Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Kasus Agus Isrok: Antara Hukum dan TNI

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA membaca berita tertangkapnya Letnan Dua Inf. Agus Isrok bersama sekoper penuh obat bius, di TEMPO edisi 16-22 Agustus 1999, harapan saya terhadap aparat kita mulai timbul. Prestasi yang dicapai oleh Letkol Adjie Rustam Ramdja bersama timnya patut kita acungi jempol.

Operasi Kilat Jaya (OKJ) yang digelar berhasil meringkus pengedar (bandar) obat terlarang, yang tak lain adalah seorang letnan dua yang juga Wakil Komandan Unit Khusus Detasemen 441 Grup IV/ Sandi Yudha, yang juga putra sulung Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Subagyo H.S.

Namun, seakan mengulangi kejadian masa lalu, para penguasa selalu berusaha mengaburkan, bahkan menghilangkan, kasus besar sekalipun. Buat mereka, nama baik korps lebih penting dari beratus-ratus, bahkan beribu-ribu, remaja yang kehidupannya rusak oleh morfin, narkotik, ganja, shabu-shabu, dan zat adiktif lainnya. Mereka menjadi generasi ”fly”, yang selalu dekat dengan kematian.

Apakah kita harus membiarkan dan berlapang dada memberi maaf buat para pengedar yang demi segepok uang rela mengorbankan bangsanya? Jawabannya: tidak ada maaf. Jenderal Noegroho pernah berjanji tidak akan pandang bulu dalam memberantas jaringan obat terlarang, tapi mengapa dalam kasus ini Polri tidak berdaya menghadapi ”keperkasaan” TNI? Lantas, kapan Polri akan benar-benar mandiri? Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan Polri untuk memulihkan citranya, kalau saja Polri memiliki sedikit keberanian untuk menjadi dirinya sendiri.

Buat Jenderal Subagyo H.S., kami tahu bahwa semua orang tua pasti akan menyayangi dan membela anaknya, sekalipun dia bersalah. Tetapi, kurang bijaksana rasanya kalau hal tersebut kita kaitkan dengan masalah ini. Seperti halnya Bapak, bagaimana perasaan orang tua yang anaknya telah dirasuki oleh obat bius, yang tak jarang menyaksikan sang anak menggelepar menyambut kematian di depan mata mereka sendiri? Begitu banyak orang tua yang sangat pilu menerima kenyataan anak kesayangan gagal jadi sarjana, dan bahkan mungkin juga menjadi jenderal.

Sebaiknya, kalau terbukti bersalah, sangat bijaksana kalau ia diserahkan kepada yang berwajib. Sebab, itu adalah pelajaran agar dia tidak melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang letnan seperti dia.

Di negara kita ini, terlalu banyak pengecualian-pengecualian dalam upaya pengingkaran penegakan hukum. Hukum hanya boleh menyentuh masyarakat bawah dan rakyat kecil. Dan hukum kita telah terbiasa melihat kejahatan yang besar dan begitu telanjang, tapi aparat penegak hukum kita seolah-olah buta. Hal itu terus berulang manakala sebuah kasus atau skandal membawa-bawa pengusaha dan penguasa.

Nama dan alamat ada pada redaksi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus