Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah granat di hutan sarelan

Prada sriyanto divonis 5 tahun penjara. terbukti menggranat kopda sudiono hingga tewas ketika sedang memadamkan kebakaran hutan di tim-tim. terdakwa mengaku mau membunuh hartoyo bukan sudiono. (nas)

14 Juni 1986 | 00.00 WIB

Kisah granat di hutan sarelan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SUATU pagi di hutan Sarelan, Los Palos, Timor Timur. Adalah satu regu yang dipimpin oleh Serda Hartoyo tengah patroli. Tiba-tiba terlihat api menjalar di suatu bagian hutan. Komandan regu itu segera memerintahkan anak buahnya siaga, lantas mengamankan rute yang akan dilalui. Anggota regu yang 10 orang itu pun membentuk formasi siaga. Tapi Prada Sriyanto, entah mengapa, mendekati sang komandan, dan meminta izin berpindah posisi di sebelah kiri. Tak lama kemudian, terdengarlah suara granat meledak. Dan terkaparlah Kopda Sudiono dengan luka parah, dan akhirnya meninggal. Apa yang terjadi? Ternyata, itu bukan serangan Fretilin atau Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK). Mahkamah Militer Yogya-Surakarta, dua pekan lalu, memutuskan Kopda Sudiono meninggal karena granat yang diledakkan oleh Prada Sriyanto. Anggota kesatuan Yonif 408/BS, Sragen, Ja-Teng, itu divonis 5 tahun penjara, dan dipecat dari dinas militer. Di muka hakim, Prada Sriyanto, 24, berterus terang, bahwa pagi hari 18 Agustus 1984 itu, ia sebenarnya berniat membunuh Serda Hartoyo, komandan regunya. Tapi, granat yang dilemparkannya mengenai ranting sebuah pohon, lalu bergeser ke arah Kopda Sudiono dan Pratu Mawardi. Yang terakhir ini hanya mengalami luka punggung, akibat pecahan granat. "Ledakan itu berasal dari arah belakang saya," ujar Hartoyo, komandan regu itu, di muka sidang. Hartoyo segera memerintahkan semua anak buahnya berlindung. Dan ia lalu mengontak komandan peleton untuk menembak medan-medan yang mencurigakan. Tapi Sriyanto, yang sudah lima bulan bertugas di Timor Timur itu, bukannya berlindung. Ia menyempatkan diri mendekati korban. Lulusan SMEA yang masuk ABRI tahun 1982 itu lalu menukar rim kopelnya yang tak bergranat lagi dengan rim kopel milik Sudiono yang luka parah. "Agar tidak ketahuan sayalah yang melempar granat, katanya di Mahmil. Karena bergegas, rupanya, Sriyanto tak sempat mengancing rim kopel di tubuh Sudiono. Komandan Hartoyo, setelah memeriksa tubuh Sudiono, segera curiga. "Granat Sudiono tidak ada, sedang kopel rimnya terbuka. Padahal, Sriyanto yang pertama kali menolong Sudiono," kata Hartoyo. Fakta itu dibenarkan oleh Pratu Mawardi. Dalam setengah sadar, kala itu, ia katanya melihat Sriyanto yang berusaha menukar rim kopel Sudiono. Kesaksian ini juga dikuatkan oleh anggota regu yang lain, Kopda Sumardi. Mengapa Sriyanto melemparkan granat itu? "Saya memang sengaja ingin membinasakan Danru (Komandan Regu) Hartoyo, katanya berterus terang. Niat buruk itu, katanya, tidak direncanakan sebelumnya. "Niat itu timbul pada saat patroli," kata bujangan ini yang pernah kursus infanteri di Klaten, Ja-Teng. "Sehari-hari Hartoyo sering menyakiti hati saya," katanya. Menurut Ketua Majelis Hakim Letkol CKH Hidayat, S.H., ini gara-gara Hartoyo sering menyanyl dengan lirik yang mengejek Sriyanto. Isinya: Satu angkatan, kok pangkat berbeda. Keduanya memang masuk tentara dalam satu angkatan. Mereka sama-sama mendapat pendidikan di Gombong selama empat bulan. Tapi, akhirnya, Hartoyo lebih dulu naik pangkat, lalu menjadi komandan regunya kala bertugas di Timor Timur. Tapi Hartoyo membantah bahwa ia suka melecehkan Sriyanto. "Dalam bentuk apa pun, saya tidak pernah berselisih dengan Sriyanto," katanya di sidang. Bantahan ini diperkuat oleh anggota regu yang lain. Semua bantahan ini menimbulkan kecurigaan, boleh jadi Sriyanto memang bermaksud membunuh Sudiono. Jadi, keterangan bahwa granat itu mengenai ranting lalu melenceng arah tidak benar. "Tapi sulit membuktikannya, karena Sudiono sudah meninggal," kata Letkol Hidayat. Apa pun motivasi Sriyanto melemparkan granatnya, hukuman penjara 5 tahun dan memecat dari dinas militer dipandang setimpal oleh Hakim. Memang, Oditur menuntut Sriyanto dihukum 8 tahun penjara. Keringanan hukuman itu diberikan, karena ia berterus terang. "Kecuali itu, tugas di medan membikin jenuh, sehingga membuat orang mudah tersinggung," kata Hidayat dalam pertimbangannya Sriyanto sendiri dengan spontan menerima hukuman itu. "Saya menerimanya, dan saya menyesal," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus