif tenang (peaceful) dan demokratis tanpa mempraktekkan sistem federal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |