Muhammad Chatib Basri
Kandidat doktor bidang ekonomi dari Australian National University, Canberra.
Laki-laki dengan berengos itu memang bukan orang sembarangan. Namanya Paul Krugman. Ia guru besar ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Kontribusinya dalam teori ekonomi tak bisa dipandang sebelah mata. Bersama Brander dan Spencer, ia dianggap sebagai pemula dari strategic trade policy. Dan sekitar lima tahun yang lalu, di majalah Foreign Affairs, ia mengutip studi Alwyn Young dan Larry Lau tentang total factor productivity (TFP) yang menyatakan bahwa ekonomi Asia tumbuh karena memeras keringat (perspiration) dan bukan memeras ide (inspiration). Implikasinya: cepat atau lambat pertumbuhan ekonomi Asia akan mengalami penurunan. Lalu, orang mengaitkan pernyataan Krugman ini dengan krisis ekonomi yang terjadi di Asia dan juga Indonesia.
Pekan lalu, ia bicara tentang ekonomi Indonesia di Jakarta. Mungkin tak banyak yang baru. Secara umum, untuk kasus Asia, ia bicara bahwa peningkatan permintaan domestik dengan ekspansi moneter menjadi sangat penting untuk melepaskan negara Asia seperti Jepang dari krisis. Tapi, secara hati-hati, sebenarnya kita bisa melihat bahwa ekspansi moneter saja mungkin tak cukup untuk kasus Indonesia. Di republik ini, tempat sistem keuangan domestik lumpuh, sulit sekali mengharapkan mekanisme transmisi berjalan dengan baik. Itu sebabnya, walau pemerintah menurunkan tingkat bunga, kredit tetap sulit mengalir karena uang yang ada hanya duduk dan dipergunakan untuk mempertahankan cash flow perbankan itu sendiri.
Di sini kemudian terjadi suatu lingkaran setan. Keterbatasan likuiditas membuat produksi menjadi mandek, yang akibatnya berpengaruh pada inflasi. Di sisi lain, inflasi yang tinggi membuat permintaan menjadi menurun sehingga insentif untuk berproduksi akan menurun. Karena itu, peningkatan permintaan domestik tidak semudah itu dilakukan dalam kasus Indonesia. Di sini, arus modal dari luar memegang peranan untuk dapat mendorong permintaan domestik. Lepas dari soal itu, ada beberapa hal menarik untuk disimak.
Pertama, pemulihan ekonomi Indonesia akan berlangsung secara perlahan. Dengan jeli, Krugman melihat bahwa yang dialami negeri ini bukan sekadar kesulitan finansial, tetapi hancurnya sistem keuangan. Saya kira Krugman benar. Itu sebabnya, terlalu pagi buat kita untuk mengatakan ekonomi telah pulih. Pertumbuhan ekonomi kuartal satu dan dua memang telah positif, inflasi telah menurun, dan nilai tukar menguat. Pemerintah dan IMF memang mulai menyanyi tentang "di Timur matahari mulai bercahaya". Tak sepenuhnya salah, tentu saja. Ada indikasi perbaikan, memang. Tapi terlalu dini untuk menyatakan ekonomi telah pulih.
Pertanyaan yang harus diajukan sebenarnya: bagaimana mungkin sektor produksi bisa menggerakkan rodanya jika bahan bakarnya—likuiditas—masih sulit didapatkan? Tingkat bunga boleh saja turun, tapi apakah kredit sudah tersedia? Bagaimana dana bisa disalurkan ke sektor riil jika perbankan masih mengalami persoalan? Barangkali saya memang terlalu skeptis dan tak sejalan dengan kampanye keberhasilan pemerintah. Tapi, setidaknya, skeptisisme ini didukung dengan indikator pertumbuhan sektor manufaktur yang masih negatif. Karena itu, cukup mengejutkan jika IMF buru-buru merevisi prediksinya dan pemerintah begitu berbangga hati. Guru besar MIT yang berusia 46 tahun ini memang mengingatkan kita: jalan masih panjang dan proses yang menyakitkan masih akan berlangsung.
Kedua, pemulihan ekonomi akan sangat tergantung pada pemerintah yang—meminjam istilah Krugman—reasonably honest legitimate. Ada pesan penting yang perlu didengar di sini. Kebijakan ekonomi sebaik apa pun tak akan memberikan hasil yang efektif jika masyarakat tak memiliki kepercayaan terhadap pemerintahnya. Implikasi runtuhnya sistem finansial bukan hal sederhana. Dan satu hal yang penting diingat: berbeda dengan sektor barang, sektor keuangan adalah bisnis kepercayaan. Dalam sektor barang, amputasi relatif lebih mudah dilakukan. Tetapi, dalam sektor keuangan, ia bersifat sistemis. Kehilangan kepercayaan di satu bagian dapat berakibat runtuhnya kepercayaan secara keseluruhan. Itu sebabnya skandal Bank Bali bisa punya dampak yang jauh lebih luas terhadap proses restrukturisasi sektor keuangan.
Di permukaan, kita bisa melihat bagaimana rupiah melemah dan bursa terpengaruh, tetapi dampak yang jauh lebih mendasar adalah rusaknya kepastian usaha. Dengan kata lain, Krugman bicara: jangan main-main dengan soal kepercayaan. Seperti juga terjadi di negeri lain, pelaku ekonomi dan masyarakat di Indonesia umumnya tak memiliki informasi yang sempurna tentang implementasi reformasi ekonomi. Karena itu, kita membutuhkan sinyal tentang kesungguhan pemerintah. Semakin kuat sinyal yang diberikan, semakin tinggi kredibilitas buat pemerintah. Dan ini bisa diperoleh jika ada satu rupture atau pemutusan yang tajam dengan masa lalu.
Sayangnya, kasus penyelesaian KKN Soeharto, kasus JPS, kasus Ghalib, dan skandal Bank Bali bicara tentang sebuah kontras yang nyaris lengkap dibandingkan dengan solusi itu. Pemerintah boleh saja punya setumpuk rencana kebijakan. Tapi, tanpa kredibilitas, sulit sekali pemulihan ekonomi terjadi. Agaknya Krugman benar: yang kita butuhkan sebagai prasyarat pemulihan ekonomi adalah sebuah pemerintah yang punya tingkat legitimasi yang memadai, bukan pemerintah yang memaksimalkan korupsi dan skandal seperti yang kita miliki pada hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini