Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Jumlah Wakil Rakyat

Jumlah provinsi dan kabupaten bertambah pada Pemilu 2024. Haruskah anggota DPR juga bertambah?

5 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumlah Wakil Rakyat

DENGAN bertambahnya jumlah provinsi di Indonesia dari 34 menjadi 38, jumlah kursi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bertambah dari 575 menjadi 580 kursi. Demikian juga kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bertambah dari 136 menjadi 152 kursi atau sama dengan empat kursi di setiap provinsi. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah gabungan DPR dan DPD dengan jumlah kursi sebanyak 732. Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data 2022 adalah 275,4 juta orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena Indonesia dianggap negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia, ada baiknya kita bandingkan jumlah wakil rakyat dengan dua negara demokrasi terbesar di dunia, yaitu India dan Amerika Serikat. Terlihat bahwa jumlah wakil rakyat di Indonesia sangat berlebihan apabila dibandingkan dengan rasio jumlah penduduk yang diwakili.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumlah penduduk India berdasarkan data 2022 sebanyak 1,38 miliar. Di India, wakil rakyat terbagi menjadi dua dewan, yaitu Lhok Shaba (Majelis Rendah) dengan jumlah kursi 543 dan Rajya Shaba (Majelis Tinggi) dengan jumlah kursi 250. Parlemen India yang disebut dengan Sansad adalah gabungan dari Lhok Saba dan Rajya Shaba dengan jumlah kursi 793. Jumlahnya hanya sedikit lebih banyak dibanding di Indonesia, padahal jumlah penduduk India kurang-lebih lima kali lipat Indonesia.

Jumlah penduduk di Amerika Serikat berdasarkan data 2022 adalah 332,8 juta orang. DPR mempunyai kursi sebanyak 435 dan Senat mempunyai 100 kursi mewakili 50 negara bagian, atau setiap negara bagian mempunyai dua senator. Apabila digabung menjadi Kongres berjumlah 535 kursi. Amerika Serikat mempunyai jumlah penduduk lebih banyak dari Indonesia, tapi jumlah wakil rakyat yang dimiliki jauh lebih sedikit, karena berbeda hampir 200. 

Jumlah wakil rakyat yang demikian banyak di Indonesia tidak diimbangi dengan kualitas kinerja yang bisa memenuhi harapan sebagian besar rakyat yang memilih mereka menjadi wakil. DPR, sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang, tingkat produktivitasnya rendah. Belum lagi menyangkut kualitas undang-undang, karena ada saja yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran DPR sebagai lembaga pengawasan roda pemerintahan juga tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Bahkan sebutan sebagai tukang stempel terhadap hampir semua kebijakan pemerintah akhir-akhir ini kembali populer. Belum lagi kelemahan dalam menyerap aspirasi dan memenuhi kebutuhan rakyat. 

DPD lebih banyak diam dan jarang terdengar kiprahnya. Padahal DPD sama dengan senat di Amerika Serikat. Peran mereka lebih sering dikecilkan oleh saudara tuanya, yaitu DPR. Keberadaan DPD sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Seharusnya DPD menempatkan diri sejajar dengan DPR agar tidak tenggelam dan seperti dianggap tidak ada. Akibat hal ini, banyak pernyataan dari tokoh politik dan masyarakat yang meminta DPD dibubarkan saja.

Efektivitas dan produktivitas kerja para wakil rakyat bukan diukur dari jumlahnya, melainkan dari kualitas kinerja. Makin banyak jumlah wakil rakyat, makin besar jumlah uang rakyat harus dikeluarkan oleh negara untuk menanggung segala tunjangan dan fasilitas fantastis yang diterima oleh para wakil rakyat.

Daripada menambah jumlah wakil rakyat, kenapa tidak menata ulang daerah pemilihan agar tercipta rasio yang lebih realistis dan seimbang? Bahkan tidak tertutup kemungkinan jumlah kursi wakil rakyat bisa dikurangi agar selaras dengan rasio jumlah penduduk. Sebab, pada saat ini, sebuah kursi di Pulau Jawa harganya berkali-kali lipat dibanding kursi di luar Pulau Jawa. Diperlukan kemauan politik semua pemangku kepentingan untuk memperbaiki sistem daerah pemilihan agar Indonesia punya perwakilan rakyat yang merata dan berkualitas.

Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat


Belanja di Lazada

PADA 19 Mei 2020 saya memesan dua telepon seluler bermerek Oppo di Lazada dengan sistem pembayaran lebih dulu. Tapi sampai hari ini pesanan saya tidak pernah saya terima. Saya telah membuat laporan polisi pada 22 Juni 2020, tapi baru diperiksa untuk dimintai keterangan di Kepolisian Sektor Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 31 Mei 2021. 

Sewaktu kami mendatangi kantor pusat Lazada pada 2 Juni 2020, telah berkumpul ratusan korban lain. Semuanya sudah membuat laporan polisi. Bisa dibayangkan berapa banyak korban lain dari seluruh Indonesia. Ke mana lagi saya harus mengadu?

Usnelli Agus Piliang
Bekasi, Jawa Barat

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus