PARA panelis Kuiz Aneka TVRI beberapa pekan lalu terkecoh.
Mereka menebak wanita itu pembuat jas hujan. Tapi ternyata
Nyonya Tjut Kusniwolty, wanita itu, adalah seorang wiraswasta
yang membuat jaket penyelamat di laut (life jacket).
Kecuali membuat jaket penyelamat, ternyata ia juga membuat
bermacam-macam peralatan untuk penyelamatan lainnya: rakit
penyelamat, pelampung bundar dan bendera isyarat untuk keadaan
darurat di laut. Barang-barang itu dijajakan di tokonya
berukuran 5 x 9 meter di Jln. Cengkeh, Jakarta Kota. Sedang
lantai atas tokonya ia jadikan tempat membuat alat-alat itu.
Seluruhnya ada 20 orang pembantu saya," kata Ny. Tjut
Kusniwolty, 34 tahun. Tapi hanya 6 orang saja yang setiap hari
kelihatan sibuk di Jalan Cengkeh itu. "Selebihnya, pekerja
borongan di rumah masing-masing, yaitu para penjahit," katanya.
Sebelum menyajikan dagangannya di show room, barang-barang itu
diproses melalui beberapa tahap. "Mula-mula kami bagikan
pekerjaan kepada para penjahit," tutur Tjut. Sementara bagian
kulit yang terbuat dari kain parasit itu diborong tukang jahit,
anak buahnya menyiapkan styrophor, semacam karet busa putih yang
sangat ringan, sebagai isinya.
Styrophor mempunyai sifat gampang terbakar dan mencair bila
tersentuh minyak. Sebelum dimasukkan ke kain yang disiapkan
penjahit, bahan itu harus dibungkus dengan plastik tahan minyak.
Prosesnya hampir sama untuk jaket, rakit dan pelampung
penyelamat.
Pahlawan Wanita
Sampai sekarang, styrophor yang diimpor dari Jerman Barat itu
menjadi bahan pengisi paling ringan, sangat mudah dibentuk dan
dipadatkan. Sebelumnya, pernah dicoba memakai isi kapas atau
kayu gabus. "Kami mulai membuatnya dari gabus, tapi hasilnya
kurang bagus," kata Ny. Tjut Kusniwolty.
Yang merintis pembuatan alat-alat penyelamatan di laut itu
adalah suaminya, Teuku Noerdin, pedagang tenda yang mengawininya
1963. "Kami mulai membuat setelah mendapat izin dari Departemen
Perhubungan Laut (Depperla) 1964," katanya. Bisnis yang dirintis
suami istri ini tidak lancar pada awalnya. "Sebelum mendapat
izin, barang-barang itu harus dites dahulu. Kami harus menunggu
lama sekali prosesnya," katanya.
Pada mulanya, pembuatan alat-alat penyelamat itu ditangani
suaminya. Sayang, sebelum perusahaannya tumbuh subur, Teuku
Noerdin, suaminya, mendadak meninggal pada 1977.
Tentu saja musibah itu membuatnya kalang kabut. "Perusahaan
hampir tidak tertolong lagi," kata nyonya yang mempunyai hobi
merenda itu, "padahal waktu itu, kami sudah mulai membuka cabang
di Surabaya. Terpaksa saya tutup kembali, karena tidak sanggup
mengurusnya."
la canggung berdiri sendiri, apalagi meneruskan usaha suaminya.
Lagipula, "masa kan seorang wanita Aceh kerja sendiri sebagai
pedagang," katanya. Tapi seorang pamannya memberi nasihat.
"Ingat. Aceh kan pernah punya pahlawan wanita yang berani maju
berperang," kata sang paman. "Dan sekarang, saya sudah terbiasa
mengurus semuanya itu," tambah Ny. Tjut Kusniwolty, putri bekas
pegawai gubernuran di Banda Aceh yang sempat menginjak kelas 2
SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Putri) itu.
Sekarang, perusahaannya mulai berkembang. "Saya juga harus giat
belajar, terutama supaya bisa merencanakan modelnya," katanya.
Ternyata pekerjaan merancang model alat-alat penyelamat itu
tidak sulit. "Sebab sudah ada ketentuan dari Departemen
Perhubungan," katanya. Sehingga ia tinggal memerintahkan anak
buahnya mengerjakan sesuai dengan polanya.
Walau setiap hari ia membayar buruhnya, tidak setiap hari datang
pembeli jaket dan pelampung penyelamat ke tokonya. Tapi April
dan Oktober adalah bulan-bulan panen bagi pedagang jaket dan
pelampung penyelamat. "Pada bulan-bulan itu, perusahaan
pelayaran selalu mengganti pelampung dan jaket penyelamat,"
tutur Tjut. Sebab dalam jangka waktu paling lama 6 bulan, warna
yang oranye menyala pada alat penyelamat itu sudah memudar.
"Sedangkan pelampung dan jaket penyelamat harus betul-betul
oranye warnanya," kata Ny. Tjut. Maksudnya agar si pemakai dapat
mudah terlihat bila terjadi kecelakaan di laut.
Di bulan-bulan panen itu "pesanan banyak sekali, membuat kami
kewalahan," tambah Tjut. Membanjirnya pesanan ke pabriknya
mungkin disebabkan oleh peraturan yang diperketat tentang
penyediaan alat penyelamat di kapal-akibat kecelakaan kapal
Tampomas II beberapa bulan lalu.
Kecuali pesanan dari perusahaan kapal, juga ada konsumen lain
yang sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan kecelakaan
di laut. Beberapa kolam renang memesan pelampung dari tokonya.
Juga hotel-hotel yang terletak di tepi panui. Bahkan beberapa
perusahaan penebangan kayu di Kalimantan menjadi langganannya.
"Pekerja penebang kayu diharuskan memakai jaket untuk mencegah
kalau mereka tiba-tiba kram sewaktu menghanyutkan kayu," ungkap
Tjut.
Kecuali membuka toko di Jakarta, pengusaha asal Banda Aceh yang
mempunyai rumah tinggal cukup besar di bilangan Pejompongan,
Jakarta Pusat itu, juga mempunyai penyalur di beberapa kota.
"Yang menguntungkan, ada peraturan, bahwa pelampung, jaket
pengaman dan rakit penyelamat, hanya boleh dibuat di Jakarta,"
katanya. Karena itu, pesanan dari seluruh penjuru tanah air
mengalir ke pabriknya PT Djemala.
Pada waktu perusahaan ini berdiri 20 tahun lalu, hanya ada dua
saingan. Sekarang di Jakarta ada sekitar 10 pabrik serupa. Yang
paling besar, milik koperasi Ditjen Perhubungan Laut.
"Seandainya almarhum suami saya masih hidup, tentu tidak akan
menghadapi saingan seberat sekarang," katanya.
Tikus
Untuk menghadapi saingan, tentu saja Tjut harus mempertahankan
mutu. Untuk itu, setiap alat penyelamat selesai dibuat, ia minta
segel ke Ditjen Perla. "Sebelum ada segel, banyak terjadi
pemalsuan," katanya.
Sekarang permainan curang semacam itu dapat dicegah, sejak
Ditjen Perla memberi segel kawat timah yang menjepit bagian
bawah label bertulisan nama perusahaan itu. Dalam seminggu,
tidak kurang 500 segel dimintanya dari Ditjen Perla. "Banyaknya,
tergantung besarnya produksi kami," katanya.
Tapi jaket penyelamat berwarna oranye itu ternyata paling banyak
dihasilkan perusahaan Tjut. "Setahun bisa menghasilkan 10.000
buah," katanya. Rakit penyelamat atau pelampung tidak pernah
melebihi jumlab itu. Untuk siap melayani pemesan, di tokonya
selalu tersedia sedikitnya 3.000 jaket penyelamat setiap hari.
"Tidak berani menumpuk banyak-banyak, karena di sini banyak
tikus," kata Tjut di tokonya.
Harganya pun tidak kelewat tinggi dibanding barang impor. Sebuah
jaket penyelamat dari kain parasut buatannya hanya berharga Rp
2.750. Sedang jaket yang sama buatan Australia sekitar Rp 48
ribu. Sebuah pelampung bundar besar berharga Rp 7.250, ukuran
kecil Rp 5.500.
"Saya tidak pernah mengiklankannya. Pembeli tahu dari
syahbandar," katanya. Sebab syahbandar pula yang menganjurkan
agar kapal dilengkapi alat-alat pengaman itu. "Mereka mempunyai
daftar perusahaan. Kebetulan saya satu-satunya pemilik
perusahaan yang wanita," kata janda muda yang mengaku belum
berniat kawin lagi itu.
Kesibukan di perusahaan yang dimulai sekitar pukul 9.00 itu,
membuat Tjut semakin betah berada di tengah tumpukan
barang-barang buatan pabriknya. Dengan usaha ini ia bisa hidup
lebih dari cukup bersama seorang anaknya, ibu dan kedua adiknya.
Untuk urusan usahanya, ia selalu membawa mobil sendiri, tanpa
sopir. "Lebih baik menyopir sendiri daripada punya sopir yang
suka terlambat," katanya.
Ia tidak tahu akan diapakan perusahaannya setelah tidak mampu
mengurusnya sendiri. Satu-satunya putrinya, rupanya tidak
berminat dalam soal membuat dan berdagang pelampung dan jaket
penyelamat itu. "Rupanya, ia lebih suka pada bidang pertanian,"
kata Tjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini