Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN gambar Hamzah Haz, TEMPO Edisi 10-16 Februari 2003 mengangkat cover story Bila Pembesar Naik Haji. Pada halaman 32-35, secara mencolok TEMPO menyorot tajam para anggota DPR-RI yang berangkat haji tahun ini dan secara lebih khusus lagi saya pribadi dengan kalimat-kalimat yang kurang elegan di bawah judul Penumpang Gelap di Kafilah Hamzah.
Dari semula, saya bersama Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno (yang juga namanya disorot) sudah mempersiapkan surat bantahan, tapi kemudian saya berpendapat lebih baik datang bertukar pikiran dan mengklarifikasikan langsung dengan redaksi TEMPO. Maka berlangsunglah tukar pikiran itu pada 21 Februari 2003. Karena kesibukan dan waktu yang sempit, beberapa anggota DPR yang berhasrat hadir berhalangan, sehingga saya hanya didampingi staf sekretariat jenderal DPR.
Sayang sekali, ternyata klarifikasi dan penjelasan yang kami sampaikan panjang-lebar tidak ada sedikit pun yang dimuat. Setelah kami pertanyakan, ternyata alasannya tidak lazim dan sulit bagi redaksi mengangkatnya kembali tanpa ada berita baru yang berkaitan dengan hal itu. Lalu kami disarankan menulis surat pembaca saja, yang tentu saja bagi kami tidak seimbang dengan berita yang sangat mendiskreditkan pihak kami.
Pada dasarnya saya sependapat dengan pemberitaan TEMPO yang menyorot para pejabat yang memang benar menyalahgunakan wewenang dalam pelaksanaan ibadah haji, termasuk presiden dan wakil presiden yang membawa rombongan haji dengan jumlah yang mencolok. Ini dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001 dengan jumlah anggota rombongan 115 orang, Wakil Presiden Megawati pada 2000 (113 orang), dan Wakil Presiden Hamzah Haz pada 2003 (107 orang).
Disebutkannya para anggota DPR sebagai Penumpang Gelap di Kafilah Hamzah sama sekali tidak benar. Hanya kebetulan para anggota DPR satu pesawat dengan Hamzah Haz, sama-sama mengejar pesawat pada hari terakhir. Puluhan anggota DPR itu juga terbagi dalam beberapa grup dengan biro perjalanan yang berbeda. Grup saya, misalnya, beranggotakan 22 orang, terdiri atas 13 orang anggota DPR dan keluarganya. Tapi ada juga wakil rakyat yang tidak membawa keluarga. Saya sendiri tidak bersama istri. Namun gambar saya bersama istri dipajang secara mencolok oleh TEMPO, seolah-olah berada duduk dalam pesawat.
Grup saya sudah mendaftar sebulan sebelumnya pada biro perjalanan Menan Ekspres. Adapun Wakil Presiden mendaftar beberapa hari sebelum berangkat pada biro perjalanan yang sama. Malah grup kami telantar 14 jam di Jeddah dan tidak bisa berangkat terbang langsung ke Madinah karena biro perjalanan memprioritaskan Wakil Presiden dan rombongannya. Jadwal perjalanan grup saya pun berubah dengan segala akibatnya. Kami, misalnya, baru bisa ke Madinah sesudah melaksanakan ibadah haji.
Rasanya tidaklah pantas pula TEMPO menulis, ”A.M. Fatwa malah ngelencer ke tanah Mekah dengan pelayanan supermewah.” Alhamdulillah, beberapa kali saya naik haji tapi belum pernah tidur di hotel mewah. Tahun ini grup saya tinggal di Aziziyah, di luar Kota Mekah, dengan ongkos taksi 100 rial ke Masjidil Haram. Kami menginap di gedung sederhana semacam rumah-toko bersama-sama dengan jemaah umum dari Jawa Barat dan Sumatera. Untuk 22 orang hanya disediakan tiga kamar. Dua kamar ditempati jemaah laki-laki dan satu kamar untuk wanita. Sedangkan di Madinah, kami tidur di Hotel Sabra, setingkat penginapan di Indonesia, bukan hotel berbintang. Malah tahun lalu, juga bersama anggota DPR, saya tidur di emper-emper jalan yang umumnya diisi orang miskin dari Yaman Selatan dan Afrika karena tidak kebagian kemah di Mina.
Pada bagian lain TEMPO menulis, ”Sialnya, kelakuan tak elok A.M. Fatwa ini bukanlah kali pertama. Tahun lalu Fatwa juga memanfaatkan kedudukannya untuk memperoleh kemudahan dalam berhaji—sebuah ibadah yang bersifat sangat pribadi.” Benar tahun lalu saya bersama delegasi kunjungan muhibah DPR ke Kuba, dengan menghemat uang saku dan transportasi (dari kelas bisnis menjadi kelas ekonomi), dan sekembalinya kami mampir beribadah haji. Termasuk menghemat, kami tidak berziarah ke Madinah. Fasilitas yang kami peroleh dari Departemen Agama dan Konsulat Jenderal RI hanya berupa penginapan di Mekah bersama jemaah umum (bukan setingkat ONH plus) dan kemah di Arafah. Ini rasanya sangat wajar karena setahu saya dari dulu Departemen Agama biasa mengundang banyak pejabat tertentu untuk pergi berhaji dengan fasilitas departemen ini.
Tentang penggunaan paspor biru oleh anggota DPR, sebenarnya itu karena persoalan praktis saja. Rata-rata anggota DPR yang pergi haji tidak mempersiapkan diri jauh sebelumnya, hanya sekitar sebulan, bahkan ada yang seminggu-dua minggu saja. Penyebabnya antara lain kesibukan, sementara pengurusan persiapan haji sudah ditutup beberapa bulan sebelum pemberangkatan haji. Benar bahwa jemaah haji seharusnya memakai paspor haji (cokelat). Tapi dari dulu juga selalu ada pengecualian penggunaan paspor biru dan hijau (umum), dengan persetujuan pejabat yang berwenang, dalam hal ini saya perlu bicara dengan Duta Besar Arab Saudi dan Menteri Agama. Untuk para anggota DPR, meskipun dengan paspor biru, kami semua memakai visa haji, yang artinya tidak gratis, dan koper-koper kami juga dibongkar petugas saat melalui pemeriksaan umum di bandara haji Jeddah.
Mengenai orang yang berulang-ulang pergi haji yang juga disorot oleh TEMPO, saya sendiri berpendapat bahwa soal ini menyangkut keyakinan yang sulit diperdebatkan. Dan untuk harga dari suatu keyakinan, orang mau berkorban dan menderita sesulit apa pun. Sebagaimana diketahui pula, pada thawaf wada, kita membaca kalimat ada yang sudah baku, bermunajat kepada Allah untuk dapat kembali lagi bertemu dengan Ka’bah Baitullah. Dalam konteks inilah saya memilih pergi berhaji daripada pergi ke Jenewa, Swiss, untuk memimpin delegasi DPR yang waktunya bersamaan dengan pelaksanaan haji. Padahal pergi ke Eropa menurut ukuran umum serba lebih enak. Untuk bepergian ke Eropa, banyak anggota DPR yang bisa dan mau menggantikannya. Tapi niat dan pergi haji ke Mekah tidak bisa digantikan.
Akhirnya, saya berdoa semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala kesabaran dengan tulisan TEMPO yang menyebut, ”Haji Andi Mappetahang Fatwa kembali berulah. Wakil Ketua DPR dari Partai Amanat Nasional itu… dalam rombongan jemaah haji Wakil Presiden…. Rupanya, A.M. Fatwa tengah menerapkan jurus aji mumpung yang tak elok.” Semoga kita sama-sama saling koreksi dan introspeksi serta saling memaafkan. Wallahualam bissawab.
A.M. FATWA
Wakil Ketua DPR-RI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo