Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH memenangkan Cina atas Jepang dalam rencana pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mengatakan Jepang sudah maklum terhadap keputusan ini. "Pemerintah Jepang dapat memahami karena tidak ada jaminan dari pemerintah," ujar Rini, Selasa pekan lalu. Dengan demikian, jerih payah Jepang beberapa tahun belakangan untuk melajukan kereta cepatnya, Shinkansen, di Indonesia kandas.
Kehebatan kereta kebanggaan bangsa Jepang itu pernah dibahas Tempo dalam edisi 14 Februari 1987. Saat itu, Tempo menyaksikan peluncuran kereta yang digadang-gadang bakal menjadi sepur tercepat di dunia ini.
Shinkansen memang amat cepat. Baru 42 detik kereta ini melaju, jarum speedometer sudah menunjukkan angka 400,8 kilometer per jam. Sebuah rekor dunia pecah. Yoshitayu Kyotani, ahli teknik Japan National Railway (JNR), langsung berteriak, "Banzai (Hidup)!"
Lima tahun sebelumnya, Shinkansen harus mengakui kecepatan Tres Grande Vitesse (TGV), yang dioperasikan perusahaan kereta api nasional Prancis. Kereta yang melayani perjalanan Paris-Lyon itu bisa melaju hingga 260 kilometer per jam. Ketika itu, Shinkansen, yang berarti kereta api peluru, baru bisa dipacu hingga 220 kilometer per jam. Shinkansen kian terpuruk setelah pada Desember 1985 kereta Transrapid 06 Jerman Barat mampu mencapai kecepatan 355 kilometer per jam.
Maka, pada 1987, kehormatan Jepang dipulihkan. Melayang 10 sentimeter di atas rel, kereta api supercepat abad ke-21 itu bahkan lebih cepat daripada helikopter milik media massa Jepang yang berusaha menguntitnya.
Shinkansen merupakan hasil jerih payah yang panjang dan mahal. Hingga 1985, JNR menghabiskan 30 miliar yen atau sekitar Rp 326,7 miliar untuk membangun pusat uji coba dan gerbong kereta api itu. Kereta pemecah rekor ini terdiri atas dua gerbong, dengan panjang total 20 meter dan berat 20 ton, melintas di atas rel magnet berbentuk U.
Mekanisme kerjanya mengikuti prinsip elektrodinamis. Kereta terangkat oleh interaksi antara magnet superkonduktif yang berada di kereta dan kumparan konduktif yang tersembunyi pada rel. Sistem ini juga dilengkapi alat pendingin yang menggunakan helium cair, yang mampu mendinginkan magnet sampai 4,2 derajat Kelvin atau minus 268,8 derajat Celsius.
Ketika kereta meluncur di rel, medan magnet yang kuat membangkitkan aliran pada kumparan stasioner. Aliran induksi menciptakan medan magnet dengan polaritas sama dengan aliran yang dihidupkan magnet-magnet superkonduktif. Dengan demikian, terjadilah gaya tolak pada magnet yang mampu mengangkat kereta api hingga 10 sentimeter di atas rel.
Guna memandu kereta—supaya jaraknya tetap terjaga dengan dinding rel—sistem ini dilengkapi stator induksi linear pada setiap bagian rel berbentuk U itu. Dengan posisi demikian, motor-motor itu dapat menolak atau menarik magnet kereta bila terlalu dekat atau terlalu jauh dari dinding rel.
Dibandingkan dengan kereta api biasa, kereta api ini memiliki banyak keunggulan. Konon, kereta api biasa hanya mampu mencapai kecepatan maksimum 300 kilometer per jam. Keterbatasan ini terjadi karena kereta api roda baja, yang meluncur di atas rel baja—selain menghadapi drag (helaan) aerodinamis yang dialami benda bergerak—menanggung gaya gesek antara roda dan rel.
Setiap kali kecepatan ditingkatkan, rel akan menerima beban tinggi yang mempercepat kerusakan. Sebaliknya, Shinkansen mudah memperoleh kecepatan 400-500 kilometer per jam, bahkan tanpa menimbulkan masalah kebisingan dan getaran—karena terapung di atas rel magnet.
Sukses uji coba itu membuat para ahli teknik JNR menganggap kereta api dengan mekanisme elektrodinamik ini merupakan kereta api masa depan. Saat itu, JNR sudah menyiapkan adik Shinkansen baru ini, yang nantinya akan berlari hingga kecepatan maksimal 420 kilometer per jam. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo