KETIKA Nurcholish Madjid, di awai 1970-an, melontarkan ide pembaruan pemikiran dalam Islam (dan ia, waktu itu, tak lupa menyebut kata sekularisasi yang kini dirumuskannya dengan istilah: desakralisasi), para pendekar tua langsung menudingnya sebagai anak muda yang salah kaprah. Betulkah Cak Nur, begitu panggilan akrab Nurcholish, salah kaprah? Ternyata, diperlukan waktu 15 tahun lebih untuk membuktikan bahwa kita memang memerlukan pembaruan pemikiran itu, apa pun isinya. Buktinya, kini, orang tak takut-takut lagi menyatakan keislamannya tanpa dikait-kaitkan dengan ide negara Islam atau partai Islam. Sejak Cak Nur menggebrak, perubahan memang terjadi banyak. Masjid, langgar, dan surau kembali ramai dikunjungi orang, terutama generasi muda Islam. Pengajian di rumah-rumah, dengan mengundang penceramah agama, menjadi mode. Bahkan, pada Ramadan lalu, salat tarawih tak cuma diadakan di rumah-rumah ibadat yang biasa kita kenal, tapi juga di Hotel Mandarin, Jakarta. Bagi kami, ide pembaruan pemikiran yang dilontarkan Cak Nur bukan sesuatu yang mengagetkan dan salah kaprah, maka perlu disiarkan secara luas. Adalah Reporter Ahmad Wahib (salah seorang pemberi masukan bagi ide pembaruan Cak Nur, dan sayang berumur pendek - meninggal karena ditabrak motor pada 1973) dan Syu'bah Asa yang menulis dan merumuskan pemikiran-pemikiran pembaruan itu di TEMPO meski masing-masing dengan pandangan yang tak selalu sama. Selama 15 tahun, tak kurang dari empat kali kami menurunkan Laporan Utama (dan belasan artikel biasa) tentang pembaruan pemikiran dalam Islam itu. Dua pekan lalu, untuk menyiapkan Laporan Utama kali ini, kami mengundang Cak Nur berdiskusi di ruang rapat TEMPO. Dalam diskusi selama tiga jam yang dipimpin oleh Syu'bah Asa, penulis cerita utama Laporan Utama ini. Cak Nur didampingi Utomo Dananjaya dan Djohan Effendi dua tokoh muda penyokong ide pembaruan pemikiran dalam Islam. Setelah berdiskusi dengan Cak Nur, Syu'bah Asa menguji pemikiran-pemikiran yang muncul dengan Menteri Agama Munawir Sjadzali, di tempat kediaman Menteri, selama tiga jam lebih. Sementara itu, Salim Said, penulis cerita kedua, bersama Musthafa Helmy, masih menguntit Cak Nur ke rumahnya, dan berdiskusi lagi - juga hampir tiga iam. Sedankan Agus Basri ditugasi mengikuti ceramah Cak Nur di rumah Kolumnis TEMPO Soetjipto Wirosardjono, dan Rini P.W.I. Asmara di Hotel Mandarin - semuanya di Jakarta. Reaksi pemikiran yang dilontarkan Cak Nur juga dilacak A. Luqman, Toriq Hadad, serta sejumlah wartawan di Biro Jawa Barat dan Biro Yogya, lewat kelompok-kelompok studi Islam di empat kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini