Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Dia datang lagi ke sana

Veteran tentara sekutu, alec chapman, dari australia tiap tahun mengunjungi ambon, untuk ke kuburan temannya yang gugur melawan jepang dan bertemu dengan ny. octaviana lokollo, wanita yang pernah menolongnya.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG kulit putih, tinggi besar, tersenyum lebar. Di depannya, berdiri seorang wanita setengah tua dengan penuh selidik dan muka tidak percaya. Ia mengusap mata dengan ujung kebaya yang disetrika halus. Si kulit putih dia dekati lagi. Matanya dibelalakkan. Menghamburlah nyonya setengah tua itu sambil memeluk dan menangis terharu: "Betul, betul, tuangala. Ini dia meester Chapman." Dia menangis lagi sambil memeluk laki-laki kulit putih yang juga memeluk wanita setengah tua itu. Si laki-laki kulit putih tidak bisa berkata apa-apa matanya basah berkaca-kaca. Penuh haru. "Beta sangka dia so mati," kata wanita itu lagi dengan logat Ambon. Dia adalah nyonya Octovina Lokollo. Umurnya kini 52 tahun dan sudah punya seorang cucu. Si kulit putih, Alec Chapman. Umurnya 56 tahun, punya empat orang anak dan tiga orang cucu. Dia orang Australia, yang setiap tahunnya selalu berkunjung ke kepulauan Maluku. Dimulai sejak 1973, Chapman yang jadi pengurus dalam Gull Force Medical Project, datang untuk mengenang dan menengok kuburan teman-temannya di Ambon War Cemetery, makam perang di Ambon. Dan baru tahun inilah Chapman berhasil bertemu dengan Octovina, wanita yang waktu itu masih gadis berumur 17 tahun. Setelah puluhan tahun tidak pernah berjumpa dan masing-masing telah menempuh nasibnya sendiri-sendiri. Monumen Doolan Peristiwa 35 tahun yang lalu, sulit untuk dihapus dan dilupakan. Waktu itu, Alec Chapman dan teman-teman datang ke Maluku sebagai tentara infantri dari Sekutu. Dia bertolak dari Darwin di akhir tahun 1941. Tujuan Maluku yang waktu itu masih dikuasai Belanda untuk mempertahankan daerah ini dan daerah Indonesia Timur kalau tentara Jepang menyerbu. Tentara yang bertolak dari Darwin ini dibagi dua: batalion infantri ke-21 dan skwadron 13 dari Angkatan Udara Australia dengan nama Gull Force, mendarat di pulau Ambon. Yang lainnya: batalion 40 beserta skwadron bomber yang dikenal dengan nama Sparrow Force, berangkat menuju Kupang, di Timor. Komandan Chapman adalah Letnan Kolonel Kapitz dari NICA dan membawahi 20.000 orang anak buah. Mereka didrop di Amahusu dan Poka. Tugasnya, mempertahankan lapangan udara Laha dan pulau Ambon seluruhnya. Tapi Kapitz tidak bisa bertahan lama, karena Jepang sudah sampai Tarakan dan Manado. Tanggal 30 Januari 1942 subuh hari, Jepang sudah nongol di Hitoe Lama, Hitoe Muri, di teluk Siri dan di Latulahat. Pulau Ambon sudah terkepung. Bagaikan semut rangsang, Jepang cepat menguasai bukit dan hutan yang ada di seputar pulau tersebut. Pertempuran seru tidak bisa dielakkan. Dan kalahlah NICA. Hancurlah pertahanan Sekutu di Indonesia Timur. Jatuhlah Kapitz dan mulailah derita kalah ditanggung oleh Chapman dan kawan-kawannya. Tidak dijelaskan berapa banyak korban yang jatuh, tapi kuburan perang tersebut masih dipelihara dan dijaga hingga sekarang. War Cemetary Galala di Ambon, adalah bukti masa kini. Sekutu mundur. Karena tentara kocar-kacir. Ada yang tewas, ada yang menyerah untuk kemudian ditawan, dan banyak pula yang pantang menyerah. Hutang Budi Satu di antara yang pantang menyerah itu ialah seorang tentara yang bernama Doolan. Setelah mendapat tempat strategis di atas bukit, Doolan perang sendirian. Modalnya cuma sebuah senapan mesin yang masih sarat peluru. Dengan senjata ini dia bisa menghancurkan enam buah tmk yang berisi tentara Jepang. Doolan meninggal karena ada seorang penduduk yang berkhianat dan memberitahukan di mana Doolan berada. Jepang menghantamnya dari belakang bukit, tanpa diketahui Doolan. Di tempat dia meninggal itulah kini berdiri sebuah tugu yang oleh masyarakat Ambon dinamakan monumen Doolan. Sedihnya, Doolan sendiri di negerinya belum diakui sebagai pahlawan. Sebab, orang-orang Australia --begitu ceriteranya -- tidak mempunyai saksi mata bagaimana gigihnya Doolan menghancurkan enam truk yang berisi tentara Jepang yang dia porak-porandakan. Akan Alec Chapman dan kawan-kawan, mempunyai nasib lain lagi. Dengan bantuan penduduk setempat, Chapman bersembunyi di hutan di pulau Ambon. Banyak rekan-rekannya yang mati di hutan karena lapar dan malaria. Ketika Jepang sudah melancarkan operasi sapu bersihnya di kampung dan hutan, penduduk menyarankan Chapman dan teman-temannya untuk pergi ke pantai barat. Chapman dan 12 orang tentara lainnya akhirnya berhasil meninggalkan pantai Amahusu di tengah malam berawan, 3 Pebruari, 1942, dengan sebuah perahu curian. Setelah dua hari mendayung, barulah mereka melihat sebuah pulau. Payah dan lapar, mendaratlah mereka di Titawai, pulau Nusa Laut. Di pulau inilah, nyawa mereka ditolong oleh penduduk pulau tersebut. Antara lain oleh tante Octovina Lokollo. "Ya, betul ini meester Chapman," seru si tante lagi kegirangan. Keduanya bertemu di Hotel Mutiara, Ambon. Chapman sendiri dengan susah payah mencari orang-orang yang pernah menolongnya. Dengan petunjuk sebuah foto tua yang telah menguning. Alec Chapman pun mengeluarkan foto tersebut dari kantongnya. Octovina meneliti foto tersebut. "Aa, ini beta, ini beta yang di tengah," ujarnya lagi. Dalam foto tersebut tampak tangan Chapman berbalut perban, pakai celana pendek compang-camping, berdiri bersama tiga gadis dari Titawai. Seorang di antaranya, Octovina Lokollo. Dua gadis yang lain, adalah kakak Octovina yang kini berada di pulau lain. "Mereka memberi kami makanan, saya diurut dan dirawat baik-baik," kata Alec Chapman dengan penuh haru. Baru kali itulah, Chapman berhasil bertemu dengan Octovina Lokollo kembali. "Padahal perbuatan ini sangat berbahaya untuk keselamatan mereka sendiri," tambah Chapman. "Ya, kalau salah bicara, Japang bisa iris beta pung leher," tambah Octovina, si nenek yang punya seorang cucu. Pernah, ketika akan mengambil makanan di Saparua, perahu mereka terbalik. Selain makanan, isi perahu adalah cat dan ter. Tumpahlah itu semua. Chapman tubuhnya penuh ter. "Beta tolong gosok kulitnya dengan kelapa santan," kata Octoyina, "lantas kita kikis bekas ter itu dengan kikis babi." Alec Chapman ketawa saja mendengarkan ceritera penolongnya itu. Setelah Chapman dan kawan-kawan kuat kembali, mereka harus merencanakan siasat lain lagi. Tidaklah aman. kalau mereka tetap tinggal di Titawai. Dan ketika waktu untuk pergi tiba, jadilah Chapman dan teman-teman angkat kaki dari Titawai. "Beta tahan supaya jangan pigl naik perahu," ceritera Octovina lagi, "sebab kapal udara Jepang ada di atas. Beta pikir, pasti mereka mati." Pada 8 Pebruari, Alec Chapman dan teman-teman berlayar meninggalkan Nusa Laut. Dua hari kemudian, perahu sampai di Amahae, pulau Ceram. Di situ mereka bersembunyi selama empat hari. Kemudian dilanjutkan lagi ke desa Gesar, di sebelah yang lain dari pulau Ceram. Berlayar lagi dan tanggal 25 Pebruari, mereka sampai di Tual, kepulauan Kai. Biarpun pelayaran penuh bahaya, lapar dan tidak ada obat untuk yang sakit, mereka toh harus angkat kaki dari Kai. Tanggal 1 Maret mereka tiba di Dobo, kepulauan Aru. Dari sini, angin membantu mereka ke Okaba, terus ke Wamal dan Merauke, Irian. Tempat teraman adalah Merauke, karena Jepang belum sampai di situ. Dengan mudahnya, mereka kemudian pergi menyeberang ke daratan Australia. "Saya menyampaikan terima kasih saya, juga keluarga saya, dan teman-teman saya," kata Alec Chapman dengan penuh arti. Octovina Lokollo menitikkan air mata. "Tuangala, Chapman. Beta kira dia so mati," kata Octovina berkali-kali. Kini telah jadi tradisi, para veteran Australia selalu datang kembali ke Ambon. Selain menjenguk kubur kawan-kawannya di Galala, Gull Force yang kini berbentuk yayasan (Gull Force Medical Project) membawakan obat-obatan dan alat-alat kedokteran. Hutang budi yang patut dibalas. Alec Chapman sendiri kini seorang insinyur. Untuk Octovina: Chapman memberinya sebuah kacamata. Octovina yang telah rabun ini gembira sekali mendapat "mata sambungan," karena dompetnya tidak memungkinkan untuk membiayai sebuah kacamata sekalipun. Henderina Lokollo juga memaksakan diri untuk bertemu kembali dengan Chapman. Dia tinggal di sebuah pulau di seputar pulau Ambon. Biarpun Henderina tidak bisa lagi jalan dengan tegak -- dan harus ditolon oleh dua tonSkat di ke tiaknya -- untuk Alec Chapman yang meester itu dibawakannya oleh-oleh. Setandan pisang tanduk dari kebun Henderina. Penolongnya yang lain, berhasil juga ditemui Chapman. Dia ini adalah Pak Tua Tomasoa, yang jadi penunjuk jalan ketika Alec Chapman dan temanteman dikejar Jepang. Nasib para penolong Chapman ini tidak banyak berobah. Hidup seperti biasa, di pulau terpencil, memetik sagu dan menjala ikan di laut. Yang berobah hanyalah usia mereka saja yang kian bertambah. Dan ini lebih menonjolkan kemiskinan yang mereka punyai. "Datanglah ke Titawai, meester Chapman," ujar Octovina Lokollo tenang. "Ya, datanglah," ujar Henderina, "di sana tidak banyak berobah dari keadaan 35 tahun yang lalu." Alec Chapman sambil manggut, tidak berkata-kata. Dia cuma tersenyum sambil merangkul Octovina dan Henderina dengan penuh sayang. Bagaikan takut kehilangan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus