Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Jaket penyelamat nyonya tjut

Ny. tjut kusniwolti seorang wiraswasta yang memproduksi jaket penyelamat di laut (life jacket) & bermacam alat penyelamat lainnya. produksinya dijajakan di tokonya di jakarta kota.

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA panelis Kuiz Aneka TVRI beberapa pekan lalu terkecoh. Mereka menebak wanita itu pembuat jas hujan. Tapi ternyata Nyonya Tjut Kusniwolty, wanita itu, adalah seorang wiraswasta yang membuat jaket penyelamat di laut (life jacket). Kecuali membuat jaket penyelamat, ternyata ia juga membuat bermacam-macam peralatan untuk penyelamatan lainnya: rakit penyelamat, pelampung bundar dan bendera isyarat untuk keadaan darurat di laut. Barang-barang itu dijajakan di tokonya berukuran 5 x 9 meter di Jln. Cengkeh, Jakarta Kota. Sedang lantai atas tokonya ia jadikan tempat membuat alat-alat itu. Seluruhnya ada 20 orang pembantu saya," kata Ny. Tjut Kusniwolty, 34 tahun. Tapi hanya 6 orang saja yang setiap hari kelihatan sibuk di Jalan Cengkeh itu. "Selebihnya, pekerja borongan di rumah masing-masing, yaitu para penjahit," katanya. Sebelum menyajikan dagangannya di show room, barang-barang itu diproses melalui beberapa tahap. "Mula-mula kami bagikan pekerjaan kepada para penjahit," tutur Tjut. Sementara bagian kulit yang terbuat dari kain parasit itu diborong tukang jahit, anak buahnya menyiapkan styrophor, semacam karet busa putih yang sangat ringan, sebagai isinya. Styrophor mempunyai sifat gampang terbakar dan mencair bila tersentuh minyak. Sebelum dimasukkan ke kain yang disiapkan penjahit, bahan itu harus dibungkus dengan plastik tahan minyak. Prosesnya hampir sama untuk jaket, rakit dan pelampung penyelamat. Pahlawan Wanita Sampai sekarang, styrophor yang diimpor dari Jerman Barat itu menjadi bahan pengisi paling ringan, sangat mudah dibentuk dan dipadatkan. Sebelumnya, pernah dicoba memakai isi kapas atau kayu gabus. "Kami mulai membuatnya dari gabus, tapi hasilnya kurang bagus," kata Ny. Tjut Kusniwolty. Yang merintis pembuatan alat-alat penyelamatan di laut itu adalah suaminya, Teuku Noerdin, pedagang tenda yang mengawininya 1963. "Kami mulai membuat setelah mendapat izin dari Departemen Perhubungan Laut (Depperla) 1964," katanya. Bisnis yang dirintis suami istri ini tidak lancar pada awalnya. "Sebelum mendapat izin, barang-barang itu harus dites dahulu. Kami harus menunggu lama sekali prosesnya," katanya. Pada mulanya, pembuatan alat-alat penyelamat itu ditangani suaminya. Sayang, sebelum perusahaannya tumbuh subur, Teuku Noerdin, suaminya, mendadak meninggal pada 1977. Tentu saja musibah itu membuatnya kalang kabut. "Perusahaan hampir tidak tertolong lagi," kata nyonya yang mempunyai hobi merenda itu, "padahal waktu itu, kami sudah mulai membuka cabang di Surabaya. Terpaksa saya tutup kembali, karena tidak sanggup mengurusnya." la canggung berdiri sendiri, apalagi meneruskan usaha suaminya. Lagipula, "masa kan seorang wanita Aceh kerja sendiri sebagai pedagang," katanya. Tapi seorang pamannya memberi nasihat. "Ingat. Aceh kan pernah punya pahlawan wanita yang berani maju berperang," kata sang paman. "Dan sekarang, saya sudah terbiasa mengurus semuanya itu," tambah Ny. Tjut Kusniwolty, putri bekas pegawai gubernuran di Banda Aceh yang sempat menginjak kelas 2 SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Putri) itu. Sekarang, perusahaannya mulai berkembang. "Saya juga harus giat belajar, terutama supaya bisa merencanakan modelnya," katanya. Ternyata pekerjaan merancang model alat-alat penyelamat itu tidak sulit. "Sebab sudah ada ketentuan dari Departemen Perhubungan," katanya. Sehingga ia tinggal memerintahkan anak buahnya mengerjakan sesuai dengan polanya. Walau setiap hari ia membayar buruhnya, tidak setiap hari datang pembeli jaket dan pelampung penyelamat ke tokonya. Tapi April dan Oktober adalah bulan-bulan panen bagi pedagang jaket dan pelampung penyelamat. "Pada bulan-bulan itu, perusahaan pelayaran selalu mengganti pelampung dan jaket penyelamat," tutur Tjut. Sebab dalam jangka waktu paling lama 6 bulan, warna yang oranye menyala pada alat penyelamat itu sudah memudar. "Sedangkan pelampung dan jaket penyelamat harus betul-betul oranye warnanya," kata Ny. Tjut. Maksudnya agar si pemakai dapat mudah terlihat bila terjadi kecelakaan di laut. Di bulan-bulan panen itu "pesanan banyak sekali, membuat kami kewalahan," tambah Tjut. Membanjirnya pesanan ke pabriknya mungkin disebabkan oleh peraturan yang diperketat tentang penyediaan alat penyelamat di kapal-akibat kecelakaan kapal Tampomas II beberapa bulan lalu. Kecuali pesanan dari perusahaan kapal, juga ada konsumen lain yang sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan kecelakaan di laut. Beberapa kolam renang memesan pelampung dari tokonya. Juga hotel-hotel yang terletak di tepi panui. Bahkan beberapa perusahaan penebangan kayu di Kalimantan menjadi langganannya. "Pekerja penebang kayu diharuskan memakai jaket untuk mencegah kalau mereka tiba-tiba kram sewaktu menghanyutkan kayu," ungkap Tjut. Kecuali membuka toko di Jakarta, pengusaha asal Banda Aceh yang mempunyai rumah tinggal cukup besar di bilangan Pejompongan, Jakarta Pusat itu, juga mempunyai penyalur di beberapa kota. "Yang menguntungkan, ada peraturan, bahwa pelampung, jaket pengaman dan rakit penyelamat, hanya boleh dibuat di Jakarta," katanya. Karena itu, pesanan dari seluruh penjuru tanah air mengalir ke pabriknya PT Djemala. Pada waktu perusahaan ini berdiri 20 tahun lalu, hanya ada dua saingan. Sekarang di Jakarta ada sekitar 10 pabrik serupa. Yang paling besar, milik koperasi Ditjen Perhubungan Laut. "Seandainya almarhum suami saya masih hidup, tentu tidak akan menghadapi saingan seberat sekarang," katanya. Tikus Untuk menghadapi saingan, tentu saja Tjut harus mempertahankan mutu. Untuk itu, setiap alat penyelamat selesai dibuat, ia minta segel ke Ditjen Perla. "Sebelum ada segel, banyak terjadi pemalsuan," katanya. Sekarang permainan curang semacam itu dapat dicegah, sejak Ditjen Perla memberi segel kawat timah yang menjepit bagian bawah label bertulisan nama perusahaan itu. Dalam seminggu, tidak kurang 500 segel dimintanya dari Ditjen Perla. "Banyaknya, tergantung besarnya produksi kami," katanya. Tapi jaket penyelamat berwarna oranye itu ternyata paling banyak dihasilkan perusahaan Tjut. "Setahun bisa menghasilkan 10.000 buah," katanya. Rakit penyelamat atau pelampung tidak pernah melebihi jumlab itu. Untuk siap melayani pemesan, di tokonya selalu tersedia sedikitnya 3.000 jaket penyelamat setiap hari. "Tidak berani menumpuk banyak-banyak, karena di sini banyak tikus," kata Tjut di tokonya. Harganya pun tidak kelewat tinggi dibanding barang impor. Sebuah jaket penyelamat dari kain parasut buatannya hanya berharga Rp 2.750. Sedang jaket yang sama buatan Australia sekitar Rp 48 ribu. Sebuah pelampung bundar besar berharga Rp 7.250, ukuran kecil Rp 5.500. "Saya tidak pernah mengiklankannya. Pembeli tahu dari syahbandar," katanya. Sebab syahbandar pula yang menganjurkan agar kapal dilengkapi alat-alat pengaman itu. "Mereka mempunyai daftar perusahaan. Kebetulan saya satu-satunya pemilik perusahaan yang wanita," kata janda muda yang mengaku belum berniat kawin lagi itu. Kesibukan di perusahaan yang dimulai sekitar pukul 9.00 itu, membuat Tjut semakin betah berada di tengah tumpukan barang-barang buatan pabriknya. Dengan usaha ini ia bisa hidup lebih dari cukup bersama seorang anaknya, ibu dan kedua adiknya. Untuk urusan usahanya, ia selalu membawa mobil sendiri, tanpa sopir. "Lebih baik menyopir sendiri daripada punya sopir yang suka terlambat," katanya. Ia tidak tahu akan diapakan perusahaannya setelah tidak mampu mengurusnya sendiri. Satu-satunya putrinya, rupanya tidak berminat dalam soal membuat dan berdagang pelampung dan jaket penyelamat itu. "Rupanya, ia lebih suka pada bidang pertanian," kata Tjut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus