Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Indeks kemakmuran

Para ahli ilmu sosial tak sepakat bila kemakmuran diukur dengan kekayaan. kemakmuran harus diukur dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. setelah indikasi kemakmuran dicapai, dihitung indeks kemakmuran.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua pelita ini kegundahan ahli ilmu sosial diIndonesia belum juga terobati. Mereka mengeluh. Membangun, katanya, 'kan untuk mencapai kemakmuran rakyat banyak. Kenapa kemakmuran cuma diukur dengan tebalnya kantong? Buktinya, target pembangunan selalu dinyatakan dengan kenaikan pendapatan nasional atau nilai ekspor, cadangan nasional, dan lain-lain. Mending kalau rata, keluhnya. Lalu ahli sosial itupun menyodorkan bengkoknya teori kantong bolong (trickle down theoy) dari Rostow. Mana ada uang dari kantong tebal si kaya bisa menetes buat si miskin, cibirnya. Memangnya semua orang pengikut Pak Sosro? Malah yang sesungguhnya terjadi -- seperti dibilang Myrdal dan lain-lain si miskin yang terus dihisap nlakin miskin. Ahli ilmu sosial lebih setuju dengan teori akumulasi kantong daripada teori kantong bolong. Di baju, dari satu menjadi dua kantong dari dua menjadi empat kantong safari. Ee, masih kurang ada yang menambah di lengan maupun di ketek. Di celana pun, dari tiga, jadi empat saku. Ini pun dirasa kurang. Ditambah pula di paha maupun di komprangan! Teknokrat yang ekonom terbengong-bengong mendengar penjelasan itu. Walau pun tak terucapkan dan tetap senyum lebar tanpa suara, ia sesungguhnya bertanya dalam hati. Merencana 'kan mesti mengukur, menghitung dan mereka-reka mau kita. Mempertemukan kemampuan dan kemauan ini musti pakai angka kongkrit. Supaya bisa dibikin program kongkrit pula. Tetapi mengukur besaran sosial, seperti kegundahan, kebebasan, rasa sumpeg, itu caranya bagaimana? Nah, di sini bertumpuk karena tarik urat yang tak pernah habis. Sudah sepuluh tahun, begini terus. Kalau tak segera ditengahi, bisa-bisa pada sama-sama salah urat. Mantri Ukur Lalu dipanggillah mantri ukur sebagai dukun pencegah salah urat. Namanya Statistisi. Untuk urusan ukur-mengukur dan hitung-menghitung, memang itu pekerjaannya. Sebelum memijit pun, si mantri ukur sudah dipesan wanti-wanti oleh ahli ilmu sosial. Awas, jangan pakai nilai uang buat ukuran kemakmuran. Juga tidak boleh mencampur adukkan kekayaan dengan kerr.akmuran. Lain kaya, lain makmur, cetusnya. Kemakmuran, kata kedua makhluk yang sedang bersepakat itu, mesti diukur dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Cukup pangan, cukup sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, kebebasan, ketenteraman dan kenyarnanan hidup. Ini semua ubo rampen (komponen) kemakmuran. Kebiasaan ekonom, ngukur cukup makan, berapa ia belanja untuk makan. Ini kurang tepat, kata ahli ilmu sosial. Mestinya yang diukur berapa yang betul masuk perut dan jadi "daging". Bukan yang nambahi kelebihan lemak atau harga ekstra untuk iklan bungkus, merek dan status. Karena itu penunjuk (indikator) jitu untuk cukup makan ialah zat kalori dan protein yang masuk perut. Cukup sandang, bukan diukur dari harga baju yang dipakai. Tetapi berapa stel pakaian pantas, yang bisa dibuat ganti. Perumahan, bukan pengeluaran untuk bangunan atau sewa yang aneh-aneh yang diukur. Banyaknya kamar perorang atau banyaknya rumah perkeluarga. Lalu keadaan rumah tinggal yang dihuni manusia beneran. Bukan bangunan untuk manusia di alam barzah. Pendidikan, berapa anak umur sekolah yang tertampung berapa yang putus sekolah, berapa banyaknya murid-murid rata-rata untuk tiap guru yang ada. Kesehatan, berapa yang mati sebelum umur 50 tahun. Berapa yang mati karena penyakit infeki atau parasitis. Itulah contoh-contoh ukuran penunjuk atau indikator bagi komponen kemakmuran. Skala Ordinal Tetapi bagaimana mengukur kebebasan, ketentl-anian dan kenyamanan hidup? Komponen kemakmuran yang ini memang tidak bisa diukur dengan meteran, kiloan atau lusinan. Ketiganya itu cuma bisa diukur dengan skala uruturutan (skala ordinal) saja. Kebebasan misalnya, diukur dengan skala terendah, bila suasana penuh tekanan, rasa takut, tak ada keleluasaan bicara atau berfikir. Skala tertinggi, bila orang merdeka berfikir, menulis atau berkumpul. Tak ada ancaman, tak ada teror, was-was sedikit pun tidak. Nan, keadaan di antara kedua nilai itu, bisa dibagi dalam urutan sejumlah yang dikehendaki. Mau dua, tiga, empat, sepuluh atau lebih, terseran saja. Misalnya, baik sekali = 1, baik = 2, kurang = 3, jelek = 4. Jadi yang kwalitatif pun, kata mantri ukur, kalau mau bisa saja kita punya angka. Angka satu, bila jempolan banget, dua, bila jempolan saja, tiga, hila kurang menggembirakan dan empat, bila kelewatan jeleknya. Boleh saja sistim ini dipakai. Strategi Basic Needs Nah, kalau sudah punya angka buat semua ubo rampen kemakmuran. itu pekerjaan sipil buat statistisi untuk menghitung indeks kemakmuran. Yang penting sesudah ada indeks, lalu diapakan itu angka. Maunya ahli ilmu sosial si, muluk banget. Indeks inilah dasar membangun dengan strategi kebutuhan dasar, katanya. Dengan indeks terperinci buat tiap komponen, kita bisa arahkan investasi pada sasaran jitu. Ada komponen kemakmuran yang indeksnya kelewat rendah dari norma, itu yang digenjot. Bila ketahuan suatu komponen ternyata menceng penjabarannya, itu yang dibenahi. Jadi azas keseimbangan dalam kehidupan yang sudah lima tahun didengungkan, bisa dibikin operasionil. Tetapi itu semua 'kan baru maunya ahli ilmu sosial. Barangkali juga teknokrat dan ahli ilmu ekonomi akur dengan beberapa pertanyaan dan catatan. Soalnya bagairnana maunya yang punya negara?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus