SUDAH dua pelita ini kegundahan ahli ilmu sosial diIndonesia
belum juga terobati. Mereka mengeluh. Membangun, katanya, 'kan
untuk mencapai kemakmuran rakyat banyak. Kenapa kemakmuran cuma
diukur dengan tebalnya kantong? Buktinya, target pembangunan
selalu dinyatakan dengan kenaikan pendapatan nasional atau
nilai ekspor, cadangan nasional, dan lain-lain.
Mending kalau rata, keluhnya. Lalu ahli sosial itupun
menyodorkan bengkoknya teori kantong bolong (trickle down
theoy) dari Rostow. Mana ada uang dari kantong tebal si kaya
bisa menetes buat si miskin, cibirnya. Memangnya semua orang
pengikut Pak Sosro? Malah yang sesungguhnya terjadi -- seperti
dibilang Myrdal dan lain-lain si miskin yang terus dihisap
nlakin miskin.
Ahli ilmu sosial lebih setuju dengan teori akumulasi kantong
daripada teori kantong bolong. Di baju, dari satu menjadi dua
kantong dari dua menjadi empat kantong safari. Ee, masih
kurang ada yang menambah di lengan maupun di ketek. Di celana
pun, dari tiga, jadi empat saku. Ini pun dirasa kurang. Ditambah
pula di paha maupun di komprangan!
Teknokrat yang ekonom terbengong-bengong mendengar penjelasan
itu. Walau pun tak terucapkan dan tetap senyum lebar tanpa
suara, ia sesungguhnya bertanya dalam hati. Merencana 'kan mesti
mengukur, menghitung dan mereka-reka mau kita. Mempertemukan
kemampuan dan kemauan ini musti pakai angka kongkrit. Supaya
bisa dibikin program kongkrit pula.
Tetapi mengukur besaran sosial, seperti kegundahan, kebebasan,
rasa sumpeg, itu caranya bagaimana? Nah, di sini bertumpuk
karena tarik urat yang tak pernah habis. Sudah sepuluh tahun,
begini terus. Kalau tak segera ditengahi, bisa-bisa pada
sama-sama salah urat.
Mantri Ukur
Lalu dipanggillah mantri ukur sebagai dukun pencegah salah urat.
Namanya Statistisi. Untuk urusan ukur-mengukur dan
hitung-menghitung, memang itu pekerjaannya.
Sebelum memijit pun, si mantri ukur sudah dipesan wanti-wanti
oleh ahli ilmu sosial. Awas, jangan pakai nilai uang buat ukuran
kemakmuran. Juga tidak boleh mencampur adukkan kekayaan dengan
kerr.akmuran. Lain kaya, lain makmur, cetusnya.
Kemakmuran, kata kedua makhluk yang sedang bersepakat itu, mesti
diukur dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Cukup pangan,
cukup sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, kebebasan,
ketenteraman dan kenyarnanan hidup. Ini semua ubo rampen
(komponen) kemakmuran.
Kebiasaan ekonom, ngukur cukup makan, berapa ia belanja untuk
makan. Ini kurang tepat, kata ahli ilmu sosial. Mestinya yang
diukur berapa yang betul masuk perut dan jadi "daging". Bukan
yang nambahi kelebihan lemak atau harga ekstra untuk iklan
bungkus, merek dan status. Karena itu penunjuk (indikator)
jitu untuk cukup makan ialah zat kalori dan protein yang masuk
perut. Cukup sandang, bukan diukur dari harga baju yang dipakai.
Tetapi berapa stel pakaian pantas, yang bisa dibuat ganti.
Perumahan, bukan pengeluaran untuk bangunan atau sewa yang
aneh-aneh yang diukur. Banyaknya kamar perorang atau banyaknya
rumah perkeluarga. Lalu keadaan rumah tinggal yang dihuni
manusia beneran. Bukan bangunan untuk manusia di alam barzah.
Pendidikan, berapa anak umur sekolah yang tertampung berapa
yang putus sekolah, berapa banyaknya murid-murid rata-rata untuk
tiap guru yang ada. Kesehatan, berapa yang mati sebelum umur 50
tahun. Berapa yang mati karena penyakit infeki atau parasitis.
Itulah contoh-contoh ukuran penunjuk atau indikator bagi
komponen kemakmuran.
Skala Ordinal
Tetapi bagaimana mengukur kebebasan, ketentl-anian dan
kenyamanan hidup? Komponen kemakmuran yang ini memang tidak bisa
diukur dengan meteran, kiloan atau lusinan. Ketiganya itu cuma
bisa diukur dengan skala uruturutan (skala ordinal) saja.
Kebebasan misalnya, diukur dengan skala terendah, bila suasana
penuh tekanan, rasa takut, tak ada keleluasaan bicara atau
berfikir. Skala tertinggi, bila orang merdeka berfikir, menulis
atau berkumpul. Tak ada ancaman, tak ada teror, was-was sedikit
pun tidak.
Nan, keadaan di antara kedua nilai itu, bisa dibagi dalam urutan
sejumlah yang dikehendaki. Mau dua, tiga, empat, sepuluh atau
lebih, terseran saja.
Misalnya, baik sekali = 1, baik = 2, kurang = 3, jelek = 4. Jadi
yang kwalitatif pun, kata mantri ukur, kalau mau bisa saja kita
punya angka. Angka satu, bila jempolan banget, dua, bila
jempolan saja, tiga, hila kurang menggembirakan dan empat, bila
kelewatan jeleknya. Boleh saja sistim ini dipakai.
Strategi Basic Needs
Nah, kalau sudah punya angka buat semua ubo rampen kemakmuran.
itu pekerjaan sipil buat statistisi untuk menghitung indeks
kemakmuran. Yang penting sesudah ada indeks, lalu diapakan itu
angka.
Maunya ahli ilmu sosial si, muluk banget. Indeks inilah dasar
membangun dengan strategi kebutuhan dasar, katanya. Dengan
indeks terperinci buat tiap komponen, kita bisa arahkan
investasi pada sasaran jitu. Ada komponen kemakmuran yang
indeksnya kelewat rendah dari norma, itu yang digenjot. Bila
ketahuan suatu komponen ternyata menceng penjabarannya, itu yang
dibenahi.
Jadi azas keseimbangan dalam kehidupan yang sudah lima tahun
didengungkan, bisa dibikin operasionil. Tetapi itu semua 'kan
baru maunya ahli ilmu sosial. Barangkali juga teknokrat dan ahli
ilmu ekonomi akur dengan beberapa pertanyaan dan catatan.
Soalnya bagairnana maunya yang punya negara?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini