Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi teror muncul dalam bentuk dan dari kelompok berbeda. Kini ada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia, dulu ada sekelompok pembajak Garuda DC-9 Woyla. Majalah Tempo mengulas beberapa teror yang terjadi pada 1976-1981 dalam edisi 25 April 1981. Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Sudomo serta Menteri Agama Alamsyah mengadakan pertemuan dengan para ulama, cendekiawan, dan pemimpin Islam untuk menjelaskan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla pada akhir Maret 1981.
Sudomo mengatakan ada berbagai tanggapan "dari tokoh-tokoh tertentu" yang agak berbahaya serta mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Antara lain yang menyatakan bahwa Komando Jihad dan teror pembajakan itu buatan pemerintah. Isu lain: dalam penumpasan teror tersebut diisukan seolah-olah agama Islam dipojokkan dan dibatasi. Bahkan dikatakan seolah-olah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menghendaki perkembangan Islam. Untuk itu, atas permintaan Presiden, diadakan pertemuan silaturahmi tersebut. "Supaya antara umat Islam dan pemerintah tidak saling mencurigai atau saling memfitnah," ujar Sudomo.
Selain Pangkopkamtib dan Menteri Agama, dari pihak pemerintah hadir Panglima Komando Wilayah Pertahanan serta para panglima komando daerah militer se-Jawa. Para pemimpin Islam juga lengkap terwakili. Dari Buya Hamka dan E.Z. Muttaqien dari Majelis Ulama sampai Chalid Mawardi dan Nuddin Lubis dari F-PP. Tampak juga Moh. Natsir, Profesor Rasjidi, Letnan Jenderal Purnawirawan Soedirman dari PTDI, dan Soleh Iskandar dari Pesantren Darul Fallah, Bogor.
Pangkopkamtib menjelaskan, pada 1976, pelaku teror adalah kelompok H Ismail Pranoto (Hispran), yang menamakan diri Komando Jihad. Mereka melakukan berbagai peledakan di Bukittinggi, Padang, dan Medan. Hispran kemudian tertangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman seumur hidup pada 1978.
Teror pada 1977 dilakukan kelompok Hassan Tiro dkk, yang menamakan diri Front Pembebasan Muslim Indonesia. Gerakan yang memproklamasikan Negara Aceh Merdeka itu telah dilumpuhkan.
Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Maret 1978, berbagai aksi direncanakan kelompok Abdul Qadir Djaelani, yang, menurut Sudomo, menyatakan dirinya penganut "Pola Perjuangan Revolusioner Islam". Djaelani ditahan dan diadili.
Yang paling lama bertahan adalah kelompok Warman dkk, yang menamakan diri Komando Jihad dan bergerak pada 1978-1980. Yang mereka lakukan antara lain pembunuhan Parmanto, Pembantu Rektor I Universitas Negeri 11 Maret; pembunuhan mahasiswa IAIN Yogyakarta, Hasan Bauw; beberapa perampokan uang gaji dan penggarongan toko emas di Jawa Barat; serta kasus Rajapolah pada 22 Agustus 1980, yang menewaskan dua anggota Kepolisian RI. Warman tertangkap, tapi ia berhasil melarikan diri.
Kelompok Imran dkk menamakan diri Dewan Revolusi Islam Indonesia. Sudomo menunjukkan sehelai dokumen berupa surat kelompok Imran kepada Imam Khomeini, pemimpin revolusi Iran. Isinya: "Dewan Revolusi Islam Indonesia adalah sebuah gerakan bawah tanah yang akan berperang melawan rezim Soeharto, yang tidak setuju kepada ajaran Islam. Kami rencanakan untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto dan mengubahnya menjadi sebuah Negara Islam. Kami dan beberapa Perwira Angkatan Darat Indonesia telah mendirikan Dewan Revolusi Islam Indonesia pada tanggal 7 Desember 1975."
Surat diakhiri dengan permintaan bantuan spiritual dan material untuk merealisasi revolusi itu dengan cap Indonesian Islamic Revolution Board dan ditandatangani Imran Muhammad Zein sebagai pemimpin.
Kelompok Imran ini, menurut Pangkopkamtib, yang menyerang pos polisi Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981 dan membajak pesawat terbang Garuda DC-9 Woyla. Berbagai kelompok tadi, menurut Laksamana Sudomo, mempunyai tujuan sama dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yakni mendirikan negara Islam. "Kami pisahkan masalah agama dengan oknum-oknum penganut agama yang telah sesat melakukan tindakan kekerasan yang justru bertentangan dengan ajaran agama dan hukum."
Beberapa ulama di antaranya mengimbau pemerintah tidak mencurigai umat Islam, karena umat Islam sesungguhnya mendukung pemerintah serta tidak menghendaki diubahnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Departemen Agama membentuk semacam Central Teaching Board agar ada penafsiran yang sama terhadap ajaran-ajaran agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo