KUCING-KUCING Popo Iskandar muncul lagi di Ruang Pameran TIM, 2
s/d 7 Desember. Ini bermacam kucing dari periode 1963 sampai
kini. Setelah 14 tahun menggauli kucing, Popo agaknya memerlukan
meninjau kembali apa yang bisa dihasilkannya lewat binatang yang
dianggapnya misterius itu.
Selain kucing ada juga bunga, bambu, salju, banteng, air terjun,
pantai, penari Bali, sosok wanita, dan wajah Ajip Rosidi.
Juduljudul non-kucing ini hanya merupakan ganjal -- mungkin
dikerjakan sebagai selingan. Sebenarnya agak mengganggu
keutuhan, tetapi toh dapat menolong menjelaskan bahwa Popo
sebenarnya tidak hanya ingin melukis kucing.
Pemberontakan
Untuk melukis yang bukan kucing lewat tubuh kucing, harus
dibuktikan bahwa kucing sebagai gejala fisik sudah dapat
diselesaikan. Ini telah dibuktikan Popo dengan beberapa buah
lukisan periode 60-an. Di sana kita melihat anatomi,
setidak-tidaknya kita tidak keliru bahwa kucing itu kambing atau
monyet. Popo menampilkan sosok dengan mendramatisir komposisi,
sehingga kita mulai diberi isyarat bahwa ia memang bertujuan
mengungkapkan lebih dari penguasaan anatomi.
Kemudian pada kanvas-kanvasnya yang besar terjadi
penyederhanaan: perombakan -- kadangkala pengingkaran -- pada
bentuk kucing yang sebenarnya. Yang muncul adalah gerak,
sifat-sifat emosi serta kemahiran teknis. Kita dibuat percaya
bahwa Popo telah berhasil membebaskan dirinya lewat kucing. Kita
melihat kanvas sebagai catatan emosi: ia membangun suasana serta
menghasilkan puisi-puisi yang mencoba menembus misteri. Dalam
hal ini kucing hanya jalur yang kebetulan terpilih, karena
kucing sebenarnya tidak pernah tampil lagi. Popo tidak hadir
sebagai seorang penyayang binatang.
Sebagai bentuk, beberapa garis atau titik yang dibubuhkannya
dengan cepat kadangkala dapat dengan tepat menampilkan kucing.
Tetapi sering bentuk kucing hanya ada dalam fikiran Popo: yang
muncul adalah bidang-bidang hitam, warna-warna putih yang
gemetar, serta beberapa torehan garis yang seharusnya tidak
perlu dicari-cari kekucingannya. Pada saat ini kucing hanya
menjadi jendela untuk mengungkapkan suasana-suasana tertentu
yang lebih merupakan milik hidup.
Popo telah menemukan satu dunia di mana ia kelihatan amat bebas
tanpa kentara melakukan pemberontakan. Maka sepintas lalu Popo
tetap seorang pelukis konvensionil, figuratif, padahal
sesungguhnya ia telah menjadi abstrak.
Penjara
Kelanjutan pembebasan Popo pada bentuk kucing adalah mekanisme
baru: ia mulai perlahan-lahan di penjara. Ini terjadi manakala
ia mulai ingin bermain dengan warna. Kucing-kucingnya yang
bergelimang warna, sebenarnya tidak mengkhawatirkan karena
mendekali lukisan Karel Appel -- tetapi karena kehilangan
spontanitas dan kecemerlangan. Kadangkala ia menjadi amat manis
dan atraktif, dengan keasyikan menata warna dalam bidang-bidang
yang mengambil disiplin bentuk kucing. Kita hampir melihat
lukisan Popo menjadi dekoratif dan ornamentik.
Di sana misteri jadi luntur, dan lukisan yang ingin menembus
terbentur pada bentuk kembali. Puisi pun kehilangan tenaga: kita
terpaksa berhubungan kembali dengan kucing, baik matanya yang
mencorong hijau, punggungnya yang suka melengkung atau kumisnya
yang kucing. Adakalanya kita menangkap sesuatu yang lugu, naif,
sebagaimana kita menonton lukisan Klee. Tapi pembebasan bentuk
telah kembali lagi pada bentuk.
Secara teknis betapa kuatnya sapuan Popo. Ia mahir dalam warna.
Pintar memilih saat dan sudut pandangan dramatik.
Pengungkapannya puitis. Tapi tiba-tiba, melihat kucing-kucingnya
yang begitu leluasa berkembang-biak, kita seperti dipaksa
percaya bahwa dia sengaja mengulang-ulang sesuatu supaya orang
faham itu bobot, bukan kekurangan problematik. Di sinilah
kemudian penting arti lukisan yang mengambil subyek lain.
Misalnya lukisan kecil-kecil bernama Bambu I dan Bambu II
Lukisan air terjun Curug serta lukisan Baneng Sepanyol --
sebagian karya yang saya anggap segar dan berhasil.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini