SEORANG kulit putih, tinggi besar, tersenyum lebar. Di depannya,
berdiri seorang wanita setengah tua dengan penuh selidik dan
muka tidak percaya. Ia mengusap mata dengan ujung kebaya yang
disetrika halus. Si kulit putih dia dekati lagi. Matanya
dibelalakkan. Menghamburlah nyonya setengah tua itu sambil
memeluk dan menangis terharu: "Betul, betul, tuangala. Ini dia
meester Chapman."
Dia menangis lagi sambil memeluk laki-laki kulit putih yang juga
memeluk wanita setengah tua itu. Si laki-laki kulit putih tidak
bisa berkata apa-apa matanya basah berkaca-kaca. Penuh haru.
"Beta sangka dia so mati," kata wanita itu lagi dengan logat
Ambon. Dia adalah nyonya Octovina Lokollo. Umurnya kini 52 tahun
dan sudah punya seorang cucu. Si kulit putih, Alec Chapman.
Umurnya 56 tahun, punya empat orang anak dan tiga orang cucu.
Dia orang Australia, yang setiap tahunnya selalu berkunjung ke
kepulauan Maluku. Dimulai sejak 1973, Chapman yang jadi pengurus
dalam Gull Force Medical Project, datang untuk mengenang dan
menengok kuburan teman-temannya di Ambon War Cemetery, makam
perang di Ambon. Dan baru tahun inilah Chapman berhasil bertemu
dengan Octovina, wanita yang waktu itu masih gadis berumur 17
tahun. Setelah puluhan tahun tidak pernah berjumpa dan
masing-masing telah menempuh nasibnya sendiri-sendiri.
Monumen Doolan
Peristiwa 35 tahun yang lalu, sulit untuk dihapus dan dilupakan.
Waktu itu, Alec Chapman dan teman-teman datang ke Maluku sebagai
tentara infantri dari Sekutu. Dia bertolak dari Darwin di akhir
tahun 1941. Tujuan Maluku yang waktu itu masih dikuasai Belanda
untuk mempertahankan daerah ini dan daerah Indonesia Timur kalau
tentara Jepang menyerbu. Tentara yang bertolak dari Darwin ini
dibagi dua: batalion infantri ke-21 dan skwadron 13 dari
Angkatan Udara Australia dengan nama Gull Force, mendarat di
pulau Ambon. Yang lainnya: batalion 40 beserta skwadron bomber
yang dikenal dengan nama Sparrow Force, berangkat menuju Kupang,
di Timor.
Komandan Chapman adalah Letnan Kolonel Kapitz dari NICA dan
membawahi 20.000 orang anak buah. Mereka didrop di Amahusu dan
Poka. Tugasnya, mempertahankan lapangan udara Laha dan pulau
Ambon seluruhnya. Tapi Kapitz tidak bisa bertahan lama, karena
Jepang sudah sampai Tarakan dan Manado. Tanggal 30 Januari 1942
subuh hari, Jepang sudah nongol di Hitoe Lama, Hitoe Muri, di
teluk Siri dan di Latulahat. Pulau Ambon sudah terkepung.
Bagaikan semut rangsang, Jepang cepat menguasai bukit dan hutan
yang ada di seputar pulau tersebut.
Pertempuran seru tidak bisa dielakkan. Dan kalahlah NICA.
Hancurlah pertahanan Sekutu di Indonesia Timur. Jatuhlah Kapitz
dan mulailah derita kalah ditanggung oleh Chapman dan
kawan-kawannya. Tidak dijelaskan berapa banyak korban yang
jatuh, tapi kuburan perang tersebut masih dipelihara dan dijaga
hingga sekarang. War Cemetary Galala di Ambon, adalah bukti
masa kini. Sekutu mundur. Karena tentara kocar-kacir. Ada yang
tewas, ada yang menyerah untuk kemudian ditawan, dan banyak pula
yang pantang menyerah.
Hutang Budi
Satu di antara yang pantang menyerah itu ialah seorang tentara
yang bernama Doolan. Setelah mendapat tempat strategis di atas
bukit, Doolan perang sendirian. Modalnya cuma sebuah senapan
mesin yang masih sarat peluru. Dengan senjata ini dia bisa
menghancurkan enam buah tmk yang berisi tentara Jepang. Doolan
meninggal karena ada seorang penduduk yang berkhianat dan
memberitahukan di mana Doolan berada. Jepang menghantamnya dari
belakang bukit, tanpa diketahui Doolan. Di tempat dia meninggal
itulah kini berdiri sebuah tugu yang oleh masyarakat Ambon
dinamakan monumen Doolan. Sedihnya, Doolan sendiri di negerinya
belum diakui sebagai pahlawan. Sebab, orang-orang Australia
--begitu ceriteranya -- tidak mempunyai saksi mata bagaimana
gigihnya Doolan menghancurkan enam truk yang berisi tentara
Jepang yang dia porak-porandakan.
Akan Alec Chapman dan kawan-kawan, mempunyai nasib lain lagi.
Dengan bantuan penduduk setempat, Chapman bersembunyi di hutan
di pulau Ambon. Banyak rekan-rekannya yang mati di hutan karena
lapar dan malaria. Ketika Jepang sudah melancarkan operasi sapu
bersihnya di kampung dan hutan, penduduk menyarankan Chapman dan
teman-temannya untuk pergi ke pantai barat. Chapman dan 12 orang
tentara lainnya akhirnya berhasil meninggalkan pantai Amahusu di
tengah malam berawan, 3 Pebruari, 1942, dengan sebuah perahu
curian. Setelah dua hari mendayung, barulah mereka melihat
sebuah pulau. Payah dan lapar, mendaratlah mereka di Titawai,
pulau Nusa Laut. Di pulau inilah, nyawa mereka ditolong oleh
penduduk pulau tersebut. Antara lain oleh tante Octovina
Lokollo.
"Ya, betul ini meester Chapman," seru si tante lagi kegirangan.
Keduanya bertemu di Hotel Mutiara, Ambon. Chapman sendiri dengan
susah payah mencari orang-orang yang pernah menolongnya. Dengan
petunjuk sebuah foto tua yang telah menguning. Alec Chapman pun
mengeluarkan foto tersebut dari kantongnya. Octovina meneliti
foto tersebut. "Aa, ini beta, ini beta yang di tengah," ujarnya
lagi. Dalam foto tersebut tampak tangan Chapman berbalut perban,
pakai celana pendek compang-camping, berdiri bersama tiga gadis
dari Titawai. Seorang di antaranya, Octovina Lokollo. Dua gadis
yang lain, adalah kakak Octovina yang kini berada di pulau lain.
"Mereka memberi kami makanan, saya diurut dan dirawat
baik-baik," kata Alec Chapman dengan penuh haru. Baru kali
itulah, Chapman berhasil bertemu dengan Octovina Lokollo
kembali. "Padahal perbuatan ini sangat berbahaya untuk
keselamatan mereka sendiri," tambah Chapman. "Ya, kalau salah
bicara, Japang bisa iris beta pung leher," tambah Octovina, si
nenek yang punya seorang cucu.
Pernah, ketika akan mengambil makanan di Saparua, perahu mereka
terbalik. Selain makanan, isi perahu adalah cat dan ter.
Tumpahlah itu semua. Chapman tubuhnya penuh ter. "Beta tolong
gosok kulitnya dengan kelapa santan," kata Octoyina, "lantas
kita kikis bekas ter itu dengan kikis babi." Alec Chapman ketawa
saja mendengarkan ceritera penolongnya itu.
Setelah Chapman dan kawan-kawan kuat kembali, mereka harus
merencanakan siasat lain lagi. Tidaklah aman. kalau mereka tetap
tinggal di Titawai. Dan ketika waktu untuk pergi tiba, jadilah
Chapman dan teman-teman angkat kaki dari Titawai. "Beta tahan
supaya jangan pigl naik perahu," ceritera Octovina lagi, "sebab
kapal udara Jepang ada di atas. Beta pikir, pasti mereka mati."
Pada 8 Pebruari, Alec Chapman dan teman-teman berlayar
meninggalkan Nusa Laut. Dua hari kemudian, perahu sampai di
Amahae, pulau Ceram. Di situ mereka bersembunyi selama empat
hari. Kemudian dilanjutkan lagi ke desa Gesar, di sebelah yang
lain dari pulau Ceram. Berlayar lagi dan tanggal 25 Pebruari,
mereka sampai di Tual, kepulauan Kai. Biarpun pelayaran penuh
bahaya, lapar dan tidak ada obat untuk yang sakit, mereka toh
harus angkat kaki dari Kai. Tanggal 1 Maret mereka tiba di Dobo,
kepulauan Aru. Dari sini, angin membantu mereka ke Okaba, terus
ke Wamal dan Merauke, Irian. Tempat teraman adalah Merauke,
karena Jepang belum sampai di situ. Dengan mudahnya, mereka
kemudian pergi menyeberang ke daratan Australia.
"Saya menyampaikan terima kasih saya, juga keluarga saya, dan
teman-teman saya," kata Alec Chapman dengan penuh arti. Octovina
Lokollo menitikkan air mata. "Tuangala, Chapman. Beta kira dia
so mati," kata Octovina berkali-kali. Kini telah jadi tradisi,
para veteran Australia selalu datang kembali ke Ambon. Selain
menjenguk kubur kawan-kawannya di Galala, Gull Force yang kini
berbentuk yayasan (Gull Force Medical Project) membawakan
obat-obatan dan alat-alat kedokteran. Hutang budi yang patut
dibalas.
Alec Chapman sendiri kini seorang insinyur. Untuk Octovina:
Chapman memberinya sebuah kacamata. Octovina yang telah rabun
ini gembira sekali mendapat "mata sambungan," karena dompetnya
tidak memungkinkan untuk membiayai sebuah kacamata sekalipun.
Henderina Lokollo juga memaksakan diri untuk bertemu kembali
dengan Chapman. Dia tinggal di sebuah pulau di seputar pulau
Ambon. Biarpun Henderina tidak bisa lagi jalan dengan tegak --
dan harus ditolon oleh dua tonSkat di ke tiaknya -- untuk Alec
Chapman yang meester itu dibawakannya oleh-oleh. Setandan pisang
tanduk dari kebun Henderina. Penolongnya yang lain, berhasil
juga ditemui Chapman. Dia ini adalah Pak Tua Tomasoa, yang jadi
penunjuk jalan ketika Alec Chapman dan temanteman dikejar
Jepang.
Nasib para penolong Chapman ini tidak banyak berobah. Hidup
seperti biasa, di pulau terpencil, memetik sagu dan menjala ikan
di laut. Yang berobah hanyalah usia mereka saja yang kian
bertambah. Dan ini lebih menonjolkan kemiskinan yang mereka
punyai. "Datanglah ke Titawai, meester Chapman," ujar Octovina
Lokollo tenang. "Ya, datanglah," ujar Henderina, "di sana tidak
banyak berobah dari keadaan 35 tahun yang lalu." Alec Chapman
sambil manggut, tidak berkata-kata. Dia cuma tersenyum sambil
merangkul Octovina dan Henderina dengan penuh sayang. Bagaikan
takut kehilangan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini