Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecewa Tempo
Sebagai pembaca Tempo, sungguh sangat kecewa saya melihat Tempo edisi 5-11 Oktober 2015, yang membahas perihal "Jejak CIA pada Tragedi 1965". Tempo sama sekali tidak netral. Hampir semua narasumber yang diambil, baik pengamat maupun pemberitaan, lebih mengarah pada menyalahkan keterlibatan CIA dalam pemberantasan komunis di Indonesia.
Hampir semua narasumber adalah mereka yang sinis pada TNI dan Pancasila. Tempo membuat pihak komunis seolah-olah menjadi korban, padahal lebih banyak umat beragama di Indonesia, terutama muslim, yang menjadi korban keganasan PKI dan berbagai organisasi di belakang mereka. Mengapa Tempo tidak mengulas pembantaian yang dilakukan oleh PKI terhadap umat Islam dan berbagai kalangan yang anti-PKI pada masa itu?
Tempo dengan ulasannya seolah-olah telah menunjukkan bahwa umat Islam dan kelompok nasionalis serta TNI yang melakukan pemberantasan terhadap komunisme telah melakukan praktek pelanggaran hak asasi manusia. Padahal PKI dan kelompoknya adalah pelanggar hak asasi manusia yang terbesar di Indonesia. Bayangkan kalau mereka bisa berkuasa, apa yang terjadi di Indonesia.
Karena itu apa salah Amerika Serikat dan TNI bila memberikan informasi tentang orang-orang yang bertendensi komunis di Indonesia untuk kemudian diberantas oleh mereka? Bukankah dengan begitu Indonesia bisa bebas dari pengaruh komunisme? Apakah Tempo sudah berubah menjadi media berita liberal tanpa batas dan selalu sinis memandang umat Islam, TNI, dan Pancasila? Apa yang dicari Tempo?
Mohamad Heykal
Jalan Tebet Timur, Jakarta
Edisi itu merupakan bagian dari usaha kami mencari kebenaran, bukan untuk membela atau menyerang satu pihak. — Redaksi
Keberatan Bupati Lombok
Dalam tulisan majalah Tempo edisi 5-11 Oktober 2015, halaman 25, berjudul "Bupati Lombok Barat Divonis", terdapat kekeliruan. Pada paragraf tertulis: "Zaini terbukti menerima fulus Rp 2 miliar dari hasil memeras selama tiga tahun sejak 2010". Kalimat ini tidak benar karena, berdasarkan putusan majelis hakim, Bupati Lombok Barat Zaini Arony hanya terbukti menerima dua unit mobil Kijang bekas atas nama Partai Golkar dan sebidang tanah atas nama keponakannya yang terjadi pada 2011. Tidak pernah ada tuduhan penerimaan uang di berkas dakwaan dan vonis. Mohon kiranya informasi yang tidak tepat ini diluruskan agar tidak menimbulkan fitnah baru.
Maqdir Ismail
Kuasa hukum Bupati Lombok Barat Zaini Arony
Terima kasih atas tambahan penjelasan Anda. — Redaksi
Tanggapan untuk R.J. Lino
Dalam Tempo edisi 5-11 Oktober 2015, terdapat wawancara dengan Direktur Utama Pelindo II Bapak R.J. Lino. Kami ingin meluruskan wawancara itu terutama setelah pertanyaan ke-29. Apa yang dilakukan Bapak Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli membongkar beton cor semen di jalur kereta api agar kereta bisa masuk Pelabuhan Tanjung Priok. Pembongkaran dilakukan sebagai eksekutor kebijakan pemerintah. Penutupan jalur kereta oleh Pelindo II tanpa izin PT Kereta Api tak bisa dibenarkan. Dan itu tak ditentang oleh Bapak R.J. Lino dalam wawancara tersebut.
Kapasitas bongkar-muat Pelabuhan Tanjung Priok masih 18 MPH (18 container move per hour), belum sampai 40 MPH. Jadi tinggal hitung saja kalau kereta api bisa mengangkut 30 kontainer, artinya pulang-pergi dengan 2 lokomotif bisa membawa 60 TEU, yaitu untuk ukuran kontainer 20 ft (1 TEU). Jadi, kalau dalam satu malam bisa 10 kali pulang-pergi ke Cikarang Dry Port (CDP), bisa membawa 600 TEU per hari (dalam 12 jam kerja malam hari). Kalau bongkar-muat dari dan ke kapal 6.000 TEU per hari, artinya efisiensi pengangkutan multimodal dengan KA menghasilkan market share pengangkutan kontainer 10 persen (600/6.000), jadi bukan di bawah 3 persen seperti yang dikatakan oleh Dirut Pelindo II Bapak R.J. Lino.
Dengan 3-4 crane bisa melayani bongkar-muat 5.000 TEU dari kapal kontainer, sedangkan untuk ukuran kapal dengan daya angkut 10 ribu TEU bisa dilayani dengan 5-6 crane. Tapi, perlu dicatat, semua pelabuhan kapal kontainer di Tanjung Priok adalah untuk ukuran kapal kecil, jadi market share pengangkutan intermodal dengan kereta bisa lebih besar. Sebab, kapal besar ukuran world class belum bisa sandar di Tanjung Priok, khususnya kapal dengan daya angkut 10 ribu TEU.
Soal dwelling time (DT), yang dipakai sebagai patokan di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya adalah dari saat pre-custom clearance sampai post-custom clearance, di mana kontainer dari container yard (CY) sampai ke luar pelabuhan. Semua yang bernama custom clearance ini adalah urusan kepabeanan, bukan urusan Pelindo II, dan bisa diselesaikan secara online serta disesuaikan dengan sistem API (angka pengenal importir) diakses di portal Indonesia National Single Window, sehingga Tanjung Priok lebih pas sebagai pelabuhan pelayanan untuk bongkar-muat barang dari dan ke kapal saja.
Kekhawatiran Dirut Pelindo II bahwa DT bisa melebihi 3 hari sebenarnya hanya dibesar-besarkan karena fasilitas CY di luar Pelabuhan Tanjung Priok sudah ada dengan fasilitas yang lengkap, dari karantina sampai pendinginan, juga untuk makanan beku, dan bisa dilihat secara langsung dengan data statistik DT sejak Oktober 2012 hingga Juli 2015. Data ini menunjukkan tidak benar apa yang dikatakan oleh Bapak R.J. Lino bahwa, di luar Tanjung Priok, DT bisa lebih dari 3 hari, apalagi sudah ada fasilitas bongkar-muat kontainer di CDP dari KA langsung ke CY.
Soal kalimat Bapak R.J. Lino, "Kalau kemudian dikeluarin ke tempat orang lain lagi, kita enggak tahu fasilitasnya kayak apa dan DT bagaimana", sudah ada perhitungan DT secara teratur. Bahkan, menurut pengelola, sudah ada kesepakatan dengan asosiasi pengangkutan truk kontainer dari Cikarang ke Jawa Barat, seperti Bandung sampai Majalaya, tempat berlokasi pabrik-pabrik tekstil, bahkan bisa diangkut dengan jalur kereta sampai ke Kalimas, Surabaya. Mengenai biaya penginapan kontainer yang ditetapkan Rp 5 juta per hari adalah sebagai penalti yang dikenakan bagi importir yang dengan sengaja menjadikan CY Tanjung Priok sebagai depo logistik termasuk sistem just in time manufacturing menggunakan CY Tanjung Priok sebagai fasilitas gudang yang murah, sehingga mengakibatkan penumpukan yang berakibat pada lama waktu bongkar-muat dari kapal ke berthing dan ke CY.
Ronnie H. Rusli, MSc, PhD
Penasihat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya
RALAT:
Dalam wawancara Tempo dengan Budi Yuwono (edisi 5-11 Oktober 2015), ada kesalahan penyebutan nama Abu Umar, yang seharusnya Abu Bakar; dan Komandan Korem Yogyakarta Kolonel Mulyono seharusnya Kolonel Prawoto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo