Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Saya kok tidak bangga

Kemenangan pasangan duet hetty koes endang & adjie bandy dalam internasional festival pop song di tokyo tidak memberikan rasa bangga. ada isyu kemenangan diberikan secara bergilir dari negara peserta.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA saya membaca tentang kemenangan pasangan duet Hetty Koes Endang dan Adjie Bandy dalam International Festival Pop Song di Tokyo, saya kok tidak bangga. Iri hati. Jelas tidak. Ataukah saya sudah dilanda penyakit gawat yang bernama erosi patriotisme. Saya rasa juga tidak. Bukankah yang menang adalah penyanyi dan pencipta lagu putera dan puteri pribumi mumi? Yang jelas, saya tidak merasakan suatu perasaan sebagaimana ketika Rudy Hartono memenangi All England tujuh kali berturut-turut. Saat itu hidung saya terasa melebar, dada saya terasa menggelembung. Jangan tanya mengapa. Tetapi mengapa sekarang tidak? Bersumber berita koran, konon lagu berjudul Damai Tapi Gersang ciptaan Adjie Bandi Yang dinyanyikan duetis kita tersebut (yang kemudian jadi pemenang) adalah hasil seleksi Panitia Penyelenggara Internasional Festival Lagu Pop di Tokyo atas permintaan Panitia Festival di Indonesia. Membaca proses yang saya rasa unik ini, saya menjadi curiga (belum ada W atau Kepres yang melang orang curiga): Jangan-jangan pihak juri di Tokyo memenangkan lagu ciptaan komponis kita bertitik-tolak dari rasa 'kasihan' dan rasa rikuh, mengingat betapa nelongso dan ngoyonya kontestan Indonesia, sampai-sampai meminta tolong untuk memilihkan lagu yang akan diikutsertakan dalam Festival. Ataukah pada Festival tahun ini memang sudah sampai "giliran" peserta dari Indonesia jadi pemenang? Pernah saya baca (benar atau tidak) isyu bahwa kemenangan Festival Internasional Lagu Pop di Tokyo diberikan secara bergilir dari negara peserta. Semacam "arisan" juara, begitulah. Bahkan dicurgai Festival tersebut berbau bisnis. Kedua. Saya tidak habis pikir mengapa para seniman kita yang tergabung dalam Tim Juri Tingkat Nasional Indonesia sudah kehilangan sedemikian besar harga diri. Dern tidak malu-malu meminta restu atas lagu yang akan dikirimkan ke Festival dari Panitia Tokyo sana. Menyesuaikan selera? Amboi, bukan main. Demi sebungkah logam yang bernama pialadan setumpuk kertas yang bernama dolar para seniman lagu kita terpaksa melacurkan selera. Tiga setengah tahun Jepang memeras secara fisik bangsa kita. Setelah Kemerdekaan, berobah bentuk dengan pola dominasi di bidang ekonomi dengan ditandai oleh bersimaharajalelanya barang buatan Jepang di pasaran Indonesia. Dan . kini. A mitmit jahang bayi. Para musisi secara sadar mengorbankan prinsip hidup yang konon merupakan kebanggaan di kalangan seniman apa pun, menyerah tanpa syarat terhadap selera Yang Dipertuan di Tokyo. Moga-moga ini hanya terjadi sekali saja. Tapi siapa tahu. MADE D. MANDRA Jl. Padang Baru Barat X/8, Padang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus