Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Ketika Dana Desa Dikorupsi

14 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pemberantasan Korupsi menggebrak Jawa Timur. Mereka menangkap Bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya karena diduga terlibat dalam perkara suap terkait dengan proyek infrastruktur yang bersumber dari dana desa sebesar Rp 250 juta. Kepala Inspektorat Pamekasan Sucipto Utomo dan Kepala Desa Dasuk Agus Mulyadi turut ditangkap.

Kasus penangkapan ini menegaskan satu hal: alokasi dana desa yang berlimpah-setiap desa memperoleh dana Rp 1 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-ternyata menjadi sasaran empuk penyamun berdasi. Pengucuran dana sebesar itu, jika tidak dibarengi peningkatan kapasitas pemerintahan desa untuk membelanjakan uang secara tepat sasaran, jelas berpotensi penghamburan semata. Majalah Tempo pada edisi 12 Juli 1986 menulis artikel dengan tema serupa berjudul "Pajak-Pajak Sumurgeneng".

Tulisan itu dengan rinci menjelaskan berbagai trik yang dilakukan pemerintah Desa Sumurgeneng, Tuban, Jawa Timur, untuk memperoleh anggaran buat daerahnya. Di Sumurgeneng, hampir tak ada kegiatan penduduk yang tak dikenai pajak bagi desa. "Bahkan orang mati pun dikenai pajak," kata Masiran, penduduk lokal yang sekarang dianggap oposan oleh Kepala Desa Sumurgeneng saat itu, Djoenaedi, Juli 1986.

Jumlah pungutan desa di Sumurgeneng memang tak kira-kira. Setiap panen padi, mereka yang punya sawah harus membayar iuran Rp 1.300-13.000, tergantung besar-kecil hasil panen. Mau pergi haji, bayar dulu Rp 75 ribu per kepala. Bila ada warga yang punya hajat, desa memungut pajak yang besarnya disesuaikan dengan ukuran pesta. Setiap orang tua yang mengawinkan anak di bawah umur, seperti Lasiran, yang menikahkan cucunya, Halimah, yang baru berumur 15 tahun, didenda Rp 400 ribu.

Masih ada beberapa jenis pungutan lain untuk hal-hal yang tak terkira. Misalnya, keluarga yang tertimpa musibah ditinggal mati anggotanya malah harus menyediakan uang untuk desa. Menurut tradisi setempat, setiap ada kematian, keluarga yang berduka wajib memberikan uang kepada pelayat. Makin besar uang selawat (bisa sampai Rp 1.000 untuk setiap pelayat) makin menunjukkan status keluarga yang berkabung. Kini separuh uang selawat itu harus diserahkan buat kasdesa.

Selain itu, warga desa yang berani memotong dahan pohon lamtorogung, meskipun berada di pekarangan sendiri, harus menyerahkan dua zak semen kepada desa. "Lalu untuk apa lamtorogung ditanam kalau untuk makanan kambing pun tak boleh?" kata Masiran.

Mbah Edi, 59 tahun, yang menjadi Lurah Sumurgeneng sejak 1959, memang terkenal keras. "Kalau enggak begini, dari mana desa mendapat dana?" ujarnya. Tentang pajak orang hajatan, alasan Mbah Edi, ibarat kapal pecah alias royal. Maka "apa salahnya dikenai sumbangan untuk desa?"

Mengenai orang mau menunaikan ibadah haji, menurut dia, lebih penting beramal di desa sendiri daripada menghambur-hamburkan uang di Arab. Soal denda perkawinan di bawah umur untuk mencegah kawin di usia muda. Sedangkan dua zak semen bagi pengganti lamtorogung, dia beralasan agar penghijauan desa tetap terjaga.

Ketika ada yang berprasangka Mbah Edi menyalahgunakan pemakaian uang pungutan itu, mengingat dinding rumahnya pun kini berkarpet, Kepala Desa Sumurgeneng tersebut pun menantang, "Gorok leher ini jika saya korupsi." Mbah Edi menuturkan, uang yang terkumpul dari panen pada 1985 sebesar Rp 300 ribu, panen sampai Juli 1986 baru mencapai Rp 120 ribu, serta dari jemaah haji pemberangkatan 1986 sebesar Rp 375 ribu. Lalu dari uang selawat sebesar Rp 900 ribu. "Saya akui saya memeras. Tapi, kalau tidak begitu, desa kan enggak maju-maju," ujarnya.

Dari pungutan-pungutan itulah, menurut Mbah Edi, Desa Sumurgeneng menggaji 17 ketua rukun tetangga masing-masing sebesar Rp 60 ribu setahun, membangun masjid, mendirikan gedung sekolah menengah pertama senilai Rp 4,5 juta, dan membangun dua pos sistem keamanan lingkungan (siskamling). "Mana ada gedung SMP di Kabupaten Tuban yang dibangun dengan swadaya murni kalau bukan di Sumurgeneng," ujar Mbah Edi bangga. Anggaran rutin Desa Sumurgeneng, menurut dia, sebesar Rp 7 juta setahun, sedangkan dana bantuan desa hanya Rp 1,2 juta.

Mengapa Mbah Edi begitu keras? Itu bermula setelah 1981, ketika Sumurgeneng terpilih sebagai desa percontohan tingkat kabupaten. "Pamor itu harus dijaga terus. Kan malu, wong sudah jadi percontohan kok pembangunannya malah mandek," tuturnya. Ia mengaku sudah melapor ke Bupati mengenai pungutan desa tersebut begitu sebagian warga mengeluh.

Bupati, seperti diungkapkan Kepala Humas Kabupaten Tuban Marba’i, mendukung kebijaksanaan Mbah Edi setelah hasil pemeriksaan menunjukkan tak ada penyelewengan keuangan. "Sepanjang tidak memberatkan penduduk, pungutan itu tak ada masalah," kata Marba’i. "Mungkin caranya yang perlu diubah, karena agak keras."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus