Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang berdoa waktu pemilu

Bbrp pesantren di ja-bar, seperti pesantren gentur, cianjur, pimpinan k.h. abdullah enoch, pesantren benda, cirebon pimpinan k.h. mas'ud, dan yang lainnya tak mau memilih dalam pemilu. mereka hanya berdoa. (nas)

14 Juni 1986 | 00.00 WIB

Yang berdoa waktu pemilu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PERNAH mendengar pesantren Golput? Sebutan itu, agaknya, kurang tepat. Tapi inilah potret pesantren yang, secara politis, bersikap unik. Yakni, di hari pemilu, Pak Kiai dan para santri tak pergi ke tempat pencoblosan suara. Mereka tinggal di masjid saja, dan berdoa, agar pemilu sukses. Itulah, misalnya, sikap K.H. Abdulhaq Enoch, 66. Pimpinan Pesantren Gentur, yang terletak di Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Cianjur, itu bahkan telah bersikap demikian sejak Pemilu 1955. Empat kali sudah pemilu berlangsung di negeri ini dan sebanyak itu pula Pak Kiai tidak menggunakan hak suaranya. Dan akhir bulan lalu, masa pendaftaran pemilih untuk Pemilu 1987 sudah selesai di Desa Jambudipa. Toh, sikap Kiai Enoch itu katanya, hingga kini tak berubah. Ia enggan mendaftarkan diri. Ayah sebelas anak0+ itu sudah tegas tak akan pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) pada Pemilu 1987 mendatang. "Ini berlaku untuk kami sekeluarga, juga untuk semua santri di pesantren ini," ujarnya. Pesantren Gentur kini memiliki sekitar 100 santri yang belajar di situ. Mereka umumnya berasal dari Ja-Bar, DKI Jakarta, dan ampung. Inilah pesantren yang mendasarkan pendidikannya pada ilmu tasawuf. Di dinding ruang tempat Kiai Enoch menerima tamu, bertengger gambar bulan dengan tiga bintang, dengan latar belakang warna putih. Tiga bintang berarti Iman, Islam, Ihsan. Adapun bulan, kata Kiai Enoch, merupakan bendera Islam yang pertama ketika Nabi Muhammad hijrah. "Ini hanya ciri saja untuk membedakan dari pesantren yang lain," katanya. "Dan latar belakang putih itu tidak ada hubungannya dengan Golongan Putih," tambahnya dengan tersenyum. Memang, kendati ia mewajibkan keluarganya serta santrinya tak memilih, sikap itu tidak berlaku untuk penduduk di sekitar pesantren. "Saya tidak mengajak penduduk atau jemaah Gentur untuk bersikap sama seperti saya. Itu terserah mereka," katanya. Mengapa Kiai tak memilih? Pemilu itu baik, katanya. Tapi, selalu menimbulkan perselisihan. Ada saling ejek, saling fitnah, yang tak jarang menimbulkan perselisihan. "Kami tidak ikut pemilu semata-mata karena kami ingin damai. Dan itu sesuai dengan ajaran Islam," katanya. Karena itu, hak suara tak akan digunakan, bahkan mendaftar pun tidak. Tapi Kiai Enoch menolak keras jika dinilai sebagai tidak menyukseskan pemilu. "Kami tetap berusaha menyukseskan pemilu," katanya. Caranya? "Pada waktu pemilu berlangsung, kami berdoa di masjid, agar pemilu berjalan aman, tertib, sehingga hasilnya terpilih pimpinan negara yang diharapkan seluruh bangsa Indonesia." Sikap itu sudah berkali-kali dijelaskan kepada para pejabat. Hasilnya? "Mereka mengerti," kata Kiai Enoch. "Itu sudah menjadi keyakinan yang hampir tak mungkin diubah," kata Ir. Arifin Joesoef, Bupati Cianjur. "Jadi, lebih baik dibiarkan saja, sepanjang tidak merugikan negara, atau menghasut untuk tidak ikut pemilu," tambah Bupati. Lagi pula, menurut Bupati, sehari-hari Kiai ikut serta dalam berbagai kegiatan pembangunan. "Jadi, punya potensi, dan tidak eksklusif," kata Bupati, yang mengaku sudah tiga kali bertukar pikiran dengan Kiai Abdulhaq Enoch. Memang, kecuali keluarga Kiai Enoch dan para santri, semua penduduk Desa Jambudipa yang memiliki hak suara sudah mendaftar untuk menjadi pemilih pada Pemilu 1987. Itu pulalah yang terjadi pada Pemilu 1982. Tapi, ketika saat pencoblosan, ternyata "TPS di Kampung Gentur boleh dibilang kosong," ujar Sutrisna, seorang anggota Panitia Pendaftaran Pemilih. Di Wilayah Cianjur, sedikitnya ada tiga lagi pesantren yang bersikap sama dengan Pesantren Gentur. Bahkan, di desa Walangsari, Kecamatan Kalapanunggal, 60 km dari Sukabumi, terdapat pula K.H. Munawir yang juga sejalan dengan Kiai Enoch. Meski tak mencoblos, Kiai Munawir tak mempngaruhi lingkungannya. Maka, pada Pemilu 1982 lalu, dari sekitar 2.000 pemilih di desa Walangsari, hanya 30 orang yang tak menggunakan hak suara. Tak mencoblos di kala pemilu juga menjadi sikap K.H. Mas'ud, 63. Pimpinan Pondok Pesantren Benda, Kelurahan Argasunya, Cirebon Selatan, ini menganut aliran tasawuf Syathariah. Inilah sekte mistik yang diciptakan oleh Syaikh Syathari. Ada sekitar 250 orang santri yang belajar di pesantren ini. Dan Pak Kiai, uniknya, menabukan mereka mendengarkan radio dan menonton teleisi. "Itu bukan kebutuhan pokok, dan hanya menghabiskan waktu saja" katanya. "Padahal Rasulullah, waktunya habis untuk beribadat, dari pagi sampi pagi," tambahnya. Pesantren Benda, menurut Ki Mas'ud, adalah pondok yang netral dan bebas. "Itulah ajaran orangtua saya, agar tidak mengenal partai atau golongan apa pun," katanya. Sikap inilah pula yang menjadi landasan mengapa ia tak ikut mencoblos dalam pemilu. "Pemilu itu 'kan pada dasarnya bebas dan rahasia. Tidak boleh memaksa, dan tidak boleh menakut-nakuti," katanya. Kiai memandang penting rasa aman bagi keluarga, para Santri, dan peduduk desa. Karena itu, "Jangan sampai ada pertentangan dalam penyelenggaraan pemilu," tambahnya. Berbeda dengan Kiai Enoch, Kiai Mas'ud telah mendaftarkan diri selaku pemilih. Tapi, ia tak akan menggunakan hak pilihnya, dan ia tidak pernah menganjurkan suatu apa pun tentang pencoblosan. "Sesuai dengan peraturan pemerintah, pemilu itu bebas dan rahasia," katanya lagi. Pada Pemilu 1982 lalu, menurut Kiai Ms'ud, di Desa Benda, Golkar mendapat 9 Suara, PPP 6 suara dan PDI 3 suara. Tetapi lebih seratus orang tidak menggunakan hak suara, dan seratus orang lagi tidak memilih di desa itu. Menurut sebuah sumber, pada Pemilu 1977, tak seorang pun di desa itu yang menggunakan hak suara. Bersikap "diam" pada setiap pemilu juga dilakukn H. Abdullah Muhamad 55, pendiri dan pimpinan Pesantren Cibedug, Kecamatan Ciawi, Bogor. "Sikap diam saya ini mepunyai dasar yaitu suatu hadis Rasul," katanya. Isinya, kurang lebih, Akan datang pada umat kami (umat Muhammad) satu zaman di mana zaman itu seluruh rakyat diharuskan memilih oleh negaranya. Siapa yang datang (yang hidup) pada zaman itu, hendakya jangan memilih dan jangan juga menentang atau melawannya (kepada negaranya itu)," begitu H. Abdullah Muhamad menjelaskan. Hadis itu, katanya tercantum dalam kitab "Jami 'ush Shghier", Bab Sin. Itu hadis tak populer. Selama ini tak seorang ulama pun pernah meyinggungnya. Tapi, dengan sikapnya itulah, ia lalu dikenal sebagai kiai Golput. "Saya tidak peduli dengan adanya sebutan Golput bagi diri saya, "kata Abdullah Muhamad. "Yang penting saya tidak menganggu keamanan negara." Meski tak menggunakan hak suara, ia mengatakan tidak pernah menganjurkan murid-muridnya agar tidak memilih. "Jangankan pada santri-santri, kepada anak dan istri pun saya tidak pernah menyuruh atau memaksa mereka tidak memilih," katanya. Yang benar ialah, "Saya hanya menyodorkan kepada mereka tentang adanya hadis Rasul tadi." Namun, pimpinan Pesantren Cibedug ini berpendapat, kehidupan agama dan politik bertolak belakang. Keduanya sulit dipersatukan. "Sebab, dalam politik tidak dikenal hukum halal atau haram. Untuk mencapai tujuan, orang tidak segan-segan membunuh saudara atau orangtua sendiri," katanya. Salah satu kontestan pada Pemilu 1982, katanya, pernah berniat memberikan sumbangan dana untuk Pesantren Cibedug. Tapi ia menolaknya. Daripada disumbangkan ke pesantren, "Uang negara itu lebih baik untuk membangun sarana yang banyak manfaatnya untuk umum. Misalnya, membangun jalan desa," kata Abdullah Muhamad. Abdullah Muhamad mengatakan telah mendaftarkan diri sebagai calon pemilih pada Pemilu 1987. Ini bukti, katanya, bahwa ia ingin agar pemilu lancar. "Tapi, perkara nanti mau nyoblos atau tidak, itu 'kan terserah ya," katanya. Sikap ini tidak mengkhawatirkan Jaya Hasan, Kepala Desa Cibedug. "Sebab, sampai kini Kiai tidak pernah berbuat yang merugikan pemerintah, atau yang mengganggu jalannya pemilu," kata Lurah Hasan. Ketua MUI Bogor, Abdurachman Amir, menilai "secara politis tidak ada yang membahayakan." Sejak dahulu, katanya, selalu ada kiai yang mengharamkan politik. "Mereka tidak menyukai partai-partai politik," katanya. Sikap tak mencoblos itu, "Bukan didorong perasaan benci, tapi karena pemahaman yang kurang," kata Amir. Saur Hutabarat laporan Biro Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus